Semburat cahaya mentari memberi kehangatan pada pagi ini. Aktifitas manusia mulai terlihat hiruk pikuknya.
Pagi yang menyenangkan. Awan putih menyatu bersama birunya langit membuat siapa pun yang melihatnya merasakan kesejukan. Udara menyegarkan saat memasuki gerbang sekolah. Disapa dengan pohon tanjung yang rindang di sepanjang jalan. Pot berisi berbagai jenis tanaman hias menyambut para murid di setiap lorong kelas. Juga ada pohon mangga dekat kantin. Tidak jarang, beberapa murid mengambil buahnya untuk dimakan langsung atau dirujak.
Suasana sekolah sudah mulai ramai. Bahkan sepagi ini, murid laki-laki ada yang bermain basket di lapangan. Beberapa murid perempuan terlihat seperti sedang menonton idolanya bermain. Olahraga basket di sekolah ini cukup terkenal. Pernah masuk kejuaraan nasional, walau belum sampai mendapatkan tropi.
Dilain sisi, para murid yang kelupaan sarapan pagi memenuhi kantin. Fakta bahwa nasi kuning di kantin ini selalu menjadi kesukaan. Selain rasanya, harganya tergolong murah untuk saku anak sekolahan dan porsinya pun cukup untuk menunjang aktifitas sampai siang.
Seorang gadis dengan tinggi 160 cm berjalan santai di lorong dekat gerbang masuk. Tidak memerdulikan sekitarnya. Sebuah earphone terpasang di kedua telinganya. Bahkan saat seseorang menghampirinya dengan napas tersengal, ia tidak menyadarinya.
"Hai Sasa, selamat pagi!" sapa manis pria dengan jaket nuansa hitam bergaris putih di tangan. Jaketnya terlihat sedikit lusuh saking seringnya ia pakai.
Gadis itu tersenyum ramah. Melepas earphone-nya sejenak.
"Kak Satya sepagi ini main bola basket?" tanya gadis itu, Sasa.
"Olahraga pagi," jawab asal Satya nyengir.
Pria yang akrab dengan panggilan Satya itu mengelap keringat di wajahnya. Ketampanannya tetap terlihat walau peluh memenuhi wajah. Untuk beberapa gadis yang memuja ketampanan Satya, mungkin sudah histeris mendengar sapaan manisnya. Tidak dengan Sasa, ia malah bingung definisi ketampanan itu seperti apa kalau Satya saja dibilang tampan. Akhirnya hanya bisa menyimpulkan, cantik dan tampannya seseorang itu relatif.
Sasa dipinta untuk menunggu. Lelaki itu kembali ke lapangan sebentar untuk membawa tasnya, sambil berpamitan kepada teman-temannya yang masih bermain.
Mereka lanjut berjalan.
"Kamu sudah sarapan?"
"Sudah. Tadi, pagi sekali ayah membuat sarapan."
"Nasi Goreng Ikan Teri!" tebak Satya. Itu adalah salah satu menu sarapan yang sering dibuat oleh Om Adi, ayah Sasa. Tidak jarang saat menjemput Sasa untuk berangkat sekolah bersama, Satya sering diajak sarapan. Sengaja sebenarnya, dia hanya penasaran dengan cerita Sasa saat pertama kali ayahnya membuatkan sarapan. Hasilnya memang tidak mengecewakan. Malah membuat Sasa ketagihan, juga Satya.
Sasa tertawa mendengar jawaban antusias Satya.
"Kak Satya sudah sarapan?"
Satya menggeleng, sambil memegang perutnya.
"Seriusan? Main basket padahal perut masih kosong, emang enggak lemas apa?"
"Biasa saja, sih. Aku 'kan bukan kamu, sekalinya kelewat sarapan, hampir pingsan waktu upacara," ejek Satya. Sasa melotot ke arahnya.
"Enggak baik terus-terusan melewatkan sarapan. Apalagi sekarang Kakak sedang dalam masa keemasan, siswa senior. Harus mempersiapkan tubuh sebaik mungkin menghadapi banyak ujian nanti." Sasa melengos mempercepat jalannya, kesal diejek seperti itu. Ia hanya khawatir. Ia berseru sambil berjalan, "padahal aku bawa sarapan yang dibuatkan ayah tadi pagi."
