Manakala cinta sebesar lautan
dihantam badai yang tak pernah usai
maka mendakilah ke puncak kepundan
kau akan menemukan kisah-kisah yang telah selesai
"Nah, sekarang giliranku untuk meminta pertanggung jawabanmu. Kau telah berani lancang masuk gerbang istana tanpa izin. Karena itu kau harus menemaniku berbincang di taman istana." Pangeran Arya Batara melemparkan senyum yang membuat Sekar Wangi belingsatan.
"Baiklah Pangeran. Aku akan menemani paduka berbincang. Tidak lama. Karena aku harus menengok temanku yang sedang diobati Wedya Hananta." Sekar Wangi menjawab sebisanya.
Pangeran Arya Batara mengangguk. Melambaikan tangan agar Sekar Wangi mengikutinya. Mereka berjalan ke belakang istana. Terdapat sebuah taman yang besar dan indah di sana. Pangeran Arya Batara mempersilahkan Sekar Wangi duduk dan meminta para pelayan menyediakan minuman hangat dan makanan untuk mereka. Pangeran Pajang itu mengambil sesuatu dari balik bajunya. Sebuah buku kecil yang terlihat sudah lusuh.
"Apakah kau suka membaca Sekar? Aku biasa berlama-lama di sini dan menghabiskan banyak buku bacaan." Arya Batara mengeluarkan satu buku kecil yang lain dan mengangsurkannya kepada Sekar Wangi. Gadis itu menerima dengan hati girang. Dia memang dilatih membaca sedari kecil oleh ayahnya dan dia sangat menyukainya. Dilihatnya judul di sampul buku. Susastra Majapahit. Mata Sekar Wangi semakin berbinar. Ini buku bagus dan langka.
"Aku sedari kecil memang suka membaca. Buku apa saja. Terutama hal-hal yang menyangkut sastra dan seni. Aku mempunyai sebuah almari besar yang penuh berisi buku-buku tentang sastra. Aku juga senang menari. Kau mau melihat Pangeran?" Entah kenapa, tiba-tiba Sekar Wangi ingin memamerkan kepandaiannya menari.
Arya Batara mengangguk gembira. Ternyata mereka mempunyai kesenangan yang sama. Dari matanya terpancar kekaguman begitu melihat Sekar Wangi mulai menari. Gerakannya begitu halus dan gemulai. Makin lama Arya Batara makin terpukau. Gerakan Sekar Wangi berubah menjadi rancak. Tarian yang semula lembut gemulai berubah menjadi sigap dan lincah. Arya Batara bertepuk tangan keras.
"Luar biasa! Luar biasa! Kau menari dengan sangat indah Sekar."
Sekar Wangi tersipu. Gadis itu duduk kembali dan mengelap keringat dengan ujung jarinya. Dia sangat bersungguh-sungguh melakukan tarian tadi. Badannya lelah. Tapi dia senang sekali melihat betapa hebohnya Arya Batara menanggapi tariannya.
Sesorean itu Sekar Wangi menghabiskan waktunya membaca buku-buku dan bercakap-cakap dengan Pangeran Arya Batara. Tanpa terasa waktu sudah beranjak petang. Sekar Wangi sebetulnya enggan beranjak dari tempat itu. Rasanya dia ingin menghabiskan waktu berhari-hari di taman Istana Pajang. Membaca dan berbicara panjang dengan Arya Batara tentang apa saja. Sekar Wangi sangat betah.
"Setelah ini kau mau kemana Sekar?" Mendadak Pangeran Arya Batara bertanya.
Sekar Wangi bingung harus menjawab apa. Dia tidak mempunyai tempat tinggal. Menginap di penginapan pun dia tidak punya bekal yang cukup. Tujuannya adalah menghabiskan waktu beberapa hari hingga bisa memastikan Jaka Umbara telah sembuh dan dia akan kembali ke Alas Roban. Ibunya pasti sedih karena tidak menerima kabar apapun tentangnya.
Arya Batara melihat kebingungan Sekar Wangi. Pangeran ini melanjutkan perbincangan dengan menawarkan sesuatu yang membuat Sekar Wangi tambah kebingungan.
"Kalau kau tidak punya tempat tinggal sampai temanmu itu sembuh, bagaimana kalau kau tinggal di istana sementara? Aku akan meminta orang menyiapkan tempat untuk menginap."
Wajah Sekar Wangi memerah. Arya Batara sepertinya tahu apa yang berkecamuk dalam pikirannya.
