Chereads / Luka Senja / Chapter 4 - III

Chapter 4 - III

Sasa kecil berlarian dengan tas gendong berwarna pink kesukaannya. Ia dengan semangat membuka sepatu bergegas menuju kamar Bima.

"Kak Bimaaa.. Kak Bima.. Kaakkk Biiimm!!" teriak Sasa dari luar kamar sambil menggedor pintu keras.

Pintu terbuka. Bima menjitak kepala Sasa pelan.

"Ada apa, sih?" tegur Bima.

Sasa menyerahkan lembar ujian harian yang didapatnya dari guru matematika. Nilai sempurna.

"Wuah hebat kamu, Sa! Adik kakak bisa juga dapet nilai seratus. Selamat, yah!" puji Bima membiarkan Sasa menerobos ke kamarnya. Ia ingat pernah menjanjikan adiknya bermain mortal kombat sepuasnya sampai dia bisa menang melawan Sasa. Celaka. Selama ini dia hanya bisa menang sekali dua kali dari adiknya. Sasa ahli sekali dalam permainan ini. Permainan yang hampir setiap hari ia mainkan tanpa bosan.

"Jangan lupa janjinya, kak! Ayo!!"

Tebakannya benar!

Sasa sudah duduk di sopa depan PS kakaknya. Tidak memperhatikan Satya disebelahnya yang terlebih dahulu memegang stik game.

"Hey, aku duluan yang nempatin kursi ini. Minggir, Sa!" sergah Satya mendorong tubuh Sasa ke samping.

Sasa melotot. Mendorong kembali Satya. Bima tertawa melihatnya. Menengahi keduanya sebelum perang kecil terjadi. Sasa meminta pembelaan Bima.

"Sebentar yah, Sa. Nanggung, Messi belum cetak gol," kata Bima santai. Mengambil pelan stiknya yang diambil Sasa. Melanjutkan gim sepak bolanya bersama Satya yang sempat tertunda. Sasa hanya mengeluh sebentar melirik Satya yang melihatnya dengan pandangan mengejek. Mengalah. Duduk di pinggiran sambil menonton bosan.

Saking keasyikannya, mereka bermain gim sampai tidak menyadari Sasa yang sudah tertidur di sopa. Bima melirik sebentar dan tersenyum melihat posisi tidur adiknya dengan tangan sebagai bantal dan kaki menekuk. Menggemaskan.

Sasa sering tidur di kamarnya. Apalagi setelah kepergian ibunya, kamar Sasa seperti dibiarkan tak berpenghuni. Jarangnya kehadiran Ayah membuat mereka semakin tak terpisahkan. Semua kegiatan dari hal kecil sampai tidur setiap malam mereka lakukan bersama. Terkadang Bima harus mengalah tidur di sopa karena Sasa tidur dengan posenya yang ajaib. Menghabiskan tempat.

Sasa menggeliat pelan. Membuka matanya pelan. Melamun. Pikirannya kosong dengan alasan yang tidak diketahuinya.

"Tidur sore tidak bagus, Sa. Nanti malam terpaksa begadang, deh!" keluh Bima. Mereka selesai bermain. Satya menyimpan stik gim-nya, hendak pulang karena matahari sudah mulai menghilang di ufuk barat.

Sasa tidak bergerak dari posisinya. Matanya fokus melihat pemandangan dibalik jendela. Ada tatapan ketidaksukaan dari gadis kecil itu. Bima menggerakkan bahu Sasa, menyadarkan. Khawatir adiknya mungkin masih tidur dan malah ngelindur.

"Dulu senja bawa ibu pergi. Aku tidak pernah suka langit jingga itu. Sungguh."

Sasa bergeming. Tatapannya malah semakin menyiratkan kebencian.

Kedepannya, ini adalah awal bagi Bima dan Satya selalu berhati-hati membahas apa pun mengenai senja.

***

Sebenarnya Sasa tidak ingin menjadi seperti ini. Melampiaskan kesedihannya pada hal yang tidak pantas. Tapi mungkin itulah benteng pertahanannya. Bertahan dibalik rasa kebenciannya. Hatinya terlalu menutup diri dari terbukanya luka lama.

Bukan tidak pernah ia mencoba untuk berdamai dan menerima apa yang terjadi. Ia pernah mencoba. Namun, ia merasa selalu dikhianati atas harapannya.

Sasa hanya tahu, senja, bukanlah sesuatu yang indah baginya.