Satya terkejut mendengar fakta bahwa gadis itu membawakan sarapan untuknya. Biasanya, malah Satya yang membawakan sarapan. Jaga-jaga kalau Sasa bangun kesiangan dan tak sempat sarapan. Gadis itu merepotkan sekali jika sekali saja terlewat jam makan.
Satya berhenti melangkah dan berdiri tepat didepan Sasa. Membuat langkah gadis itu ikut terhenti.
"Kamu bawa sarapan untukku?" tanya Satya menginterogasi.
Sasa mengangkat pundaknya.
"Aku bercanda. Tapi bener, 'kan. Kamu pernah hampir pingsan karena lupa sarapan pagi. Padahal, hari itu hari senin dan ada upacara bendera."
Bukannya malah melunak, Sasa mendorong Satya agar minggir dari hadapannya. Memang niatnya bikin kesel, bukan ngerayu.
"Aku ke kelas duluan." Sasa terlihat semakin jengkel.
Satya mengeluarkan jurus terakhirnya.
"Oke, oke, nanti pulang sekolah aku traktir ke Book Kafe, deh."
Sasa berhenti melangkah. Dia langsung merogoh bekel didalam tasnya. Menyerahkan kotak makan kepada Satya.
Satya tertawa. Untuk yang satu ini, memang tidak akan bisa ditolak Sasa. Tempat kesukaannya sejak masuk SMA.
"Sasa baik hati sekali, yah," goda Satya lagi saat sarapannyanya sudah di tangan. "Temenin, yah? Di kursi itu. Enggak enak makan sendirian."
Satya mengajak Sasa menuju pohon besar di samping bangunan kelas. Pohon itu dikelilingi kayu melingkar sebagai tempat duduk. Tempat yang cukup populer untuk murid sekolah ini.
"Udahan dong kesalnya, masih pagi. Temenin aku makan sebentar. Tadi belum sempet makan karena harus Pemantapan dari jam enam pagi. Eh, ternyata gurunya ada halangan, jadinya pemantapannya diundur nanti sore. Tahu gitu, aku tadi bisa ikut sarapan di rumahmu. Kasian Om Adi udah siapin sarapan buat aku, kan."
"Itu makanan sisa. Ayah bukan sengaja bikin buat Kakak. Kegeeran!"
Satya tertawa. Sasa melengos mendahului.
Sesampainya di kursi bawah pohon lebat, mereka duduk bersisian. Di bangku sebelah mereka ada murid yang sedang asyik bercengkrama.
Satya membuka bekal yang terisi penuh. Bahkan ada telur dadar dan nugget. Dalam hatinya, makanan sisa sih tidak akan selengkap ini. Satya menahan tawa. Sebenarnya ingin lanjut menggoda gadis yang sekarang sedang membuka buku tugas matematikanya. Namun, dia tahan. Kalau Sasa ngamuk bisa-bisa ia makan sendirian disini.
Satya melirik saat sarapannya sisa setengah. Sasa terlihat kebingungan dengan pensil ditangannya. Mencari apa yang salah dengan soal yang ia kerjakan tadi malam. Serasa ada yang ganjil.
"Kenapa, Sa?"
"Soal matematika. Bingung aku. Semalam ngerjain sampai tengah malam. Sekarang enggak ingat lagi caranya. Kenapa hasilnya bisa ketemu."
"Coba aku lihat."
Satya memeriksa teliti. Hanya sekejap. Ia langsung tahu letak kesalahannya.
"Kamu kok bisa ketemu hasil akhirnya, sih?" tanya Satya heran.
"Emang kenapa? Ada yang salah, yah?" selidik Sasa penasaran.
"Pengaplikasian rumusnya kok bisa seperti ini?"
"Lupa, semalam aku ngerjain asal."
Satya ingin tertawa terbahak. Namun, lagi, ia tahan demi menyelamatkan bahunya yang pasti akan dijadikan sasak tinju oleh Sasa.
Satya menjelaskan sebentar. Soal seperti ini mudah baginya. Karena dia ada di jurusan IPA dan Sasa di IPS. Pelajaran seperti ini sudah dia pelajari sejak kelas dua semester pertama. Masih tingkat mudah untuk dia yang berotak cerdas, sombongnya.
Sasa di sebelahnya terlihat takjub dengan kecepatan Satya mengerjakan dan menjelaskan soal yang sulit baginya. Selalu begitu. Padahal dia tahu, kalau Satya merupakan murid pintar di sekolah ini.
