Chereads / Luka Senja / Chapter 6 - V

Chapter 6 - V

Satya berteman dengan Bima dan Sasa sejak kecil. Dari awal, ia menganggap Sasa sebagai adiknya sendiri. Sama seperti Bima, ia sering menggoda Sasa. Menyenangkan sekali jika sudah membuat Sasa kesal karena ulah mereka berdua.

Semua kenangan yang mereka bertiga miliki menyenangkan untuk dikenang. Mereka sering bertengkar tapi tetap saling menyayangi layaknya saudara kandung. Atau Satya memang bagian dari mereka? Karena tanpa sengaja, ia menjadi saksi setiap perpisahan, kekecewaan, kesetian yang menguji keluarga kecil mereka.

Saat orang tua Sasa bertengkar hebat hari itu, Satya menjadi salah satu saksi. Itu bukan pertama kalinya mereka berselisih pendapat. Satya menyaksikan beberapa kali pertengkaran mereka saat ia dan Bima bermain di kamar. Namun, tidak pernah seserius hari itu. Hari ulang tahun Sasa.

Saat itu, sepulang sekolah, Satya diberitahu oleh ibunya sebuah paket datang untuknya. Sebuah gantungan bunga edelweis yang didapat dari PO seminggu yang lalu. Bima memesan via online dan dikirim ke rumah Satya agar tidak ketahuan oleh adiknya.

Sayang, rencana untuk mengerjai Sasa hari itu urung. Belum sampai kaki Satya di rumah itu, suara gaduh terdengar. Langkahnya terhenti melihat Sasa terlihat ketakutan dengan lututnya tertekuk. Tangannya menutup telinga berusaha untuk tidak mendengar kegaduhan.

Tidak membutuhkan waktu lama untuknya menyadari apa yang sedang terjadi di dalam rumah itu.

Satya sadar, Sasa tidak pernah tahu hubungan kedua orang tuanya sudah retak sejak lama. Bukan pekerjaan kantor yang membuat ayahnya tidak pulang lama. Namun, sebuah ikrar yang telah dikhianati.

Hari itu, ingin sekali rasanya Satya masuk dan menenangkan gadis kecil itu. Entah bagaimana langkah kakinya mengkhianati, ia lari kembali ke rumahnya.

Sampai sebuah penyesalan yang selalu datang terlambat.

Sejak hari itu, ia jarang menemui Bima walau hanya sekedar untuk bermain. Sasa tidak terlihat. Hingga kabar itu sampai padanya, kedua orang tua mereka berpisah. Bima dan Sasa ikut ibunya ke Bandung, kampung halaman mereka.

Satya berpisah dengan dua sahabat kecil terbaiknya. Hari yang ia jalani tidak se-seru saat mereka bersama. Dia lebih sering diam di rumahnya menemani sang ibu. Juga akhir pekan yang ia habiskan penuh bersama ayahnya.

Mereka tetap beberapa kali saling mengirim kabar lewat pesan singkat. Sampai setelah sekian lama ia tidak menerima pesan balasan dari Bima. Saat itu, ia berpikir mungkin mereka sibuk mengurusi ibunya yang ia dengar sedang sakit. Ia tidak pernah mengira bahwa sakit yang dimaksud Bima bukanlah sakit biasa. Ia tidak pernah mengira bahwa sahabatnya terpaksa menjalani hari di rumah sakit selama beberapa pekan.

Sampai kabar duka datang dari Bandung.

Ibunya meninggal.

Ia ingat, keluarganya langsung bergegas menuju rumah sakit di Bandung. Perjalanan tiga jam yang terasa semakin lama. Matahari telah menghilang di ufuk barat saat mereka sampai. Satya hanya terpaku melihat kedua adik-kakak itu berduka dalam pelukan. Kesedihan yang kala itu ia pahami, duka yang membekas sampai bertahun lamanya bagi Sasa.

