Kelas mulai sepi. Jam pelajaran terakhir telah selesai. Sasa menenteng tas gendongnya. Membereskan bangkunya dan berjalan keluar kelas.
"Sa, mau kemana?" tanya Tara, teman sebangkunya. Tangannya masih sibuk membereskan buku dan alat tulis yang berserakan di meja.
"Ruang ekskul. Duluan ya," jawab Sasa sambil berlalu.
"Kebiasaan lo. Jangan kesorean pulangnya, nanti diculik setan loh," canda Tara, sudah terbiasa dengan kebiasaan teman satunya itu. Bermeditasi dengan tumpukan buku di kelas ekskull yang jarang dikunjungi para murid.
Sasa berjalan menuruni tangga menuju lantai satu. Bangunan khusus untuk ekskul tepat di depan bangunan kelasnya. Jaraknya agak jauh, karena ketika aktifitas ekskul sedang jalan, beberapa memang cukup mengganggu ketenangan sekolah. Walau kegiatan ekskul tentu saja selalu diluar jam pelajaran
Sekolahnya cukup memfasilitasi kegiatan diluar pelajaran. Ada banyak ekskul disini, salah satunya kelas sastra yang sangat ia sukai. Satu-satunya ekskul yang ia ikuti. Awalnya ia terpaksa karena guru mengharuskan muridnya mengikuti setidaknya dua ekskul. Hanya saja ekskul marching band, pilihan keduanya, tidak ia lanjuti karena tidak nyaman dengan latihan diluar ruangan. Hanya membuat bising seseantero sekolah, pikirnya.
Beberapa murid masih terlihat walau jam menunjukkan pukul empat lebih, sudah jam pulang. Dilihat dari tampilannya mungkin mereka kelas tiga yang sedang mempersiapkan karya tulis ilmiah. Akhir bulan ini sidangnya.
Sasa mendongak kearah lantai tiga. Kelas dua belas. Sepi. Mungkin ada kelas tambahan untuk persiapan UN.
Sasa membayangkan alangkah ribetnya nanti saat dia naik kelas. Mengikuti kelas tambahan lah, mempersiapkan karya tulis, Ujian Nasional, daftar kuliah, dan sebagainya. Memikirkannya saja sudah membuatnya muak. Ia bergidik sendiri.
Ponselnya bergetar tanda pesan masuk. Dari Satya.
'Sa, tunggu di tempat biasa kan?
Tinggal kelas bahasa Indonesia ini, mungkin lima belas menit lagi selesai'
Sasa membalas pendek mengiyakan.
Ruangan ini lumayan luas, dua kali ukuran kelasnya. Hanya saja sedikit yang tertarik dengan ekskul ini. Saat ada rapat kecil-kecilan hanya beberapa yang hadir. Mungkin beberapa dari mereka yang memilih sastra hanya untuk formalitas seperti ia yang memilih marching band.
Dari pintu masuk terdapat papan tulis kecil dan mading sederhana yang biasa digunakan untuk memasang beberapa pengumuman tentang perlombaan kepenulisan. Isi ruangan ini terlihat membosankan bagi orang awam. Bagaimana tidak, keseluruhan ruangan hanya diisi oleh rak-rak buku. Seperti perpustakaan kecil. Dihiasi figura berisi kata motivasi yang tidak jauh dari tema sastra di dinding. Bangku berderet rapi di tengah. Hanya tiga baris. Menyesuaikan anggota yang biasa aktif di ruangan ini.
Sasa sempat beberapa kali mengikuti perlombaan di beberapa forum. Tak jarang mendapat tropi dan membawa nama baik sekolahnya. Walau sekolah tidak terlalu memperdulikan perlombaan yang diikuti ekskul sastra sebenarnya. Menganggap sepele.
Sasa membereskan berkas perlombaan di meja depan papan tulis. Memasukkan kedalam laci. Kemudian mengambil bangku paling pojok dekat rak berisi kumpulan buku puisi klasik. Sepertinya beberapa hari ini ekskul sastra ditinggal penghuninya. Terlihat bangku lain berdebu, hanya bangkunya yang terlihat terurus. Itu pun karena setiap hari dia menunggu Satya untuk pulang bersama.
"Hey Sa, sendirian?" tanya Fatih, ketua ekskul sastra. Dia membawa pamflet kecil berisi perlombaan dari salah satu universitas pendidikan.
"Iya, tidak ada kelas tambahan, Kak?" tanya Sasa menutup novel yang sedang dibacanya.
"Terpaksa bolos. Barusan ada kakak mahasiswa yang datang. Ngasih tahu ada lomba buat cerpen se-provinsi. Mau aku pasang pamfletnya siapa tau ada yang tertarik," jawabnya sambil memasang pamflet itu di mading. Sasa hanya mengangguk.
"Ini universitas ternama di Kota. Kamu berminat, Sa?" tanya Fatih lagi setelah selesai.
Sasa membaca sejenak informasi yang tertera dalam pamflet.
"Jauh ya. Anggota yang lain sudah pada tahu, Kak?" tanyanya balik.