"Makasih yah, Kak. Kalau saja aku enggak cek lagi hasil yang kukerjakan semalam, mungkin sudah ditertawakan teman sekelas. Aku jadwal menulis di depan hari ini."
"Pasti. Pasti mereka akan menertawakanmu. Pertanyaan semudah ini dijawab asal-asalan. Dasar!" ledek Satya.
Sasa mendelik.
"Sombong. Kalau saja masih ada Kak Bima, dia bisa mengerjakan ini dengan mata tertutup. Kakakku selalu juara pertama sejak SD. Kak Satya bukan tandingannya."
Satya tersentak.
Sasa jarang mengungkit soal Kakaknya. Kejadian tahun lalu amat jelas dalam ingatan mereka. Membuat Satya merasa bersalah bahkan hingga saat ini. Tanggung jawab menjaga seseorang milik temannya. Sosok yang selalu diceritakan dengan riang.
"Kak.. "
Sasa melirik kearah Satya. Tersenyum.
"Dulu saat Kakakku masih ada, aku selalu mengganggunya dengan segala tugas sekolah. Dia pintar. Aku bahkan tidak pernah masuk sepuluh besar saat kelas sepuluh. Namun, dia tidak pernah menyerah mengajariku walau dengan ribuan kata panggilan merendahkan dan jitakan di kepala." Sasa tersenyum mengingatnya. Ada kesedihan yang coba disembunyikan.
Satya menatapnya bersalah. Dia tahu, bahkan sampai saat ini, luka gadis itu belum juga sembuh. Kenangan bersama Kakaknya masih teringat jelas dalam ingatan. Ia sendiri, yang mencoba lebih mendekati gadis ini, seringkali merasa harus pergi. Semua terjadi karenanya, tidakkah harusnya ia menjauh dari Sasa?
Sasa membereskan buku tugasnya. Bergegas karena bel sebentar lagi akan terdengar.
"Bekalnya mau dihabiskan, Kak?" tanya Sasa saat Satya masih dalam lamunannya.
"Eh, aku bawa ke kelas tidak apa-apa?" tanya balik Satya. Makanannya tidak berkurang lagi. Masih sisa separuh.
Sasa mengangguk sambil mengendong tasnya. Satya bergegas mengikuti.
"Jam pulang, aku ada tambahan kelas sore. Kamu tunggu di tempat biasa, kan."
Sasa membalas dengan anggukan, sambil tersenyum.
Satya melambaikan tangan. Mereka berpisah. Kelas Satya ada di lantai tiga. Ia pergi dengan perasaan bersalahnya. Dia tahu dibalik senyuman gadis itu, masih tersisa kesedihan.
Sasa, Satya dan Bima sudah dekat sejak mereka masih kecil. Saat Bima tiada, Satya sempat menjauh dari Sasa, sebab perasaan bersalah masih mendominasi. Sisi hatinya yang lain menyuruhnya untuk bertanggung jawab. Dengan menyingkirkan perasaan bersalahnya, ia bisa menjadi lebih dekat seperti sekarang.
Tidak mudah melewati masa-masa itu bagi mereka berdua. Hanya saja, mereka dengan apik menutupi perasaan itu.
Semenjak kehilangan kakaknya, hidup Sasa tidak lagi seimbang. Sebab, ia amat bergantung pada kehadiran kakaknya.
Tanpa diketahui Sasa, Satya berusaha untuk mengisi ketidakhadiran Bima. Perlahan, Satya ingin memastikan hidup gadis itu baik-baik saja setelah banyak melewati kehilangan.
Perasaan ingin menjaga. Resah tidak bisa jauh darinya. Mencoba memperbanyak intensitas pertemuannya dengan Sasa. Walau dari awal terbilang susah. Sebab, Sasa menjadi lebih tertutup sejak kejadian itu.
Perjuangan Satya tidak mudah dalam mendekati Sasa dengan perubahan sikap yang kentara. Mengingat janji di masa lalu dengan sahabat terbaiknya, tidak ada kata menyerah baginya.
Sejak awal, Satya sudah memutuskan. Bukan hanya tentang ikrar yang sudah terlanjur, tapi perasaan yang ia jaga sejak lama. Perasaan yang lebih dulu disadari oleh Bima. Bahkan, saat ia masih meraba hatinya.
_____
Scientory (ツ)