Chapter 10 - Bab 10-Jaka Umbara

Pagi selalu baik hati

memberi semua meski jarang menerima

sama seperti sandyakala

tak pernah mengeluh

meski seluruh hari mulai runtuh

Di pinggir sungai lebar, dangkal dan berair jernih yang mengalir tenang, Pemuda berperawakan sedang dan berwajah teduh itu melipat kain sarungnya. Dia selesai menunaikan ibadah sembahyang dhuhur di atas sebuah batu besar yang banyak berserakan di sekitar sungai tersebut.

Jaka Umbara, nama pemuda itu, adalah anak murid Kyai Mustofa dari sebuah pesantren besar di Tuban. Pemuda itu diutus oleh Kyai Mustofa untuk menelisik wilayah sekitar Alas Roban yang rencana akan didirikan beberapa pesantren kecil. Beberapa waktu yang lalu, serombongan utusan sebelumnya dari Kyai Mustofa bentrok dengan para prajurit Jipang Panolan. Mereka kembali ke Tuban dan menyampaikan laporan bahwa Jipang melarang mendirikan pesantren di sekitar Alas Roban yang diakui sebagai wilayah Jipang, kecuali atas izin khusus Kanjeng Adipati Ario Penangsang sendiri.

Padahal berdasarkan batas-batas kerajaan, seluruh area Alas Roban tidak dikuasai oleh kerajaan manapun. Namun agar tidak menimbulkan cecongkrahan yang tidak perlu, Kyai Mustofa memutuskan untuk mengutus Jaka Umbara agar memastikan kembali daerah mana yang bisa dan mana yang tidak untuk mendirikan pesantren.

Banyak permintaan dari masyarakat sekitar Alas Roban yang masih terpencil agar Kyai Mustofa mendirikan sarana pendidikan berupa pesantren bagi anak-anak mereka yang jauh dari pusat kota seperti Jipang, Demak, maupun Pajang. Kyai Mustofa menyanggupi. Namun karena adanya kejadian bentrok dengan prajurit Jipang, Kyai Mustofa memutuskan untuk melakukan penyelidikan secara menyeluruh untuk menghindari perseteruan dengan pihak manapun.

Jaka Umbara adalah muridnya yang paling tepat untuk melakukan tugas tersebut. Selain wataknya yang sangat sabar, pemuda itu juga sudah mewarisi hampir seluruh kepandaian Kyai Mustofa. Pada waktu itu olah kanuragan dan ilmu kadigdayan masih berkiblat pada dunia persilatan. Tidak banyak yang tahu bahwa orang-orang pesantren juga diajarkan olah kanuragan dan sumber-sumber ilmu yang tidak kalah hebat.

Kyai Mustofa adalah seorang ulama yang tidak terlalu dikenal orang karena sifatnya yang pendiam dan tidak pernah menonjolkan diri. Padahal kyai tua itu punya kemampuan luar biasa dari sisi olah kanuragan selain ilmu agamanya yang mumpuni. Jaka Umbara telah mewarisi semua ilmu Kyai Mustofa, hanya saja masih perlu ditingkatkan kematangan dan pengalamannya. Oleh karena itulah selain bertujuan menyelidiki dan menelisik Alas Roban, Kyai Mustofa juga memberikan kesempatan murid terpandainya itu keluar pesantren untuk meluaskan pengetahuan dan pergaulan. Kyai yang sakti ini juga cukup khawatir dengan perkembangan hubungan Pajang dan Jipang yang terus memanas.

Kyai Mustofa cemas hubungan yang terus memburuk itu akan menimbulkan peperangan besar yang tentu akan berakibat buruk pada tatanan masyarakat yang penuh kedamaian. Kyai tua ini sangat peduli dengan pendidikan anak-anak desa yang masih terbelakang. Jika terjadi perang, anak-anak muda pasti dipaksa menjadi prajurit untuk membela kerajaannya masing-masing. Padahal Kyai Mustofa bercita-cita anak-anak sedari kecil dididik untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya sehingga tidak mudah terhasut atau terpengaruh hal-hal buruk.

Jaka Umbara menajamkan pendengarannya. Lamat-lamat terdengar suara gemuruh dari hulu sungai. Pemuda ini buru-buru melompat ke tebing pinggir sungai untuk melihat dengan lebih jelas. Suara gemuruh itu sangat menakutkan. Jaka Umbara menduga itu aliran banjir besar yang berbahaya. Di perbukitan atas Alas Roban yang merupakan hulu dari sungai ini memang sering terjadi hujan sekalipun musim sedang kemarau.

