Peperangan
adalah lonceng yang ditabuh
secara sungguh-sungguh
menyiarkan obituari
dari filosofi hidup yang membunuh dirinya sendiri
Paseban itu nampak begitu sepi. Hanya beberapa abdi sedang duduk bersila mendengarkan salah satu dari mereka menembang gending-gending yang syahdu dan menawan hati.
Suasana istana yang cukup megah itu juga lengang. Tidak nampak orang-orang berkeliaran. Para penjaga hanya bisa ditemui satu dua di pos penjagaan yang tersebar di sekitar area istana kadipaten.
Namun di dalam ruang pertemuan khusus, suasana sama sekali tidak lengang maupun sepi. Terdengar suara keras teriakan dan terkadang geraman. Adipati Ario Penangsang duduk dikelilingi oleh para pembantunya. Maesa Wulung, Ki Juru Sentani, dan Panglima Alap-alap.
Wajah-wajah tegang nampak di wajah para pembantu Adipati. Sang Adipati marah karena Pajang semakin mendesak wilayah kekuasaan mereka dengan mencoba menguasai para penduduk desa yang berada di pinggiran luar Jipang Panolan.
"Ini tidak bisa dibiarkan! Mas Karebet sudah keterlaluan! Apa rencanamu Panglima?" Adipati Ario Penangsang menatap Panglima Alap-alap.
Panglima bertubuh tinggi kurus itu berdiri dan membungkukkan tubuh. Panglima ini nampaknya saja kurus namun di balik tubuhnya yang kurus itu semua orang juga tahu betapa dahsyat ilmu kanuragan yang dimilikinya. Jarang ada yang menandinginya. Terutama kecepatan tubuhnya yang luar biasa.
"Hamba pikir sebaiknya kita memperkuat pasukan penjaga di setiap perbatasan Kanjeng Adipati. Saya sudah mempersiapkan pasukan yang akan ditugaskan. Tentu saja mohon bantuan Paman Maesa Wulung dan Ki Juru Sentani untuk secara rutin mengunjungi perbatasan Jipang. Kita belum tahu seberapa banyak kekuatan yang disebar oleh Mas Karebet di perbatasan."
Ki Juru Sentani ikut menyumbangkan pikiran.
"Terutama juga untuk berjaga-jaga terhadap pembunuh misterius yang berkeliaran di wilayah Jipang Panolan. Sungguh kejam orang mampu membunuhi orang lain seperti itu." Ki Juru Sentani menggeleng-gelengkan kepalanya dengan hati miris.
Adipati Ario Penangsang menghela nafas panjang.
"Berapa korban yang tewas akibat pembunuh misterius itu Panglima?"
Panglima Alap-alap menjawab tegas dan ringkas.
"Lima puluh orang Kanjeng Adipati. Penduduk desa, pedagang dan prajurit. Pembunuh itu tidak diketahui namanya namun orang-orang mengenalnya sebagai Gadis Penebar Maut."
Maesa Wulung angkat bicara.
"Aku akan membantumu mengawasi perbatasan Panglima. Selain itu aku penasaran dengan si Gadis Penebar Maut ini. