Pesisir adalah tempat terbaik untuk membangun istana
bagi hati yang terluka
atau pikiran yang berduka
karena lautan adalah ibunda
yang mampu menghilangkan resah dan segala nestapa
Ario Langit tergagap menjawab.
"Ti..tidak! tentu saja tidak! Untuk apa aku mengikuti Ratri Geni?"
"Hmm, jadi kau malah sudah mengenalnya namanya. Kalian sepertinya berhubungan baik?" Tatapan Ayu Kinasih semakin tajam. Ario Langit kebingungan. Gadis ini sedang kesurupan apa?
"Ya aku mengenalnya. Bahkan pernah bertarung dengannya. Ceritanya sedikit panjang. Bisakah aku ceritakan sambil kita lanjutkan perjalanan? Blambangan masih sangat jauh." Ario Langit mulai melangkah. Dia sebenarnya tidak tahu sejauh apa ke Blambangan. Tapi berharap hal itu akan membelokkan perhatian Ayu Kinasih yang terus membuatnya kebingungan. Ayu Kinasih mengikuti dengan sedikit enggan.
Ario Langit bukanlah seorang pemuda yang pintar berbasa basi dan menyenangkan hati orang. Karena itulah perjalanan itu menjadi kaku dan hening. Pemuda ini bahkan lupa bahwa dia berjanji untuk bercerita tentang bagaimana kisah pertemuannya dengan Ratri Geni. Ayu Kinasih sengaja membiarkan karena hatinya juga masih dongkol dan geram. Gadis ini tidak tahu persis kenapa dia dongkol kepada pemuda pemurung di sebelahnya ini dan geram kepada gadis tangguh bernama Ratri Geni itu.
Ayu Kinasih tidak tahan lagi. Dia menyenggol keras bahu Ario Langit yang terkejut karena dia kembali melamun sambil berjalan.
"Ayo. Kapan lagi kau mulai membuka mulut dan mengisahkan bagaimana kau bisa mengenal gadis tengil itu?"
Ario Langit menahan geli di hatinya. Dikiranya gadis ini sudah lupa dengan janjinya tadi. Padahal dia memang sengaja menahan cerita itu dan berharap Ayu Kinasih melupakannya karena mereka telah kembali berjalan menuju Blambangan yang merupakan tujuan utama gadis itu.
Tanpa bumbu sedikitpun, Ario Langit akhirnya bercerita secara lengkap bagaimana dia menyerang Ratri Geni di hutan Alas Roban tanpa basa basi karena mengira gadis itulah si Penebar Maut. Saat menyebut Ratri Geni kala itu bersama seekor harimau besar berwarna hitam, Ayu Kinasih menghentikan langkahnya dan menatap Ario Langit dengan penuh rasa penasaran.
"Hah? Harimau? Gadis itu punya peliharaan seekor harimau? Benar-benar harimau atau harimau jadi-jadian? Harimau sihir?"
Ario Langit memandang heran. Tapi kemudian menyadari satu hal. Topik harimau sepertinya bisa mengalihkan perhatian Ayu Kinasih. Pemuda ini enggan mesti bercerita tentang Ratri Geni. Satu hal yang dihindarinya saat ini adalah menyebut nama gadis itu. Ario Langit takut terhadap perasaannya sendiri.
Pemuda itu kemudian bercerita secara lengkap seperti apa perwujudan Sima Braja. Harimau hitam berukuran raksasa, berwarna hitam legam, punya kekuatan yang sangat besar, patuh terhadap perintah Ratri Geni, dan cukup menyeramkan penampilannya.
"Harimau atau macan kumbang? Setahuku harimau tidak ada yang berwarna hitam legam. Hanya macan kumbang yang berwarna hitam. Dan ukurannya masih jauh lebih kecil dibanding harimau." Tukas Ayu Kinasih dengan cepat.
Ario Langit makin heran. Tapi hatinya gembira. Gadis itu tidak lagi marah-marah. Perjalanan ini menjadi lebih menyenangkan. Diam-diam pemuda pemurung itu tersenyum kecil. Hal yang sangat jarang dilakukannya.
Untuk menghibur diri sekaligus melatih kemampuan meringankan tubuh, Ario Langit dan Ayu Kinasih berbelok keluar dari jalan besar dan lewat jalan setapak di hutan-hutan yang semakin rapat ke arah pesisir selatan. Keduanya kemudian berlomba lari menerobos hutan hingga sampai wilayah pegunungan dengan bukit-bukit tinggi yang terlihat dari sini.
