Dalam setiap perjalanan
akan selalu ada persinggahan
di dalam setiap persinggahan
akan selalu hadir musim penghujan
dan di dalam hujan
akan selalu lahir kenangan demi kenangan
Sekar Wangi tidak langsung panik karena dia sudah mendapatkan ilmu pengobatan dari ibunya yang selain ahli sihir juga banyak tahu tentang obat-obatan. Gadis ini langsung membalikkan tubuh Jaka Umbara. Memeriksa bagian punggungnya dengan menyobek baju yang dikenakan.
Punggung itu nampak memar menghitam. Sekar Wangi mencoba menyentuh dengan lembut. Meskipun tidak mengeluh sama sekali tapi Sekar Wangi tahu Jaka Umbara sangat kesakitan. Sekar Wangi melihat sekeliling hutan. Mencari-cari sesuatu yang kira-kira bisa meredakan rasa sakit Jaka Umbara. Sekaligus mengerahkan ingatan terhadap semua pelajaran ilmu pengobatan dari ibunya.
Dia sadar pemuda ini mungkin tadi jatuh ke permukaan air dengan punggung di bawah yang kemudian membentur dengan keras. Meskipun jatuhnya ke air tapi mereka jatuh dari tempat yang tinggi dan dihempaskan oleh kekuatan air bah. Gadis ini merasa sangat bersalah. Demi melindunginya, pemuda ini rela mengorbankan keselamatannya. Mata Sekar Wangi mulai berkaca-kaca.
Pandangan Sekar Wangi yang membasah terantuk pada segerombolan perdu dengan daun berwarna hijau muda. Buru-buru gadis ini berlari memetik daun itu banyak-banyak. Daun Gandarusa ini sangat bermanfaat untuk mengobati patah tulang.
Sekar Wangi bekerja cepat. Dengan tangkas gadis ini menghancurkan tumpukan daun segar Gandarusa dan mencampurnya dengan sedikit air. Membubuhkan ramuan itu ke punggung Jaka Umbara lalu dengan telaten membebatnya menggunakan selendang panjang yang dijadikannya ikat pinggang saat berlatih tadi pagi. Tubuh pemuda itu juga disandarkannya ke banir pohon besar dengan posisi yang cukup nyaman. Semua dilakukannya dengan sangat cepat. Jaka Umbara hanya bisa menurut saja. Tubuhnya tak bisa digerakkan sementara ini.
"Terimakasih. Boleh aku tahu siapa namamu? Aku Jaka Umbara." Pemuda itu berkata lirih. Ramuan di punggungnya terasa hangat dan sangat nyaman.
Sekar Wangi mengangkat kepalanya.
"Aku Sekar Wangi. Aku yang seharusnya berterimakasih karena kau telah menyelamatkanku dari kematian yang mengerikan Jaka Umbara."
Jaka Umbara tersenyum tipis. Hari sudah menjelang petang dan itu mengingatkannya akan sesuatu. Pemuda itu mengusap tanah dan melakukan tayamum. Setelahnya, sambil memejamkan mata, dia menunaikan sholat Asar. Sekar Wangi memandang heran tapi diam saja karena dilihatnya pemuda itu begitu khusuk dan tenang saat melakukan beberapa gerakan ritual sembahyang sambil tetap memejamkan mata dalam posisi bersandar.
Sambil menunggu Jaka Umbara menyelesaikan ritualnya, Sekar Wangi mencari-cari apa yang bisa dimakan. Dia menemukan buah-buahan kecil yang rasanya manis asam saat coba mencicipinya. Gadis itu tahu bahwa buah ini tidak beracun karena dilihatnya banyak monyet yang memakannya. Sekar Wangi membawa setangkai penuh buah berwarna kuning ke Jaka Umbara yang telah selesai sembahyang dan menyuapinya dengan lembut.
Jaka Umbara menurut. Memang dia lapar sekali. Tenaganya terkuras habis dan dia terluka hebat. Buah-buahan itu menyegarkan meski tidak mengenyangkan. Kedua muda mudi itu makan buah-buah kecil itu dalam diam.
Hari bergerak menuju peraduan malam. Sekar Wangi kembali melihat Jaka Umbara melaksanakan ritual sembahyang seperti tadi. Kali ini gadis itu memperhatikan dengan seksama. Pemuda itu terlihat sangat tenang. Wajahnya juga masih teduh meski dia tahu luka di punggungnya sangat menyakitkan. Sekar Wangi merasakan rasa hangat mengalir ke pipinya. Ah! Apa ini?
Sekar Wangi membuat api unggun yang cukup besar untuk menghangatkan tubuh mereka berdua sekaligus mengusir binatang berbahaya yang mungkin berkeliaran di hutan. Dia akan menunggu pagi untuk mulai bergerak meninggalkan tempat ini. Sambil menunggu kantuk, Sekar Wangi membuat sebuah tandu dari akar-akar yang dianyamnya dengan rapi. Gadis ini menemukan sebuah pisau di pinggang Jaka Umbara untuk mengambil rotan kuat yang banyak terdapat di sekitar mereka.