Sejak pertengkaran kedua orang tuanya dulu, ia merasa hal bahagia memang tidak pantas ia terima. Bagaimana bisa semua kebahagian keluarganya bisa diambil dalam sekejap hanya karena keinginan kecilnya?

Ia masih ingat kejadian saat hari ulang tahunnya dulu. Saat dirinya yang tidak sabar masuk sekolah yang sama dengan kakaknya tahun depan. Usianya masih enam tahun. Hanya saja, takdir memaksanya untuk lebih dewasa di usia belia. Sejak hari itu, ia tidak lagi memedulikan hari lahirnya.

***

Hari ulang tahun Sasa.

Sore itu Sasa habis bermain di kolam belakang rumah tetangga mereka. Ia berjalan riang setelah mendengar bahwa ayahnya pulang setelah hampir sebulan bekerja di luar kota.

Sasa tersenyum lebar membayangkan ayahnya memberi kejutan, membawa hadiah istimewa di hari ulang tahunnya. Mungkin juga Ibu dan Bima sedang menyiapkan kejutan di rumah. Membayangkannya saja sudah membuat hatinya berbunga. Ia sudah tidak sabar.

Baru saja kakinya menginjak pelataran rumahnya, ia mendengar keributan dari dalam. Sasa terdiam sesaat ketika menyadari ayah dan ibunya saling berteriak. Ia mengintip lewat celah pintu.

Suara dari dalam rumahnya semakin tak karuan. Disertai pecahnya perabotan di ruang tengah. Sasa ketakutan. Tangannya bergetar hebat. Mulai menangis.

Ini sungguh bukan jenis kejutan yang ia harapkan. Jika ini sandiwara, ia hanya ingin cepat berakhir dan semua kembali seperti sediakala. Tertawa karena Sasa kena tipu ulah keluarganya. Dalam isaknya, Sasa berdoa penuh harap. Walau ia sadar, sepertinya, ini bukan opera yang coba orang tuanya pertunjukkan.

Di lain tempat, Bima berjongkok ketakutan di dalam kamarnya. Air matanya deras mengalir tanpa suara karena tangannya bergetar menahan isak yang coba ia sembunyikan. Kakinya tidak tahan ingin menghentikan pertengkaran kedua orang tuanya. Namun, perasaan takut lebih mendominasi dan membuatnya diam di tempatnya.

Matanya memandangi gantungan kaca dengan ukiran bunga edelweis di dalamnya. Saat melihatnya di toko aksesoris tadi, ia senang sekali. Hadiah yang pas untuk ulang tahun adiknya.

Beberapa hari yang lalu, ia dan Sasa ikut keluarga Satya menonton film tentang perjalanan ayah dan anak belia saat mendaki sebuah gunung terkenal di Indonesia. Dalam cuplikan akhir film itu diperlihatkan, betapa indahnya bunga edelweis yang sedang mekar. Sasa menatapnya takjub. Sasa sampai bilang tidak ada bunga yang lebih indah dari pada bunga edelweis. Saat itulah Bima mendapatkan ide.

Bima tidak pernah menyangka, tepat di hari ulang tahun adiknya, orang tua mereka malah membuat kacau rencananya. Ini hari istimewa untuk Sasa. Apakah mereka lupa?

***

Sasa seringkali menyalahkan diri sendiri karenanya. Seharusnya hari itu tidak perlu datang. Tidak perlu ia harapkan hal istimewa hanya karena itu hari ulang tahunnya. Semua hari sama saja.

Seharusnya ia bersyukur dengan kebahagiaan yang tercipta di keluarga kecilnya. Tidak perlu meminta hal rumit pada keluarganya. Merengek minta dibelikan barang kesukaan. Itu semua tidak perlu.

Jika saja ia tidak kekanakan mungkin akan membuat ayahnya bertahan bersama ibunya. Mereka tidak perlu memperdebatkan hal sepele karena ulahnya.

Sasa yang dulu selalu ceria dan ramah, berubah menjadi sosok yang semakin menutup diri. Hanya beberapa orang yang membuatnya nyaman berinteraksi. Bukan hanya sedikitnya orang yang dekat dengannya. Tapi juga perasaan yang sering ia sembunyikan. Ia tidak lagi menunjukkan betapa sedih, marah, kesal atau perasaan bahagia. Semua yang ia rasa menjadi hal biasa.

Kehilangan demi kehilangan dalam hidupnya mengajarkan banyak hal.

______

Scientory (ツ)