Jaka Umbara melompat ke tebing yang lebih tinggi. Dia tidak mau terbawa air bah yang pasti akan sampai di tempatnya berdiri tadi jika melihat bekas-bekas sebelumnya. Sungai ini cukup lebar. Air bah pasti akan terjadi dalam volume air yang besar. Jaka Umbara memperhatikan dengan sungguh-sungguh dari tempatnya berdiri. Rasa ingin tahu menahannya untuk segera pergi dari tempat ini.

Air bah itu tiba diiringi suara gemuruh yang memekakkan telinga. Didahului oleh air yang berwarna sangat keruh lalu diikuti dengan gelombang kayu dan serasah hutan dalam jumlah sangat besar. Jaka Umbara salah perkiraan. Tebing tempatnya berdiri ternyata tidak cukup tinggi. Lidah air juga menerjang hingga kakinya. Dengan kecepatan seperti kilat, pemuda ini menggerakkan tubuhnya menghindar. Kali ini dia berdiri di atas bukit kecil yang persis berada di atas lubuk sungai yang sekarang nyaris menyerupai danau.

Luar biasa memang kekuasaan alam. Jaka Umbara sedikit bergidik. Sehebat-hebatnya orang, pasti gelombang dahsyat air bah ini juga tidak akan bisa dilawan. Untuk beberapa saat Jaka Umbara yang takjub tidak bergerak dari tempatnya. Menyaksikan sungai yang sedang dilanda air bah ini adalah pertama kali baginya. Karena itu dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk terus melihat. Terbayang di benak pemuda ini jika ada seseorang yang terseret air bah sebesar ini dan hanyut dalam kecepatan tinggi dengan kayu, ranting dan dahan yang menutupi permukaannya, pastilah orang itu hanya bisa pasrah tanpa mampu berbuat apa-apa.

Dan itulah kejadian berikutnya yang dilihat oleh Jaka Umbara!

Seorang gadis, apabila dilihat dari pakaiannya yang penuh lumpur, hanyut terbawa air bah dahsyat itu hanya dengan duduk di atas sebatang kayu besar dan memeluk dahannya. Kayu itu meskipun besar terguling beberapa kali karena kecepatan air yang begitu tinggi bertemu dengan tikungan dan jeram. Namun gadis itu berpegangan kuat-kuat sehingga tak sampai terlempar ke air kecoklatan yang bisa menelannya dalam hitungan detik.

Jaka Umbara kebingungan. Dia sempat melihat gadis itu melihat selintas ke arahnya berdiri. Tatapan matanya nampak ngeri, tapi dia sama sekali tidak berteriak minta tolong.

Pemuda itu berlari cepat menyusur pinggiran sungai yang mengamuk dengan mata tak lepas dari keberadaan si gadis. Dia tidak boleh kehilangan jejak. Jaka Umbara akan menunggu saat yang tepat untuk menolong gadis itu.

"Bertahanlah! Di bawah ada lubuk yang agak tenang! Aku akan menolongmu di sana!" Jaka Umbara berusaha berteriak sekuatnya. Namun suaranya tenggelam ditelan gemuruh air bah.

Sambil terus berlari cepat dan memandangi tengah sungai, Jaka Umbara yang sedari tadi sudah melihat sebuah lubuk yang lebar dan dalam, memperkirakan dia harus tiba terlebih dahulu jika ingin menolong gadis yang tidak beruntung itu. Apalagi dari kejauhan Jaka Umbara bisa melihat buih-buih putih mengambang di udara. Tak jauh dari lubuk terdapat air terjun yang biasanya kecil saja dan sekarang menjelma menjadi air terjun raksasa.

Jaka Umbara mengerahkan semua kemampuan meringankan tubuhnya. Tubuh tinggi kurus itu berkelebatan di bawah pohon-pohon besar Alas Roban. Berkejaran dengan waktu yang sangat sempit. Pemuda itu sudah mendahului si gadis karena sungai itu berkelok beberapa kali sedangkan dia berlari cepat sambil sesekali berlompatan di atas pohon.

Jaka Umbara berdiri dengan jantung berdegup di tebing atas lubuk yang bentuk sungainya melebar di kedua sisi. Pemuda itu memegang erat akar gantung dari pohon Beringin raksasa yang menjulang di atas tebing.

Perhitungannya harus tepat agar bisa menyambar tubuh gadis itu saat lewat di bawahnya. Harapan Jaka Umbara terletak pada jarak gadis itu dengannya. Jika terlalu jauh, maka dia tidak punya kesempatan sama sekali. Namun jika berada dalam jangkauan, maka kesempatannya pun hanya sekali. Jaka Umbara membisikkan doa-doa dalam kitab suci Alqur'an dengan bibirnya yang gemetar.

-