Suasana kelas selalu sama, terlebih di kelas IPS. Namanya kelas sosial, mereka lebih banyak bersosialisasi dibanding belajar. Namun, bukan berarti mereka tidak belajar sama sekali. Hanya saja, mereka lebih banyak praktek lapangan. Itu bagian dari belajar, dalih mereka.
Kelas IPS selalu berbeda dengan kelas lain. Rutinitas harian mereka tergolong langka. Mulai dari kebiasaan mengerjakan tugas rumah saat menjelang bel masuk, jadwal kebersihan yang pembagian tugasnya dengan suit, musisi dadakan yang suaranya menghilang karena bisingnya suasana kelas, seksi bendahara sibuk menagih uang kas yang nunggak berminggu-minggu, Ketua kelas yang duduk di pojokan bermain game, tidak peduli dengan suasana kelas seperti pasar. Atau juga Elbi, Sang Atlet Kelas, dengan muka marahnya menatap kearah anak laki-laki yang berisik di depan bangkunya.
Sasa yang sudah terbiasa dengan suasana seperti ini, duduk tenang di bangkunya. Membaca buku biografi Che Guevara yang ia pinjam dari perpustakaan sekolah. Che Guevara adalah salah satu tokoh yang menarik perhatiannya saat pelajaran sejarah kemarin. Sasa tidak terpengaruh dengan keadaan sekitar. Meja belajarnya dipakai Tara dan dua teman lainnya untuk menyalin PR pelajaran ekonomi.
"Sa, gue kepaksa yah nyalin tugas lo. Bukan karena gue gak ngerjain tapi karena gue salah langkah aja. Semalem gue ngerjain sampe jam sepuluh malem tapi gue nyerah karena ada selisih. Males banget kalo udah nemu satu kesalahan," keluh Tara di sampingnya. Tangannya masih gesit menyalin.
"Kalau memang kesalahannya ketemu, seharusnya kamu langsung revisi, kerjakan sampai beres." Elbi hanya nimbrung di bangku kami. Entah sudah dikerjakan atau belum tugas ekonominya.
"Sasa saja tidak masalah. Ada apa denganmu?"
Tara melanjutkan menyalin tanpa menghiraukan Elbi yang kini hanya memangku dagu memperhatikan.
Sasa tidak masalah selama mereka tidak bilang kepada Satya. Pernah, suatu hari Tara terang-terangan meminta contekan padanya saat ia bersama Satya. Alhasil, seharian itu Satya bermuka masam. Berceramah tanpa akhir saat mereka bersama. Meminta Sasa untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Menyontek adalah hal yang dibenci Satya.
Pelajaran ekonomi bukan pelajaran pertama hari ini, tapi karena banyaknya yang harus di salin, sampai menghabiskan beberapa lembar buku besar, mengharuskan Tara mengerjakannya sesegera mungkin.
"Sasa emang yang paling sabar ngerjain tugas ekonomi. Nggak pelit pula. Liat si Ryan, tasnya aja masih digendong biar nggak ada orang yang nyalin tugas punya dia." kata Tara. Ia sinis melihat kearah Ryan yang dengan santainya memainkan gitar.
Di kelas, tidak banyak yang bisa mengobrol banyak dengan Sasa selain Tara dan Elbi. Ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama Tara karena Elbi sering ijin untuk mengikuti kompetisi. Elbi juga tipe teman yang bisa masuk di berbagai lingkaran pertemanan. Ia tidak terikat, bisa nimbrung dimana pun. Sedangkan Tara, Sasa merasa seperti mempunyai saudara kandung seumuran. Banyak hal yang diketahui Tara tentangnya. Termasuk masa lalu yang selalu ia sembunyikan. Tidak banyak orang yang tahu.
Membuka luka lamanya tidak pernah membuatnya merasa lega. Malah semakin membuat dirinya tidak bisa mengontrol diri. Maka Sasa memutuskan hanya menyimpannya sendiri. Kejadian tahun lalu cukup membekas untuk orang terdekatnya. Hanya segelintir orang yang dapat memahami.