Seminggu berlalu, Satya mendengar bahwa Bima dan Sasa akan kembali ke ibukota. Ikut kembali bersama ayah mereka. Om Adi, sejak kepergian istri dan anaknya, tidak terlihat sekalipun membawa perempuan lain kedalam rumah. Jika waktu luang, Om Adi datang ke rumahnya untuk mengobrol lama bersama ayahnya. Seiring waktu, Satya tahu, kesalahpahaman telah terjadi.

Dengan kembalinya Bima dan Sasa, kebersamaan mereka mulai terjalin kembali. Sama eratnya seperti dulu. Hal paling penting untuk Satya saat ini, ia ingin membantu mengembalikan kebahagiaan pada dua sahabatnya.

Walau awal sempat canggung saat Satya mengunjungi rumah itu. Tidak banyak yang diceritakan. Bima menyampaikan segudang maaf karena sempat tidak menghubunginya lama. Sasa masih sama seperti dulu. Sedini itu, keceriaan yang diperlihatkan seperti sandiwara untuk menutupi kesedihan. Satya sadar, ada segan yang coba disembunyikannya.

Satu hal yang pasti, keterusterangan Sasa terhadap pandangannya tentang senja. Tatapan gadis kecil itu saat mengatakan bahwa dia benci senja.

Satya pecinta alam. Ia amat menyukai senja. Menghabiskan waktu untuk mencari tempat yang baik menikmati senja menjadi kebiasaannya sejak ia memasuki tahun awal Sekolah Menengah Pertama. Dia tidak berani menceritakan pengalaman memburu senjanya pada Sasa. Hanya Bima yang bisa melakukannya.

Waktu berlalu. Duka itu tertinggal jauh. Usaha Satya dan Bima membuahkan hasil. Sasa tidak terlalu membenci senja. Ia secara perlahan bisa berdamai seiring beranjak remaja. Ia bahkan sampai meminta pada kakaknya, membawakan senja terbaik untuknya.

Satya senang tak terkira saat Bima memberitahu keinginan Sasa. Ia tanpa berpikir panjang menyetujui rencana Bima memotret senja di ketinggian 1400 mdpl. Mereka berdua pernah ke gunung yang dekat dengan kota itu sebelumnya. Dan pemandangan senja disana sungguh menakjubkan. Cocok dihadiahkan untuk gadis kecilnya. Sebenarnya, Sasa telah berumur lima belas tahun tapi tetap saja mereka berdua menganggapnya gadis kecil. Perbedaan postur tubuh mereka yang kontras, seakan menipu dunia jika usia mereka berbeda jauh. Padahal, selisih usia hanya setahun.

Hari itu, Satya dan Bima pergi sesuai rencana menggunakan sepeda gunung, kesukaan baru mereka. Dua sahabat ini memang sangat cocok dalam banyak hal. Ditambah, rute kali ini memang bisa dilalui menggunakan sepeda sampai puncak.

Cuacanya sangat baik saat itu. Langit biru bersih dengan sedikit hiasan awan putih.

Hingga kecelakaan itu terjadi. Perpisahan kedua yang harus dirasakan Sasa.

Di pertigaan kota terakhir, sepeda mereka melaju dengan kecepatan sedang. Tidak terlalu ramai. Satya memimpin dengan santai didepan. Di punggungnya bertengger tas kecil berisi kamera. Hingga dari arah kanan ada truk tidak bermuatan datang dengan sedikit oleng. Satya tidak memperhatikan itu. Ia masih dengan santai mengayuh sepeda saat Bima dengan sengaja menabrakkan sepedanya ke ban belakang. Sangat keras hingga membuat sepeda Satya maju beberapa meter dan terjatuh.

Satya selamat. Tapi tidak dengan Bima. Truk itu walau sempat mengerem, tetap menabrak sepedanya lumayan keras. Tubuhnya terpental. Sepedanya remuk. Kepalanya membentur trotoar jalan. Bima masih sadar untuk beberapa saat, seakan memastikan sahabatnya baik-baik saja. Ia berusaha memicingkan matanya melihat Satya yang berlari kearahnya. Tersenyum untuk terakhir kalinya.