Dua bayangan berkelebatan menembus kerimbunan hutan. Seperti sosok hantu yang terbang tanpa menyentuh tanah. Ario Langit punya ilmu meringankan tinggi lebih tinggi daripada Ayu Kinasih berkat Tarian Astadewi. Tapi pemuda yang sedang gembira itu tidak mau memperlihatkannya. Dia sengaja mengimbangi kecepatan lari Ayu Kinasih dan pada akhirnya membiarkan gadis itu melonjak-lonjak kegirangan karena memenangkan adu lari. Kembali Ario Langit diam-diam tersenyum simpul. Gadis yang ditemaninya ini mirip angin. Sebentar lembut sepoi-sepoi tapi tak butuh waktu lama untuk membadai.
Mereka berhenti sesuai tujuan yang telah disepakati. Barisan bukit-bukit tinggi berada di hadapan mereka. Terlalu melelahkan jika harus berlari. Lagipula pohon-pohonan berdiri rapat seperti raksasa hijau yang siap menyergap mereka. Akan sulit lari cepat di tempat serapat ini.
"Apakah setelah bukit-bukit ini kita sudah menjumpai pesisir pantai? Aku ingin sekali mandi di laut! Aku memimpikannya sejak kecil!" Ayu Kinasih berkata setengah berteriak kegirangan. Matanya berbinar-binar. Ario Langit tidak tahu persis apakah mereka akan segera sampai di daerah pesisir. Melihat jajaran perbukitan itu, dia tidak terlalu yakin. Namun melihat mata gadis itu bercahaya riang, Ario Langit tidak tega.
"Bisa jadi Ayu. Mudah-mudahan kita segera bertemu pantai. Kau bisa mandi sepuasnya di sana."
Ayu Kinasih makin kegirangan. Dia dibesarkan di lingkungan perkotaan semenjak kecil. Karena itu saat ibunya menyuruhnya mengembara menuju Blambangan, dalam hatinya gadis itu bersorak gembira. Blambangan adalah wilayah pantai. Dia ingin sekali bermain-main di laut. Mandi dan berenang. Kali ini keinginannya akan terwujudkan. Apalagi bersama seorang pemuda yang sangat disukai dan dikaguminya. Pemuda pemurung yang sepertinya selalu bersedih hati. Aku berjanji akan membuatmu bergembira Ario Langit! Ayu Kinasih semakin bersemangat.
Namun kegirangan Ayu Kinasih makin lama makin luntur begitu mereka mulai mendaki bukit, menuruninya dan mendaki bukit berikutnya. Bukit-bukit ini tak habis-habis!
Entah sudah berapa bukit yang dilalui, belum juga mereka tiba di pesisir pantai. Ayu Kinasih mulai jengkel. Pagi itu setelah terbangun dari tidur di atas pohon besar, gadis ini sudah hendak menyemprotkan kata-kata keluhan saat dilihatnya Ario Langit menempelkan telunjuk di bibirnya. Isyarat untuk diam. Pemuda itu melihat sesuatu. Atau mendengar sesuatu karena terlihat pemuda itu memiringkan kepala untuk memusatkan pendengaran.
Suara desir halus yang tak bisa didengar telinga orang awam memasuki pendengaran Ario Langit. Desir langkah seorang berkepandaian tinggi sedang mengendap-endap di bawah kerimbunan pohon. Ario Langit menunggu dengan hati berdebar. Siapa orang yang berani keluyuran di tempat sepi dan antah berantah ini?
Di bawah pohon tempat Ario Langit dan Ayu Kinasih bermalam, nampak sosok perempuan bertubuh ramping dan berbaju serba putih berjalan tanpa banyak menimbulkan suara. Dari gelagatnya terlihat perempuan itu sedang bersembunyi dari sesuatu. Ario Langit makin tertarik. Berarti ada orang lain lagi di sekitar sini. Ayu Kinasih sendiri mulai meruncing mulutnya. Ah! Kenapa harus bertemu perempuan lagi di tempat sesepi ini? Gadis itu melirik Ario Langit yang nampak memusatkan perhatiannya. Ayu Kinasih semakin sebal melihat sikap Ario Langit. Gadis ini melayang turun dengan cepat dan membentak.
"Hei! Siapa kau mengendap-endap seperti ini? Kau sedang memata-matai kami ya?!"
Ario Langit yang mengelus dada melihat kesembronoan Ayu Kinasih ikut melayang turun. Perempuan itu nampak sangat terkejut. Wajahnya yang cantik memucat. Namun setelah dilihatnya yang berdiri di hadapannya adalah manusia biasa, raut mukanya kembali memerah. Kali ini marah tapi kata-katanya seperti sedang berbisik. Cemas terdengar oleh sesuatu yang ditakutinya.
"Ehh! Kalian diam. Jangan berteriak-teriak. Kalau sampai Hantu Pesisir Selatan mendengar, kita bisa celaka!"
Ario Langit dan Ayu Kinasih saling pandang. Disusul suara tawa Ayu Kinasih tergelak-gelak membahana.
-*******