Rencana Sekar Wangi adalah membaringkan tubuh Jaka Umbara di tandu dengan kepala di atas dan dia akan menyeretnya pelan menuju pondok ibunya. Sekar Wangi tidak tahu persis di mana letak pondok itu, tapi pondok jelas terletak di daerah hulu sungai ini. Besok dia akan berjalan ke arah utara. Pemuda itu tidak bisa berjalan. Jadi dia akan membawanya menggunakan tandu. Sekar Wangi gelisah dalam tidurnya. Perasaannya mengatakan perjalanan besok tidak akan semudah yang dipikirkannya.
Pagi menjelang dengan cepat. Fajar kemerahan menyingsing di ufuk timur. Tidak terlihat jelas di tengah hutan belantara dengan pohon-pohon yang begitu tinggi dengan tajuk rapat, tapi remah-remah cahayanya yang samar kemerahan sampai juga sedikit di lantai hutan. Setelah membersihkan diri di sungai yang telah surut dari air bah, Sekar Wangi hendak membangunkan Jaka Umbara.
Gadis ini tercengang. Jaka Umbara ternyata sudah terbangun dan kembali sedang khusuk melakukan ritual sembahyang. Sekar Wangi menggelengkan kepala kagum. Pemuda ini sangat kukuh dalam melaksanakan sembahyang meski tubuhnya sulit digerakkan. Pemuda luar biasa! Sekar Wangi kembali merasakan pipinya menghangat dengan cepat. Buru-buru ditepisnya perasaan aneh yang menjalar di hatinya dengan mengambil lagi buah-buahan untuk makanan mereka berdua sebelum memulai perjalanan.
Jaka Umbara kembali hanya bisa menurut ketika Sekar Wangi membaringkannya di tandu dan menyeretnya dengan menggunakan tali yang diikat di pinggangnya. Posisi berbaringnya dibuat nyaman oleh Sekar Wangi. Pemuda itu tersenyum penuh terimakasih. Gadis ini sangat telaten sekali merawat dirinya. Tapi kemana kira-kira Sekar Wangi akan membawanya? Mencari tabib di kota?
Sebisa mungkin Sekar Wangi mencari jalan yang landai. Menuju ke hulu sungai akan jauh lebih cepat dengan menyusuri sungai. Namun medannya terjal dan berbukit-bukit. Gadis itu melambung ke pinggiran hutan berharap menemukan jalan besar. Akan lebih mudah baginya membawa tandu di jalanan yang rata dan bagus.
Hampir tengah hari saat Sekar Wangi menemukan jalan yang dimaksud. Setelah bertanya kepada beberapa orang pencari madu hutan yang kebetulan lewat, Sekar Wangi mulai menyusuri jalan ke arah utara. Dia akan melewati ibukota Pajang sebelum masuk kembali ke hutan menuju hulu sungai.
Sepanjang perjalanan, Jaka Umbara meminta Sekar Wangi untuk berhenti beberapa kali agar dia bisa melakukan sembahyang. Menjelang sore, muda-mudi yang dipandangi secara aneh oleh orang-orang yang berpapasan dengan mereka, memasuki sebuah dusun yang cukup ramai. Sekar Wangi berbelok memasuki sebuah warung kecil. Perutnya sangat lapar. Mereka hanya makan bekal buah-buahan manis asam dari pagi. Kali ini harus bertemu nasi dan lauk-pauknya. Di sepanjang jalan tadi, Sekar Wangi juga sempat mengganti ramuan Gandarusa di punggung Jaka Umbara lalu membebatnya lagi kuat-kuat. Gadis itu memang membawa cukup banyak daun Gandarusa di kantong celananya.
Warung itu tidak ramai pembeli. Hanya ada beberapa orang yang sedang makan dan langsung menatap aneh ke arah gadis cantik yang menyeret tandu berisi seorang pemuda yang hanya bisa terbaring pasrah. Sekar Wangi mendudukkan Jaka Umbara di kursi lalu memesan makanan.
Seisi warung mengalihkan perhatian dari muda-mudi yang nampak aneh itu ke teriakan mengguntur marah dari luar warung.
"Pendekar Langit sialan! Aku akan menghajarmu habis-habisan kalau sampai bertemu denganmu!"
Seorang lelaki brewokan tinggi besar masuk ke dalam warung dengan tampang luar biasa marah. Diikuti oleh beberapa orang yang bertampang sangar namun jelas sekali terlihat mereka baru saja dihajar oleh seseorang karena sekujur muka dan tubuh mereka lebam-lebam biru.
-**