Dilain tempat, Sasa sedang menikmati sore dengan buku di tangannya. Menantikan senja yang sama. Tanpa tahu apa yang terjadi pada kedua orang yang berarti banyak dalam hidupnya.

Kabar duka itu datang tepat saat matahari menghilang di ufuk barat. Sasa menikmati pemandangan itu dengan senyum tulus. Dia tidak pernah tahu, bahwa senja akan mengkhianatinya secepat ini.

Waktu berlalu, namun duka masih saja enggan pergi dari orang yang ditinggalkan.

Bagi Satya, kejadian itu sulit untuk dilupakan bersama perasaan bersalah yang menghantuinya setiap waktu. Satya tidak pernah merasa baik-baik saja. Sahabat terbaiknya mengorbankan nyawa demi dirinya. Alasan demi alasan ia buat hanya untuk semakin menyalahkan diri sendiri.

Pikiran itu tetap menghantuinya walau ia tahu penyebab kecelakaan itu terjadi. Kabarnya, supir truk itu menyetir dalam keadaan mengantuk. Sehingga tidak sadar menginjak gas dalam ketika melihat dua sepeda melintas di depannya.

Satya merasa tidak berhak jika membenarkan diri bahwa ia tidak bersalah.

Semua terjadi karenanya.

Satya mengutuk setiap hal yang membuatnya mengingatkan pada kecelakaan itu. Luka fisik yang didapatnya, rasanya ingin sekali ia memperparah.

Perasaan bersalah yang sempat membuatnya berpikir, tidakkah seharusnya ia saja yang mati? Hidup dengan perasaan bersalah sebesar ini tidak mungkin bisa ia lewati. Ia banyak menyusahkan orang-orang terdekatnya. Jiwanya benar-benar terguncang.

Saat pemakaman Bima, ia bak mayat hidup yang dipapah kedua orang tuanya. Prosesi yang dihadiri banyak orang untuk remaja seusia Bima. Teman sekelas, guru-guru sekolahnya, rekan komunitas pecinta alam, dan banyak rekan kerja ayahnya datang. Satya mengenali banyak orang, tapi satu sapaan pun tidak digubrisnya. Jiwanya seakan berada di tempat yang berbeda. Tatapannya kosong.

Lalu, bayangan dari gadis kecilnya hadir. Seperti kilat, menyadarkan Satya dari lamunan. Mencari. Bahkan sejak awal, gadisnya berdiri di sebelahnya memperhatikan dengan tegar. Satya baru menyadarinya.

Air mata jatuh diluar kehendaknya. Satya paham betul tatapan sandiwara dari Sasa itu. Sejak pamit di hari kejadian, Satya belum melihat Sasa lagi. Ia hanya menanyakan kabarnya lewat bunda. Memastikan bahwa Sasa baik-baik saja. Terlalu berat baginya untuk menemui Sasa setelah kecelakaan yang menimpa mereka.

Dadanya perih. Sesak. Satya menggenggam tangan bundanya erat, meminta untuk segera kembali ke rumah. Bayangan Sasa dengan wajah pucatnya di pemakaman terlalu menyakitkan. Sepertinya, ini akan menjadi akhir bagi cerita persahabatan mereka bertiga. Gadis kecil itu akan sangat membencinya.

Berminggu-minggu berlalu, Satya belum menemukan dirinya yang dulu. Ingatannya masih tertinggal pada hari kecelakaan.

Saat jiwanya terguncang. Jika saja Sasa tidak datang saat ia terus menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi. Mungkin saja sekarang ia sudah menyerah terhadap hidupnya. Terapi yang ia jalani sebelumnya tidak berdampak banyak sampai gadis kecilnya datang. Bersyukur atas keselamatan hidupnya.

"Kak Satya, terima kasih karena tetap hidup. Sungguh, terima kasih."

Isak perih untuk pertama kalinya keluar dalam diri Satya. Bersama ribuan maaf yang terpendam setelah sekian lama.

_____

Scientory (ツ)