Sakitnya hati bisa diobati
dengan menjaring remah-remah matahari
di pagi yang masih buta
atau malam saat kehadiran purnama
Ario Langit mengeraskan hatinya. Pemuda ini berjalan tersaruk-saruk sambil membopong Ayu Kinasih. Tubuh gadis ini dingin dan sekaku mayat. Detak nadinya sangat lemah. Wajahnya sangat pucat. Ario Langit tidak tahu mesti berbuat apa, nafas gadis ini tinggal satu-satu. Pemuda pemurung itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Menahan jerit kemarahan luar biasa.
Kau harus mengalirkan hawa siluman ke tubuh gadis itu anakku. Nyawanya sudah hampir terlepas dari tubuhnya. Itu adalah satu-satunya cara kau bisa menyambung hidupnya saat ini.
Terdengar bisikan lirih namun jelas terdengar di telinga Ario Langit.
Sontak pemuda ini berhenti. Memandang ke kanan dan kiri. Tidak ada siapa-siapa.
Lakukan cepat atau gadis itu tak lama lagi akan tewas.
Ario Langit merasakan tubuh Ayu Kinasih semakin dingin. Nafasnya nyaris tak lagi bisa dirasakannya meski dia mendekatkan telinga ke hidung Ayu Kinasih.
Ario Langit panik. Gadis yang baik dan ceria ini tidak boleh mati! Dibaringkannya tubuh Ayu Kinasih. Pemuda ini berkata pelan. Berharap bisikan itu memberikan petunjuk.
"Bagaimana caranya aku menyalurkan hawa siluman ke tubuhnya? Tolong berilah aku petunjuk." Suara pemuda ini nyaris seperti isakan.
Buka seluruh bajunya. Lakukan hubungan badan dengannya. Hawa siluman akan masuk ke dalam tubuhnya. Dia akan terlepas dari bahaya kematian. Hawa sihir dari pukulan Badai laut Selatan itu terlalu berpengaruh pada tubuhnya.
Ario Langit terhenyak kaget bukan main. Apa-apaan ini?
Pemuda ini menatap Ayu Kinasih yang sedang sekarat. Gadis itu siuman dan membuka mata dengan sekuat tenaga. Nafasnya tersengal-sengal. Ario Langit mengambil keputusan cepat. Dibukanya seluruh baju Ayu Kinasih dan juga bajunya sendiri. Pemuda ini menindih tubuh Ayu Kinasih dan berbisik. Suaranya tersendat.
"Ayu, aku terpaksa melakukan ini karena merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan nyawamu. Maafkan aku." Dari mata Ario Langit menetes air mata.
"La..lakukan Ario. A..aku memaafkanmu." Terdengar jawaban sangat pelan dari bibir Ayu Kinasih yang merasakan Ario Langit memasuki tubuhnya.
Ayu Kinasih yang ruhnya sudah berada di ubun-ubun kepalanya merasakan kehangatan luar biasa menjalar di sekujur tubuhnya setiap kali Ario Langit menggerakkan tubuhnya. Ruhnya seperti tertarik lagi dan gadis ini mulai bernafas dengan normal.
Ario Langit menghentikan semua gerakannya setelah mendengar Ayu Kinasih mejerit lirih sambil memeluk tubuhnya erat-erat. Tubuh gadis ini menghangat kembali. Detak nadinya juga mengalir cepat. Matanya yang menghitam menatap Ario Langit dengan pandangan mesra. Buru-buru Ario Langit melepaskan diri dari Ayu Kinasih. Duh Gusti!
Ayu Kinasih bangkit dan mengenakan pakaiannya. Ario Langit melakukan hal yang sama. Wajahnya sangat pucat. Pemuda ini merasa bersalah sekali. Dia telah merenggut kegadisan gadis ini. Raut mukanya semakin murung. Ayu Kinasih menyentuh bahunya dengan lembut. Gadis itu benar-benar telah pulih.
"Ario, terimakasih telah menyelamatkanku. Aku rela menyerahkan tubuhku hanya karena yang melakukannya adalah dirimu. Jika saja ini orang lain, aku pasti lebih memilih kematian." Ayu Kinasih memeluk Ario Langit dari belakang dengan sangat erat. Hatinya telah jatuh sepenuhnya kepada pemuda ini. Ario Langit menjadi gugup dan semakin merasa bersalah. Membalikkan badan dan balas mendekap Ayu Kinasih.
