Chapter 6 - Bab 6-Ki Ageng Waskita

Kesabaran adalah muara

dari kemarahan

yang kehilangan lautannya

Setelah Gadis Penebar Maut melarikan diri entah oleh sebab apa ketika Ratri Geni sedang bertempur dengannya dan kemudian Ario Langit datang membantu, kedua muda mudi itu melakukan pengejaran tidak secara bersama-sama.

Ratri Geni memilih melewati hutan dan Ario Langit tetap melewati jalan. Gadis muda ini menyusuri pinggiran Alas Roban diiringi oleh Sima Braja yang sudah muncul kembali begitu Ratri Geni sendirian. Wanita pembunuh yang sangat kejam itu kecil kemungkinan lewat jalan biasa karena pencarian besar-besaran sedang dilakukan oleh Jipang Panolan dan juga Pajang. Korban yang banyak berjatuhan memang berada di wilayah kedua kerajaan tersebut.

Sambil berjalan dengan waspada, memasang pendengaran sebaik-baiknya, Ratri Geni tak habis pikir kenapa ada orang tega berbuat sekejam itu terhadap orang lain. Dia sendiri selalu diajarkan untuk memiliki welas asih yang tinggi terhadap sesama manusia, alam dan juga binatang. Tapi Gadis Penebar Maut ini sungguh di luar akal sehat manusia. Membunuhi orang dengan gampang. Seperti mencabut rumput kering di ladang yang meranggas. Bukan main!

Ratri Geni menahan langkah seketika. Dilihatnya Sima Braja yang berjalan di depannya merundukkan tubuh dan bersiaga terhadap sesuatu. Gadis ini berkelebat di samping Sima Braja untuk menyelidiki. Mata gadis ini terbelalak. Jauh di bawah, di dasar ngarai yang dalamnya lebih dari seratus meter dari tempat mereka berdiri sekarang, terlihat pertempuran luar biasa antara dua orang yang sama sekali tak terlihat bayangannya.

Ratri Geni menajamkan penglihatan sambil mengerahkan hawa sakti ke syaraf matanya. Dua orang yang sedang bertempur hebat itu adalah seorang kakek yang sudah sangat tua. Tubuhnya yang kurus dibungkus baju pertapa yang lusuh namun bersih. Lawannya adalah seorang nenek yang tak kalah tua. Berbaju serba hitam dengan rambut kemerahan yang terurai panjang tanpa digelung.

Ratri Geni sangat takjub. Pertempuran itu sangat luar biasa! Mungkin kepandaian kedua orang tua itu setara dengan kepandaian ayahnya yang merupakan seorang pendekar nomor satu dan jarang menemui tanding di dunia persilatan. Tapi umur kakek dan nenek yang bertempur hebat itu sudah sangat tua. Jauh lebih tua dari ayahnya. Itu artinya kedua orang itu jauh lebih tua dari ayahnya. Tokoh-tokoh tua yang selama ini tidak muncul di dunia persilatan ketika Arya Dahana masih melanglang buana dengan segala kehebohan dan kehebatannya.

Sima Braja menggeram marah. Harimau besar hitam legam itu berlari cepat memutari tebing dan menuruni ngarai melalui tebing yang lebih landai dari tempat mereka sekarang. Ratri Geni yang kaget dengan tindakan Sima Braja, langsung menyusul cepat. Khawatir jika terjadi apa-apa terhadap Sima Braja karena Ratri Geni menyadari kedua orang tua sakti di bawah itu bisa melukai atau bahkan membunuh Sima Braja. Entah mengapa, gadis ini merasa Sima Braja adalah peliharaannya sehingga dia tidak akan rela jika sampai harimau itu terluka atau terbunuh.

Kedua bayangan besar dan kecil itu dengan bergerak lincah di medan yang curam. Bisa dibayangkan betapa tinggi ilmu meringankan tubuh Ratri Geni, namun yang tak terbayangkan adalah tubuh besar Sima Braja tidak sedikitpun terpeleset di jalanan kecil, tidak rata, penuh belukar, dan berkelerengan tinggi.

Sementara itu pertempuran semakin dahsyat. Kedua tokoh tua itu saling bertukar pukulan. Namun jika diperhatikan sungguh-sungguh, kakek tua kurus berjanggut putih itu sama sekali tidak balas menyerang. Hanya berusaha bertahan sekuatnya dengan cara mengelak dan menangkis.

Saat Ratri Geni dan Sima Braja sampai di pinggir arena pertempuran, kakek tua itu terdorong beberapa langkah ke belakang dengan tubuh bergoyang-goyang. Pukulan nenek tua itu sempat mengenai pundaknya. Kepandaian kedua orang tua itu sebetulnya nyaris berimbang dengan kakek tua itu lebih tinggi sedikit tingkatan ilmunya. Namun karena hanya terus bertahan, kakek tua itu tidak bisa lagi membendung serangan ganas si nenek tua.

