Chereads / Trilogi Langgam Amerta Agni-Kumara Akasa & Apsari Bhumi / Chapter 14 - Bab 14-Kemunculan Perkumpulan Malaikat Darah

Chapter 14 - Bab 14-Kemunculan Perkumpulan Malaikat Darah

Darah yang mengalir dari setiap peperangan

sebagian adalah pelajaran dari takdir

bagaimana cara mengemas keinginan

agar tak robek dalam perjalanan

Sekar Wangi saling berpandangan dengan Jaka Umbara. Gadis cantik yang aneh dan misterius berjuluk Bidadari Bumi itu sudah jauh pergi. Tapi kata-katanya terngiang panjang di benak Sekar Wangi. Wedya Hananta? Pajang?

Bisa saja dia membawa Jaka Umbara ke ibunya agar diobati. Tapi apakah ibunya sanggup dengan luka dalam sampai ke tulang yang dialami Jaka Umbara? Setahunya, ibunya memang paham ilmu pengobatan tapi dia tidak pernah menyaksikan pengobatan yang dilakukannya hingga ke cedera tulang.

"Paman, apakah kenal dengan seseorang yang bernama Wedya Hananta?" Sekar Wangi bertanya kepada tukang warung yang kembali cerah raut mukanya setelah menerima keping-keping perak dari Ratri Geni.

"Tentu saja Nduk. Siapa yang tidak mengenal tabib hebat Wedya Hananta? Beliau adalah seorang ahli pengobatan tiada duanya di Pajang. Bahkan mungkin di seluruh Tanah Jawa." Sekar Wangi semakin tertarik.

"Di manakah Wedya Hananta tinggal, Paman?"

"Di Ibukota Pajang, Nduk. Tidak jauh dari istana Sultan Hadiwijaya."

"Apakah Wedya Hananta ini kerabat Istana Pajang, Paman?"

"Bukan, Nduk. Sepanjang cerita yang Paman tahu, beliau ini berasal dari lereng Gunung Semeru. Dengar-dengar, Wedya Hanantalah yang mewarisi seluruh ilmu pengobatan yang ditinggalkan oleh Ki Gerah Gendeng, Sang Dewa Obat."

Sekar Wangi mengangguk-angguk. Dia pernah mendengar kisah Ki Gerah Gendeng dari ibunya. Seorang aneh ahli pengobatan yang mengasuh Arya Dahana, pendekar terkenal yang hilang semenjak perang antara Galuh Pakuan dan Lawa Agung. Kalau Wedya Hananta adalah murid dari Ki Gerah Gendeng, dia sama sekali tak ragu untuk membawa Jaka Umbara berobat ke Pajang. Tapi apakah dia juga seaneh gurunya? Pikiran Sekar Wangi berkecamuk saat beranjak pergi sambil menandu Jaka Umbara.

Perjalanan ke Ibukota Pajang akan memakan waktu seharian jika ditempuh dengan berkuda. Tapi ini dia berjalan perlahan karena menandu orang sakit. Sekar Wangi tidak membawa bekal yang cukup untuk membeli kuda atau menyewa kereta. Gadis ini menggaruk hidungnya yang tidak gatal. Bagaimana cara dia secepatnya membawa Jaka Umbara ke Wedya Hananta?

Lamunan pendeknya pecah oleh suara derap kaki kuda di belakang. Sekar Wangi menoleh. Serombongan pedagang dengan kuda dan kereta lewat. Ingin rasanya gadis itu melambaikan tangan meminta tumpangan, tapi tidak jadi dilakukannya.

Kereta kuda itu menjauh dengan cepat. Sekar Wangi dengan sabar terus berjalan sambil menyeret tandu Jaka Umbara. Meskipun pemuda ini bertubuh kurus, lama kelamaan terasa berat juga. Apalagi Jaka Umbara belum bisa mengerahkan hawa sakti yang bisa membuat tubuhnya lebih ringan. Pemuda ini merasa sangat bersalah telah membebani Sekar Wangi. Kyai Mustofa pasti bisa mengobatinya. Tapi Tuban terlalu jauh dan dia tidak bisa berjalan. Hidupnya sementara ini sangat bergantung kepada Sekar Wangi. Orang yang baru dikenalnya beberapa hari.

Sekar Wangi berhenti untuk memastikan pendengarannya. Setelah tikungan jalan di depan dia mendengar suara bentakan-bentakan kasar. Gadis ini melanjutkan perjalanan. Dia tidak akan mencampuri urusan apapun selama itu tidak menganggu mereka berdua.

Dari jauh, Sekar Wangi bisa melihat rombongan kereta kuda itu sedang berhenti. Dihadang oleh sekelompok orang yang dipimpin oleh lelaki setengah baya mengenakan ikat kepala berwarna merah darah. Nampak juga di antaranya Walung Wesi yang kedua tangannya disangga ikatan ke bahu karena dipatahkan Ratri Geni.

