Chereads / Luka Senja / Chapter 7 - VI

Chapter 7 - VI

Sabtu pagi, Sasa berencana mengunjungi perpustakaan kota. Setelahnya, ada rapat klub sastra sekitar pukul sepuluh pagi. Ia sudah berpakaian rapi sepagi ini dan siap untuk berangkat.

Awalnya, Sasa hendak ikut ayahnya, tetapi terlambat karena ayahnya sudah berangkat lebih pagi, ada masalah di lapangan proyeknya. Setelah Bima tiada, ayahnya semakin menyibukan diri. Padahal, posisinya sudah menjadi direktur tapi masih melakukan kerja lapangan di akhir pekan. Sasa hanya bisa membiarkan, sebab, mungkin itulah cara ayahnya untuk melupakan kesedihannya. Semua orang didekatnya merasakan kehilangan besar sama seperti dirinya.

Sayang, rencana yang telah ia buat berantakkan karena harus melayani tamu yang merepotkan. Malah minta untuk dibuatkan minuman kesukaannya.

Satya habis berolahraga lari pagi ini. Ia memutuskan untuk mengganggu hari bebasnya Sasa. Mengetuk pintu dan menerobos masuk. Tubuhnya ia rebahkan di sopa. Keringat membasahi kaos warna abunya. Memaksa tersenyum pada Sasa sambil ngos-ngosan. Alasannya, ikut istirahat sebentar katanya. Sasa tidak tega untuk mengusirnya.

Sasa menyuguhkan jus jeruk pada Satya. Menatap kasihan padanya.

"Makasih, Sa," cengir Satya meneguk habis air putih yang disuguhkan berbarengan bersama coklat panas.

"Tumben lari pagi. Padahal, biasanya kakak tidur seharian kalo libur," celetuk Sasa sambil duduk di hadapan Satya. Pakaiannya terlihat rapi berbanding terbalik dengan Satya yang hanya menggunakan kaus lengan pendek dengan bawahan celana trening, santai.

"Orang cakep harus menjaga tubuhnya, Sa," jawab Satya asal. Dia lebih penasaran kenapa Sasa berpakaian rapi di hari libur. Mau kemana dia sepagi ini?

"Tidak ada kelas tambahan, Kak? Bolos, ya?" selidik Sasa mengalihkan jawaban mengesalkan dari Satya barusan.

"Hmm, kuharap memang bisa bolos."

Sasa tertawa.

"Kamu mau pergi? Pagi gini sudah rapi," tanya Satya menyeruput coklat panasnya.

"Perpustakaan. Mau kembaliin buku," jawab Sasa sekenanya. Mengikuti Satya menyeruput coklat panas tadi pagi yang belum dihabiskannya.

"Sendirian? Om Adi mana?" tanya Satya dengan nada khawatir. Baru menyadari rumah Sasa sepi. Walaupun terlihat seperti biasanya.

"Pagi banget Ayah udah berangkat, ada urusan."

"Terus, kamu mau ke perpus sendirian? Memang berani?"

"Aku bukan anak kecil kali, Kak. Sekali naik gojek aja cuma butuh waktu 15 menit," jawab Sasa mencoba menepis kekhawatiran dari raut muka Satya.

Sebenarnya, sejak pagi ia berpikir berkali-kali untuk keluar rumah. Menimang antara berangkat mengusir kebosanan atau diam di rumah dan melanjutkan menonton serial di Netflix. Namun, masa pinjam bukunya berakhir hari ini. Dia bisa saja mengembalikannya hari senin, tapi ia memutuskan untuk pergi sekalian menghadiri rapat klub juga pikirnya. Walaupun entah ada yang datang atau tidak.

Satya berpikir sejenak. Memutuskan.

"Aku antar saja, yah. Lagi pula jadwalku kosong hari ini."

Sasa mendongak menatap Satya. Biasanya akhir pekan Satya menghabiskan waktunya bersama teman-teman yang sehobi dengannya. Anak PA.

"Tadinya hari ini ada perkumpulan pendaki, tapi diundur jadi besok. Ayo, aku antar."

"Tapi.. " Sasa terlihat bingung.