"Sudah aku sebar di grup. Tidak ada respon, hanya beberapa yang baca pesanku. Sepertinya tidak ada yang tertarik."
"Kakak sendiri?"
"Aku sudah sibuk dengan segala tugas akhir. Mana pas try out kemarin nilai bahasaku turun. Kan gak lucu, anak klub sastra tapi nilai bahasanya jeblok. Mau fokus dulu persiapan Ujian Nasional sepertinya."
Sasa tersenyum mendengarnya. Benar juga. Berarti, ia pun harus berusaha untuk menaikkan nilai bahasanya.
"Kamu nunggu Satya?" tanya Fatih yang dibalas dengan anggukan. Selalu begitu. Sasa terbiasa berbicara singkat dengan siapa pun. Tapi dari semua anggota klub Sastra ini, hanya dengan Fatih-lah ia sedikit terbuka. Bahkan, mungkin anggota lain ada yang tidak mengenalinya. Disamping sifat tertutupnya, klub ini memang tidak terlalu aktif.
Fatih menghampiri bangku paling depan. Meletakkan tasnya.
"Ruangan ini benar-benar tidak terurus. Sepertinya klub sastra harus menentukkan ketua baru. Aku mulai sibuk dengan kegiatanku. Kamu tertarik jadi ketua ekskul terbengkalai ini, Sa?" canda Fatih. Sasa mendongak terkejut. Tersenyum lalu menggeleng.
Fatih medengus menyerah, "mungkin nanti saat aku sudah keluar, baru kalian mencari penggantinya. Selalu seperti ini sejak dulu."
Sasa membenarkan. Saat dia kelas satu, Fatih ditunjuk untuk menjadi ketua. Namun, tahun berikutnya secara tidak resmi Fatih ditunjuk sebagai ketua. Selanjutnya, hanya beberapa orang yang menggunakan ruangan sebagai perpustakaan. Atau saat ada undangan lomba, beberapa mengerjakkan tulisannya di ruangan ini. Berbekal laptop pinjaman dari lab komputer.
Sudah dua tahun Fatih menjabat sebagai ketua, tapi tidak ada yang tertarik untuk menggantikan posisinya. Mungkin benar, saat tidak ada lagi Fatih, ketua ekskul sastra baru ditunjuk. Sebab, ekskul ini walau sepi pengunjung, harus tetap bertahan.
__
Jam menunjukkan pukul setengah enam sore, hampir maghrib.
Sasa tertidur dengan novel sebagai bantalnya.
Fatih membereskan barangnya. Merapikan kumpulan lembar soal perkiraan untuk Ujian Nasional yang tadi ia kerjakan. Berbalik, melihat Sasa yang sedang tertidur. Tersenyum. Ia melangkah pelan hendak membangunkan, sebelum seseorang masuk melewati pintu mengurungkan niatnya.
Satya menyapa pelan padanya dan menghampiri mereka.
"Sat..," seru Fatih terlihat khawatir. Matanya melirik Sasa.
"Kenapa? Dia tidur?" tanyanya heran dengan raut wajah Fatih. Bergegas ia melihat Sasa yang terlihat ketakutan dalam tidurnya. Wajahnya penuh keringat dingin.
Satya membangunkan Sasa dengan menggerakkan tangannya pelan. Namun tangannya malah diraih dan digenggam erat oleh Sasa. Gumaman tak jelas keluar dari mulut Sasa membuatnya semakin khawatir.
"Kak.. " jerit Sasa dengan napas menderu. Dia terbangun dengan dada yang tak karuan. Ketakutan masih meliputinya. Mimpi buruk. Dia tersadar melihat dua orang yang sedang menatapnya khawatir.
"Kamu mimpi buruk?" tanya Fatih khawatir. Matanya melirik sebentar genggaman tangan mereka.
Sasa hanya tersenyum canggung. Melihat kearah Satya.
"Kak Satya sudah selesai?" tanya Sasa mencoba bersikap tenang. Perasaan takut sisa dari mimpinya masih membekas. Tangannya gemetar. Ia tidak sadar sedang menggenggam erat tangan Satya.
Satya tidak membalas pertanyaannya. Ia membuang napas tanda penyesalan. Menyadari akan kebiasaan gadis itu ketika tidur. Kenangan akan kehilangan sahabatnya terlintas kembali. Perasaan bersalah itu masih menghantuinya sampai saat ini. Apalagi melihat kondisi Sasa dengan traumanya.
Sinar sore memenuhi ruangan itu. Derap langkah dari murid kelas tiga terdengar sayup. Suasana diluar sepi seperti tak berpenghuni. Sebentar lagi penjaga sekolah akan berkeliling mengecek dan mengunci setiap ruangan.
"Sudah sore. Aku duluan, yah," kata Fatih menyadari situasi. Kemudian bergegas keluar ruangan. Meninggalkan mereka berdua.
Kesadaran Sasa sudah pulih walau tangannya masih bergetar. Ia sudah sedikit tenang. Butuh beberapa menit untuknya sadar dari mimpi buruknya. Hanya Satya dan ayahnya yang tahu kebiasaan itu. Tapi tetap saja, ia merasa malu menunjukkan sisi lainnya pada Satya.