"Maafkan aku…maafkan aku." Hanya itu yang keluar dari mulut Ario Langit.
Kedua muda-mudi itu berpelukan beberapa lama dengan pikiran Ario Langit campur aduk tak karuan. Ayu Kinasih tersenyum manis sambil melepaskan pelukannya. Dipegangnya pipi Ario Langit dengan mesra.
"Ayo kita lanjutkan perjalanan! Sepertinya mulai hari ini aku tak takut lagi dengan segala macam hantu dan setan. Aku sudah punya hawa siluman dalam tubuhku." Kembali gadis itu tersenyum dengan raut muka bahagia.
Ario Langit mencoba sekuatnya balas tersenyum. Menyingkirkan semua pikiran lainnya. Setidaknya gadis ini terselamatkan. Itu yang paling penting. Ario Langit mengangguk dan pasrah saja saat Ayu Kinasih menggandeng tangannya sambil melangkah melanjutkan perjalanan. Mulutnya bersenandung lirih tak henti-henti. Nampak sekali gadis ini sangat bahagia.
-----
Sekar Wangi melompat dari kereta lalu memapah Jaka Umbara turun. Membaringkannya lagi dalam tandu lalu membungkukkan badan kepada juragan pedagang yang telah berbaik hati memberi mereka tumpangan sehingga dia tidak membutuhkan waktu berhari-hari menyeret tandu Jaka Umbara.
Pedagang itu menghentikan keretanya tepat di depan sebuah bangunan kecil yang berada di tengah kota dan terletak tidak jauh dari Istana Pajang. Papan nama kecil tergantung bergoyang-goyang pelan ditiup angin. Toko Obat Hananta. Sekar Wangi bernafas lega.
Saat Sekar Wangi hendak mendorong pintu, seseorang membuka pintu dari dalam dan keluar dengan tergesa-gesa. Nyaris menabrak tubuhnya. Sekar Wangi hendak membentak marah, namun orang itu membalikkan badan dan membungkuk berkali-kali memohon maaf. Sekar Wangi jadi risih. Orang itu mengangkat mukanya setelah gadis itu menyahut iya.
Sekar Wangi seperti tersengat kalajengking berbisa begitu melihat tampang orang yang sangat sopan itu. Pemuda yang luar biasa tampan! Tanpa disadari, Sekar Wangi memandang terpana beberapa saat sebelum akhirnya menyadari perbuatannya yang cukup memalukan bagi seorang gadis. Pipinya memerah seperti kepiting rebus. Buru-buru gadis ini lanjut memapah Jaka Umbara yang menyaksikan semua kejadian dengan wajah ikut memerah.
"Pemuda temanmu ini terluka cukup parah, Nduk. Baringkan di sini. Aku akan mengobatinya." Sebuah suara lembut dan dalam menyapa Sekar Wangi yang masih terbengong-bengong.
Sekar Wangi menoleh. Seorang lelaki setengah baya berwajah ramah membantunya membaringkan Jaka Umbara. Lelaki itu segera memeriksa punggung Jaka Umbara. Menyentuh dan memijit pelan beberapa bagian bahu dan punggung. Berhenti saat melihat Jaka Umbara mengrenyit kesakitan.
"Hmm, dua ruas tulang punggungnya retak. Dia akan butuh beberapa hari untuk bisa bergerak kembali. Kau boleh meninggalkannya di sini. Aku akan merawatnya. Dan sepertinya kau berasal dari tempat jauh, Nduk. Kau boleh menungguinya dan bermalam di rumah ini."
Sekar Wangi menjawab dengan gagap. Wajah pemuda tadi benar-benar lekat di matanya.
"Eh ya. Baik paman yang baik. Terimakasih banyak telah bersedia mengobati Jaka Umbara. Aku akan meninggalkannya untuk Paman rawat. Aku akan kembali beberapa hari lagi untuk menjemputnya." Sekar Wangi benar-benar tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya lebih lanjut.
"Eh Paman. Kalau boleh tahu siapakah tamu Paman yang tadi. Begitu terburu-buru dan sembrono." Mulut Sekar Wangi cemberut seolah merasa jengkel. Padahal hatinya dag dig dug menunggu jawaban lelaki ini yang pasti Wedya Hananta sendiri.
"Maksudmu pemuda tadi? Itu putra Sultan Hadiwijaya, Nduk. Gusti Pangeran Arya Batara."
--*