"Nggak usah segan sih, Sa. Dari pada tidur seharian di rumah, Bunda sama Ayah juga pergi, ada keperluan." Satya meyakinkan mencoba menepis kekhawatiran Sasa.

"Bukan itu."

"Kenapa?" tanya Satya menatap Sasa yang juga menatap kearahnya. Tidak. Sasa seperti menyisir penampilan Satya.

"Kakak mau mengantarku dengan pakaian ini?" kata Sasa menahan tawa.

Satya menatap dirinya sendiri. Kaus basah sisa keringat, celana training hitam, wajah penuh peluh dan rambutnya ikut klimis karena keringat. Benar juga.

"Tunggu sebentar, aku pulang dulu ganti baju. Lima belas menit!" seru Satya bergegas keluar pintu rumah. Dia balik badan memastikan, "tunggu yah, jangan berani berangkat tanpa aku. Awas saja!"

Sasa tertawa. Mengangguk. Ia mengambil tas di kamarnya setelah Satya pergi. Membawa roti tawar coklat buatannya pagi ini untuk sarapan. Ia membungkus satu untuk Satya. Ia berpikir sejenak. Kemudian melangkah keluar rumah.

Sasa melangkahkan kakinya santai. Menghirup udara pagi dengan bebas. Menyenangkan sekali keluar rumah di akhir pekan. Ia memutuskan menyusul Satya ke rumahnya agar bisa langsung berangkat dari sana. Lagipula dia sudah lama tidak mampir ke rumah itu. Dulu, ia sering ikut kakaknya main bersama Satya.

Jarak rumah mereka dekat. Sasa sampai setelah lima menit berjalan. Mengintip kedalam gerbang rumah. Seorang perempuan berusia empat puluh tahunan keluar dari balik pintu. Terkejut melihat Sasa datang.

"Cantiknya bunda!!" seruan Tante Sarah sedikit menjerit membuat Sasa malu.

"Eh Tante, apa kabar?" tanya Sasa menyalami perempuan itu takjim.

"Baik, sayang. Baik banget. Ayo masuk kedalam. Jarang banget kamu mampir ke rumah ini. Tante udah buat sarapan untuk.. Eh tunggu." Tante Sarah berbalik melotot setelah mempersilakan Sasa masuk. "Bunda kan udah bilang. Jangan panggil Tante, panggil Bunda."

"Eh iya tan.. Eh.. Bunda," kata Sasa kikuk.

"Kamu jarang main ke rumah, padahal hampir setiap hari ketemu anak tante terus," kata Tante Sarah. Ia ijin untuk masuk kedalam membawa hidangan.

Sasa duduk di sopa bernuansa hitam putih setelah melihat sekelilingnya. Menatap foto keluarga yang dipajang di ruang tamu. Tersenyum. Satya tadi bilang bahwa orang tuanya tidak ada. Tapi bundanya menyambut dengan daster. Tidak terlihat seperti orang yang akan bepergian.

Satya keluar dari kamarnya terburu-buru. Menanyakan pada bunda, dimana jaket hitam yang sering ia pakai. Ribut sekali keadaan di dapur. Satya sepertinya Tidak menyadari kehadiran Sasa di ruang tamu.

"Ada di kamar bunda. Kemarin bunda pinjam ke pasar, pakai yang lain saja."

"Bundaaa!! Itu kan jaket kesayangan kaka. Kenapa bunda asal pakai."

"Pakai yang lain saja kenapa, sih. Jaket kamu banyak kan."

"Buuunn.. Aku mau antar Sasa ke perpustakaan kota sekarang. Bunda tau kan itu jaket pemberian Sasa. Kenapa sembarang pake aja. Bundaaaa..," rengek Satya seperti anak kecil.

Sasa mendengar keributan itu dari ruang tamu. Menahan tawanya karena sikap Satya yang berbanding terbalik saat di sekolah. Di rumahnya, ia tak lain menjadi anak kecil yang manja.

Satya menuju kamar bundanya setelah ribut tak kunjung reda. Ia tersentak kaget saat keluar dengan menenteng jaket. Menyadari kehadiran Sasa yang menertawakannya di ruang tamu. Satya mematung.