Sekar Wangi tidak peduli. Gadis ini terus maju. Memutuskan akan melewati mereka dan melanjutkan perjalanan. Setelah dekat, barulah Sekar Wangi menyadari ternyata para pedagang itu semuanya berjongkok mohon ampun di bawah todongan senjata beberapa anggota gerombolan yang semuanya memakai ikat kepala merah darah. Hmm, perampokan.

"Berhenti! Kau tidak boleh melanjutkan perjalanan sebelum membayar pajak jalan!" salah satu anggota gerombolan membentak dan menghadang Sekar Wangi. Jaka Umbara menggeretakkkan giginya. Seandainya dia tidak sedang lumpuh, dia akan langsung menghajar orang-orang jumawa dan sewenang-wenang ini.

"Tidak! Lanjutkan perjalananmu! Tidak ada orang yang harus membayar pajak di jalan umum ini!" terdengar bentakan halus disusul berkelebatnya sesosok bayangan yang berdiri di hadapan gerombolan ikat kepala merah. Disusul sosok bayangan lainnya. Ario Langit dan Ayu Kinasih. Sekar Wangi menghela nafas lega. Setidaknya dia tidak harus berkelahi saat ini. Dia lelah sekali. Gadis ini membawa tandu Jaka Umbara ke pinggir. Berisitirahat sekalian menonton pertarungan yang pasti akan seru.

"Hmm. Kau rupanya Pendekar Langit! Namamu melambung tinggi akhir-akhir ini. Tapi hari ini nama itu harus terkubur bersama mayatmu di tangan Hulubalang Malaikat Darah!" Lelaki tinggi besar pemimpin gerombolan itu langsung menerjang Ario Langit dengan serangan dahsyat dan mematikan.

Ario Langit tidak mau banyak bicara. Tubuhnya berkelebat ke depan menyambut serangan. Ayu Kinasih juga tidak berkata apa-apa. Percuma berbicara dengan orang-orang kasar ini. Gadis ini menyerbu anggota gerombolan yang langsung berteriak-teriak kaget melihat betapa hebatnya serangan Ayu Kinasih.

Terjadi pertarungan cukup seru di jalan utama menuju Pajang. Hulubalang Malaikat Darah ternyata memiliki kemampuan yang cukup tinggi sehingga di awal-awal mampu mengimbangi Ario Langit. Tapi setelah lewat sepuluh jurus, Ario Langit dengan mudah mulai mendesaknya. Begitu pula dengan anggota gerombolan Malaikat Darah yang lain. Mereka kalang kabut menghadapi jurus-jurus Pena Menggores Awan dari Ayu Kinasih.

Hampir berbarengan waktunya dengan saat Ario Langit berhasil menjatuhkan Hulubalang Malaikat Darah, Ayu Kinasih juga mampu menghajar anggota gerombolan berjumlah empat orang itu. Kelimanya terkapar di pinggir jalan dengan tubuh luka lebam dihantam pukulan Ario Langit dan Ayu Kinasih.

Namun rupanya pertempuran belum berakhir karena terdengar geraman marah dari orang-orang yang berkelebat datang. Seorang wanita tua bersorot mata bengis tiba di gelanggang didampingi dua lelaki kurus tinggi dan seorang wanita muda berbaju merah. Semuanya memakai ikat kepala berwarna merah darah.

Melihat kehadiran orang-orang itu, Hulubalang Malaikat Darah berteriak gembira meski kemudian harus menahan gerakannya yang hendak bangkit karena kaki kirinya remuk dihajar Ario langit.

"Kalian anak-anak muda gegabah! Berani-beraninya mencampuri urusan Perkumpulan Malaikat Darah!" Nenek tua yang sebenarnya Malaikat Darah Berbaju Merah sendiri berkata dengan nada mengancam. Kedua lelaki di sebelahnya yang berjuluk Panglima Malaikat Darah dan wanita muda yang merupakan murid Malaikat Darah berjuluk Bidadari Darah mulai maju dengan sikap mengancam dan siap menyerang. Menunggu perintah dari Malaikat Darah.

Ario Langit mencibir. Dia tidak tahu persis siapa mereka semua. Tapi sadar bahwa keempat orang yang baru datang ini adalah pucuk pimpinan gerombolan dan pasti punya kemampuan tinggi.

"Anak buahmulah yang selalu mencampuri urusan orang lain Nyai. Karena itu sudah sewajarnya kami memberi sedikit pelajaran karena guru dan pimpinannya tidak bisa mengajari mereka dengan baik."

Ucapan ini kontan lebih memanaskan suasana yang sudah panas. Malaikat Darah mengebutkan lengan bajunya. Selarik angin dingin berbau anyir berkesiur menghantam tubuh Ario Langit.

-****