"Lain kali, jangan sampai tertidur seperti ini. Apalagi sore hari, tidak baik!" kata Satya mencoba tersenyum. "Ayo pulang."
Satya membantu membawakan novel yang sedang dibaca Sasa tadi. Tangannya sudah terlepas saat ia menegurnya barusan.
Sasa beranjak dari duduknya melangkah keluar ruangan. Tepat saat mereka keluar, penjaga sekolah tiba.
Mereka berjalan bersisian tanpa bicara. Hening. Satya melirik tangan Sasa yang masih bergetar. Inginnya menggenggam tangan itu namun urung. Sebagai gantinya ia memberikan buku novel tadi.
"Novelnya basah, ada iler Sasa," candanya tersenyum. Sasa langsung mengambilnya dari tangan Satya. Mengelap bagian luar dengan baju lengan seragamnya. "Canda kali, haha."
Sasa merenggut. Memeluk buku itu dalam dekapannya. Menyembunyikan tangannya yang bergetar.
"Maaf," seru Satya pelan.
Sasa meliriknya dengan tatapan bertanya. 'Maaf untuk apa?'
"Maaf karena membuatmu menunggu lama sampai kelasku selesai," sesal Satya.
"Aku suka baca sendirian di ruangan sastra, Kak. Enggak masalah," kata Sasa tersenyum. Satya memahami kebiasaannya itu.
"Tadi bu Nia mungkin kesal. Karena di ujian try out kemarin di kelasku banyak yang nilainya turun. Imbasnya dia sampai membahas lebih dari setengah soal try out kemarin. Pembahasannya lama sekali. Padahal biasanya hanya lima atau paling banyak hanya membahas sepuluh soal. Tahu sendiri, satu soal bisa dia habiskan sepuluh menit pembahasannya. Membosankan."
Sasa tertawa mendengar penuturan Satya barusan.
"Apa yang membuatmu bertahan di ekskul Bahasa sih, Sa?" tanya Satya.
"Sebenarnya, walau aku suka sastra, tapi aku juga kurang suka dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Walau tidak sampai bilang kelasnya membosankan, sih."
"Tapi, bukankah Bu Nia yang bertanggung jawab terhadap klub Sastra, yah?"
"Heem. Tapi bu Nia tidak terlalu ikut campur dengan kegiatan kita. Hanya memantau dari jauh."
"Terus, apa yang membuat kamu bertahan? Si Fatih juga sama. Padahal, sudah kelas tiga, seharusnya bisa lepas dari semua kegiatan ekskul."
"Sebenarnya..," kata Sasa tertahan. "Kak Fatih yang membuat aku bertahan di sastra."
Satya terkejut mendengar alasan itu. Maksudnya?
"Saat pertama kak Fatih menjabat jadi ketua klub, dia sering mengisi kegiatan seminggu sekali membahas apa saja yang ingin didiskusikan anggota klub, sesuai permintaan dari kita. Penjelasannya jelas dan gampang dimengerti. Semua anggota merasa terbantu dan nilai bahasa kita sedikit membaik setelah ikut ekskul ini. Sayangnya, sekarang kak Fatih tidak terlalu aktif. Klub kita juga semakin sepi."
Terlihat raut kecewa dari wajah Sasa.
Satya menghela napas panjang. Menahan perasaan aneh dalam dadanya. Entah kenapa, kekaguman Sasa pada Fatih barusan cukup membekas dan memberi rasa kecewa padanya.
Mereka sampai di parkiran sekolah. Satya membawa motornya dan menyadari sesuatu setelah membuka bagasi.
"Sa, aku enggak bawa helm kamu. Kelupaan."
Mereka terdiam. Saling bertatap memikirkan solusi paling memungkinkan. Saat mereka bingung apa yang harus dilakukan, Fatih lewat dengan motornya.
"Kalian belum pulang juga?" tanyanya berhenti melaju memposisikan dengan kendaraan Satya.
Satya celingukan.
"Bawa helm dua?" tanya Satya berharap. Sasa menatapnya penuh harap.
Fatih mengangguk. Membuka bagasi motornya dan mengeluarkan helm berwarna biru tua polos. Satya dan Sasa menghela napas lega. Syukurlah.
"Makasih, bro," kata Satya menerima helm dan memberikannya pada Sasa.
"Makasih, kak Fatih. Besok, aku kembaliin, yah."
"Tenang, Sa. Lagipula itu helm udah nganggur lama kok. Pake aja," kata Fatih tersenyum. Ia menjalankan motornya terlebih dahulu setelah berpamitan kepada keduanya.
"Langsung pulang?"
Sasa mengangguk. Langit sudah mulai menggelap.
"Tidak jadi mampir ke Book kafe?"
"Lain kali saja."
Satya menurut. Walau ia ingin menghabiskan waktu lebih banyak, lembayung di ufuk sana sudah menyapa mereka.
_____
Scientory (ツ)