"Sa.. Kenapa.. Kamu ada di sini?"

Sasa tidak menjawab karena Sarah datang dengan hidangan kecil di nampan.

"Kamu nggak sopan ngebiarin tamu diluar sendirian. Mama ajakin Sasa masuk tadi."

"Makasih, Tan."

Sasa meraih salah satu kue di depannya.

"Eh, kok tante lagi, sih."

Sasa kembali kikuk. Menatap Satya yang masih dengan keterkejutannya.

"Eh iya lupa, Bunda.. ."

Satya celingukan. Tersenyum. Melirik bundanya bangga.

"Duduk Satya. Jangan berdiri terus," tegur Sarah.

Satya duduk di sebelah bundanya. Memberi kode ke arah Sasa untuk segera berangkat. Sasa menggeleng. Tidak apa-apa. Masih ada waktu. Satya menghela napas.

Mereka mengobrol sebentar sebelum Satya mengingatkan bundanya. Mereka harus segera berangkat.

"Sering-sering Sasa main ke rumah, yah. Bunda kesepian kalo Satya sama ayahnya tidak di rumah. Seperti sekarang, ayahnya entah kemana dan Satya diambil kamu. Tapi tidak apa. Bunda senang kalo kalian bareng terus."

Satya meminta bantuan pada Bundanya untuk mencarikan jaket di kamar. Sebenarnya itu hanya alasan. Ia hendak menyeramahi bundanya karena tidak memberitahu kedatangan Sasa.

"Kenapa kamu rusuh banget, sih. Biarin aja kali. Lagipula bunda seneng Sasa disini. Kamu harus sering ajak dia main," kata Sarah. Dia memilihkan jaket untuk Satya.

"Bun, bukan gitu. Masalahnya, tadi Satya sudah bilang ke Sasa kalau bunda tidak ada di rumah. Makanya Satya bisa antar Sasa pergi. Satya jadi malu ketahuan bohong."

"Lah, kalo itu bunda minta maaf. Seharusnya kongkalingkong dulu sama bunda. Kan, bunda tidak tahu."

"Orang pergi dadakan, mana sempat. Mana jaketnya, Satya berangkat, yah."

"Ajak dia main lagi ke rumah, yah. Nanti bunda ceritain hal baik tentang kamu ke Sasa."

Satya melirik ke arah bundanya. Mengacungkan jempol.

***

Perpusnas kota.

Sasa sedang memilih buku baru untuk dipinjam. Mencari referensi untuk perlombaan yang ditawarkan Fatih kepadanya. Sasa memutuskan ikut berpartisipasi. Sudah lama ia tidak membuat cerpen. Ia harus mengarang cerita dengan tema baru yang diberikan panitia lomba sekarang. Waktunya tinggal seminggu lagi. Ia harus segera menyelesaikan ceritanya dan diserahkan kepada Fatih untuk dievaluasi terlebih dahulu sebelum menyerahkan kepada panitia lomba.

Satya setia menemani di sampingnya. Sesekali membuka buku hanya sekedar melihat judul dan sinopsis.

"Acara di sekolah pukul berapa, Sa?" tanya Satya mengusir jenuh.

"Sepuluh," kata Sasa masih dengan teliti menelusuri setiap buku.

"Tapi sekarang sudah pukul sepuluh lebih seperempat."

Sasa kaget, langsung melirik kearah Satya.

"Kenapa kakak nggak bilang!"

Satya mengangkat alisnya. Ia baru saja memberitahu Sasa hal itu. Apakah dia salah?

"Ayo Kak, bergegas. Takutnya, anggota klub sudah pada kumpul semua."

"Tenang saja, dari sini ke sekolah paling cuma dua puluh menit. Ayo!"

Sasa mengangguk. Membereskan buku yang sedang dibacanya ke dalam rak kembali. Sepertinya dia tidak jadi untuk meminjam.

"Ngomong-ngomong, Kak. Katanya, tadi Tante Sarah tidak ada di rumah," tanya Sasa polos.