Walau begitu, teman sekelasnya tidak pernah membuat rumit. Mereka terlalu santai menghadapi berbagai karakter unik teman-temannya. Salah satu yang membuat Sasa merasa kelas ini tepat untuknya.
Dia ingat, dulu saat memilih antara masuk jurusan IPA atau IPS. Meminta pendapat kepada Satya apa yang harus dipilihnya. Sasa sempat bertanya kepada ayahnya. Ayahnya hanya bilang terserah padanya. Maka dari itu, ia meminta pendapat Satya. Sebab, ia sendiri belum bisa memutuskan.
"Aku kira kamu langsung yakin pilih sosial karena tidak mampu menghadapi remedial tiap ulangan Fisika Kimia," celetuk Satya.
Sasa membuang napas. Kesal tapi setuju dengan perkataan Satya.
"Benar juga. Sampai sekarang aku tidak paham apa yang aku pelajari selain tokoh-tokoh hebat pencetus rumus rumit itu."
"Jawabannya sudah pasti."
"Jawaban apa?"
"Kamu harus memilih IPS. Kamu suka sejarah. Kalau masuk jurusan IPA, sejarah hanya dibahas selewat. Tidak dijelaskan secara spesifik. Kita seperti disuruh menghafal tanpa tahu seluk beluk, awal mula dari peristiwa sejarah itu sendiri. Kecuali kalau kamu baca dan pelajari materi tambahan. Guru sejarah favoritmu juga hanya mengajar di kelas IPS, loh."
Hening sejenak. Mereka membiarkan angin menerpa wajah.
"Tapi, aku lihat kelas Sosial selalu ramai. Mereka tidak terlihat serius untuk sekolah. Bukankah mereka yang paling sering berbuat masalah?"
"Tidak semua, Sa. Selama kamu bisa masuk kelas IPS satu, dua, atau tiga itu tidak masalah. Kecuali kalau nilaimu tidak memadai dan malah masuk kelas IPS tujuh. Kelas yang isinya murid bandel semua," ucap Satya sekenanya. Sebenarnya, ia becanda berkata seperti itu. Ia kenal beberapa teman di jurusan ilmu sosial dan mereka tidak separah apa yang dicitrakan sekolah.
"Andai saja ada jurusan Bahasa di sekolah kita."
"Membosankan!" celetuk Satya santai dan langsung dibalas dengan jitakan dibahu. Satya pura-pura kesakitan.
"Percuma nanya Kak Satya soal ini."
Satya sedikit menjauh. Takut bagian lain tubuhnya menjadi sasaran amuk Sasa. "Kamu sudah memutuskan masuk jurusan apa?"
Sasa mengangguk.
"Sebenarnya aku dari awal sudah memikirkannya. Aku bertanya pada kakak hanya untuk meyakinkan saja."
"Aku tahu, kamu hanya perlu alasan untuk menemuiku di jam kosong, goda Satya. Sasa hanya melengos sebal.
Saat tes psikotes, Sasa tidak menemukan kendala. Sepertinya memang IPS adalah jawabannya. Hanya saja, takdir tidak bisa dielakan. Ia terhampar di kelas legenda yang dibicarakan Satya. Bisa dibayangkan betapa Satya mengejeknya habis-habisan karena hal itu. Di sisi lain, Satya berharap dengan masuknya Sasa di kelas IPS non-unggulan itu bisa menghapus sedikit demi sedikit kesedihan masa lalunya. Lagipula, ia sekelas dengan teman lamanya.
Saat pertama masuk kelas, sulit untuknya berinteraksi dengan murid lain. Tara banyak membantunya dalam bersosialisasi di kelas ini. Suasana kekeluargaan yang disuguhkan sejak pertama ia memasuki kelas membuatnya lega. Dengan berbagai karakter yang dimiliki teman sekelasnya, ia bersyukur tidak perlu memikirkan cara untuk menjauh. Sebeb, mereka saling memahami.
Termasuk tidak terlalu banyak bertanya dan mengulik segala hal tentang Sasa. Teman sekelas mereka yang paling tertutup.
_____
Scientory (ツ)