Ratri Geni tahu bahwa kakek tua berwajah tenang itu terluka dalam. Karena itu begitu si nenek tua melanjutkan serangannya dengan pukulan mematikan, gadis putri Arya Dahana ini tak ragu-ragu terjun ke tengah pertempuran menghadapi si nenek yang matanya melotot marah luar biasa ada anak gadis yang berani mencampuri urusannya.

Nenek itu menahan serangan. Suaranya melengking tinggi penuh kemarahan.

"Siapa kau anak bau kencur?! Berani-beraninya kau mencampuri urusan Bidadari Berambut Api?! Apakah kau mau mati hangus?!"

Ratri Geni melangkah maju dengan sikap gagah. Gadis ini sama sekali tidak takut meski tatapan nenek yang mengaku punya julukan mengerikan Bidadari Berambut Api sangat tajam menusuk. Bahkan seolah-olah menyala dan berusaha membakar habis keberaniannya. Gadis ini sadar Bidadari Berambut Api sedang menggunakan pengaruh sihir. Ratri Geni mengerahkan Ajian Ranu Kumbolo. Ibunya yang merupakan datuk ilmu sihir, telah merangkum semua ilmu sihir yang ada dalam kitab kuno Ranu Kumbolo menjadi satu puncak ilmu sihir yang disebut Ajian Ranu Kumbolo. Ilmu yang mampu menahan kekuatan sihir lawan dan juga sanggup mengeluarkan berbagai macam kembangan sihir seperti Malih Rupa, Pati Geni, Pati Banyu dan berbagai macam lainnya.

Nenek berjuluk Bidadari Berambut Api yang nama sebenarnya adalah Nyai Sembilang itu sejenak terpana. Ilmu sihirnya tidak mempan terhadap gadis muda ini. Namun kemarahan sudah menguasai hati Nyai Sembilang. Didahului dengan jeritan melengking tinggi, nenek sakti itu mengayunkan kedua tangannya ke depan. Dua larik pukulan dahsyat berhawa sangat panas menerjang tubuh Ratri Geni.

Awalnya kakek tua berambut putih yang sebetulnya adalah Ki Ageng Wakita hendak berseru agar Ratri Geni minggir dan dia akan menggantikan gadis itu menghadapi kembali Nyai Sembilang. Namun dibatalkannya karena dia juga penasaran bagaimana mungkin gadis yang masih berusia sangat muda ini bisa menguasai sihir langka yang bisa menolak permainan sihir Nyai Sembilang.

Melihat pukulan mematikan berdaya luar biasa panas itu menyambar, dasar orang muda yang masih tidak mengenal kata takut, Ratri Geni justru menjadi gembira. Saatnya menguji sampai di mana tingkatan Pukulan Busur Bintang yang dikuasainya. Ayahnya pernah bilang, jika dia menemui lawan yang memiliki pukulan berhawa panas dan tidak yakin seberapa kuat hawa saktinya, jangan sekali-kali beradu dengan hawa pukulan yang bersifat sama. Karena itulah Ratri Geni mempersiapkan Pukulan Busur Bintang yang berhawa sangat dingin. Kedua lengannya sampai mengeluarkan cahaya warna kebiruan saat pukulan es itu dilepaskan menyambut pukulan Nyai Sembilang.

Dess! Dess! Wuss!

Ratri Geni harus berjungkir balik beberapa kali di udara untuk mematahkan dorongan pukulan Nyai Sembilang. Sedangkan Nyai Sembilang terlihat terhuyung-huyung nyaris jatuh jika saja tidak segera mengimbangi tubuhnya dengan cepat.

Dari adu pukulan itu terlihat bahwa Ratri Geni sedikit kalah tenaga. Namun hal itu sudah sangat mengejutkan bagi Nyai Sembilang maupun Ki Ageng Waskita. Gadis luar biasa!

Sima Braja menggeram marah. Harimau itu mengira Ratri Geni terluka sehingga bersiap menerjang si nenek sakti.

"Sima! Jangan!" terdengar perintah lirih Ki Ageng Waskita. Harimau besar itu mengurungkan niatnya. Tubuhnya yang raksasa mendekati Ratri Geni yang sudah berdiri tegak kembali.

"Hmm. Kau lumayan anak tengik! Siapa gurumu dan asalmu dari mana?" Nyai Sembilang yang harus mengakui betapa lawannya yang masih sangat muda ini memiliki ilmu luar biasa, menjadi sangat penasaran.

Ratri Geni tersenyum mengejek. Persis kebiasaan ayahnya dulu.

"Aku tidak punya guru selain ayahku Arya Dahana dan ibuku Dewi Mulia Ratri."

Jawaban biasa yang disambut dengan kemarahan luar biasa dari Nyai Sembilang. Sambil lagi-lagi mengeluarkan lengkingan yang memekakkan telinga, tubuhnya menerjang maju dengan kecepatan tinggi. Mengirimkan jurus-jurus mematikan ke bagian tubuh Ratri Geni. Pukulan dahsyat yang didorong oleh kemarahan luar biasa.

******