"Aku…aku memang tak punya tempat untuk menginap sambil menunggu pengobatan Jaka Umbara selesai. Kalau memang tidak merepotkan, aku bersedia tinggal sementara di sini Pangeran." Sekar Wangi menjawab gagap.
"Panggil aku Arya Batara atau Arya atau Batara saja. Kau boleh tinggal kapanpun kau mau dan berapa lamapun kau ingin Sekar." Arya Batara tersenyum.
Sekar Wangi ingin berteriak memprotes Arya Batara agar jangan banyak tersenyum. Hatinya jadi kacau balau tak karuan.
Malam itu Sekar Wangi menginap di istana kaputren Pajang. Kamar yang mewah dan indah. Setelah membersihkan tubuh dan makan malam bersama sang pangeran, Sekar Wangi memutuskan untuk tidur. Tubuhnya memang terasa lelah sekali. Berhari-hari dia harus menyeret tandu Jaka Umbara. Saatnya beristirahat dengan nyaman.
Namun mata Sekar Wangi sulit sekali terpejam. Wajah Arya Batara terbayang terus di pelupuk matanya. Uh! Memalukan! Sekar Wangi merutuk dirinya sendiri.
Di antara lamunan yang terus melukis wajah tampan Arya Batara di benaknya, telinga tajam Sekar Wangi mendengar suara desir halus di atas genting. Gadis berkepandaian tinggi terutama dalam hal sihir ini langsung bangkit dan terjaga sepenuhnya. Itu bukan desir yang ditimbulkan tikus atau kucing. Itu langkah kaki ringan manusia!
Sekar Wangi keluar dari kamarnya dan mengendap-endap melakukan pengintaian. Terlihat siluet hitam dua sosok yang merunduk-runduk berjalan di atas genting. Dua orang berpakaian serba hitam dengan langkah ringan berjalan perlahan menuju bangunan utama Istana Pajang. Hmm, mau apa mereka?
Gadis ini terus mengikuti kemanapun dua bayangan itu pergi. Tatap matanya memusatkan perhatian kepada dua orang penyusup itu dari bawah. Dia tidak mau kehilangan jejak mereka sekaligus juga tidak mau ketahuan telah menguntit mereka. Oleh karena itu Sekar Wangi sengaja menguntit dari bawah. Kemungkinan ketahuan akan sangat besar jika dia ikut naik ke atas genting.
Dua sosok bayangan itu terus melangkah dengan hati-hati. Dari punggung mereka tersembul sepasang gagang pedang. Tujuan mereka jelas. Menjalankan perintah untuk membunuh Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Arya Batara.
Mereka saling memberi isyarat satu sama lain bahwa ini adalah atap Istana Utama tempat Sultan dan putranya tidur. Keduanya mencabut pedang. Bersiap-siap menyergap saat sudah mengetahui secara persis di mana letak kamar sasaran mereka.
Sekar Wangi terkesiap. Kalau tidak salah para penyusup itu sedang berada di atas kamar Arya Batara. Sore saat mengantarnya ke Istana Keputren tadi, pangeran itu memberitahunya di mana dia tinggal.
Kedua sosok itu melompat turun dan bersiap mendobrak jendela untuk melakukan penyerangan. Sekar Wangi tidak bisa berdiam diri. Terlambat sedikit saja, pangeran pujaannya itu bisa kehilangan nyawa. Dari perbincangan setengah harian tadi, Sekar Wangi mengetahui bahwa Pangeran Arya Batara tidak mempunyai kemampuan olah kanuragan. Berbeda dengan ayahandanya yang berilmu tinggi, Arya Batara selalu menolak untuk belajar kanuragan. Dia lebih menyukai membaca dan bersusastra. Mengingat hal tersebut, tubuh Sekar Wangi berkelebat ke depan sambil membentak marah.
"Apa yang kalian lakukan di sini?! Kalian pasti berniat jahat. Mengendap-endap dan menggenggam pedang." Sekar Wangi berkacak pinggang menegur dua sosok bayangan yang kontan kaget bukan main kehadiran mereka diketahui. Tapi begitu menoleh dan memperhatikan bahwa yang menegur hanyalah seorang gadis muda yang tidak bersenjata, kedua sosok itu saling mengangguk dan bersama-sama menerjang ke depan. Gadis ini harus cepat dibereskan sebelum menimbulkan kegaduhan dan mengundang para penjaga ke sini.
Sekar Wangi menyambut serangan sambil berteriak nyaring. Sengaja mengundang kehadiran orang-orang atau para penjaga karena serangan dua orang itu sangat hebat. Dia tidak yakin bisa menghadapi mereka sendirian.
--***