"Eumh.. Itu.. Jadwalnya diganti. Hanya Ayah yang pergi. Bunda tidak ikut. Kamu, Sa! Jangan panggil tante Sarah. Panggil bundaku, Bunda! Nanti aku lapor loh," ancam Satya.

Sesampainya di sekolah, mereka langsung menuju bangunan ekstrakurikuler. Sekolah terlihat cukup ramai padahal hari libur. Kebanyakan mereka memenuhi lapangan untuk melakukan kegiatan ekstrakurikuler.

"Kak Satya mau ikut ke klub sastra?" tanya Sasa menoleh kearah Satya.

"Gak boleh, yah?"

"Boleh, kok. Cuma klub kita selalu sepi. Kadang ada rapat tapi yang hadir hanya tiga atau empat orang."

"Nggak apa-apa. Aku bisa sambil baca buku disana, kan. Siapa tahu tertarik sama dunia literasi."

Mereka sampai di depan ruang klub sastra. Tapi tidak ada seorang pun disana. Apakah mereka sudah pulang?

"Kosong, Sa. Pada kemana? Jangan-jangan nggak ada satu pun yang datang," tebak Satya.

"Entah mereka tidak datang atau sudah pada pulang. Aku, kan telat."

"Telat hanya setengah jam. Cepat banget kelarnya."

Sasa masuk ke ruangan. Memeriksa apakah ada tanda-tanda orang masuk ke ruangan ini.

"Kamu sudah coba menghubungi mereka?" tanya Satya mengikuti Sasa masuk kedalam ruangan.

Sasa menggeleng. Ponselnya sejak kemarin tidak berfungsi setelah beberapa kali tidak sengaja jatuh ke lantai.

"Kenapa? Kamu lupa nggak bawa hp?" tanya Satya menyelidik.

"Ponselku rusak kemarin. Enggak nyala," jawab Sasa.

Giliran Satya yang menggeleng.

"Kenapa kamu nggak bilang? Pantas saja pesanku semalam tidak ada balasan."

"Maaf," kata Sasa bersalah.

Satya merogoh ponselnya di saku. Menelepon seseorang di seberang sana. Setelah beberapa menit, obrolan itu diakhiri. Satya melirik Sasa yang memperhatikannya.

"Fatih bilang rapatnya dibatalkan. Karena tidak ada satu pun anggota yang bersedia ikut perlombaan. Hari pertemuan perlombaan dekat dengan jadwal UTS. Dia kira kamu juga tidak jadi datang soalnya nggak ada respon sama sekali di grup. Dia sudah ngirim pesan pribadi, tapi tidak ada balasan. Kamu tahu sekarang betapa pentingnya benda ini?"

Satya mendengus pelan. Ini bukan hal sepele. Ia mengerti jika Sasa bukan seperti gadis kebanyakan. Dia tidak suka merepotkan orang lain. Bahkan kepada orang terdekatnya. Selalu mencoba melakukan segala hal sendirian. Walau terkadang membuat orang lain khawatir.

Sasa sedikit menunduk merasa bersalah. Seharusnya, ia tidak perlu merepotkan Satya hanya karena hal ini. Bahkan Satya sudah mengorbankan waktunya untuk mengantarnya sejak pagi.

"Kita pulang saja?" tanya Satya.

Sasa menurut. Tangannya mengulurkan bungkusan yang tadi ia siapkan dari rumah.

"Permintaan maafku."

Satya menerimanya sambil memicingkan mata. Memakannya dalam sekejap.

"Ponselmu dibawa?"

"Tidak. Kan, rusak, untuk apa dibawa?"

"Aku punya kenalan yang suka benerin alat elektronik. Nanti, aku coba bawa ponselmu, siapa tahu bisa dibenarkan."

Sasa hanya mengangguk menuruti.

"Maaf, aku semakin banyak merepotkan Kak Satya."

Satya melirik ke arahnya, melotot.

"Baiklah. Sebagai bayarannya, senin nanti aku buatkan sarapan lagi. Tidak perlu melotot menyeramkan seperti itu."

Satya tersenyum tanggung. Mengangguk menyetujui.

_____

Scientory (ツ)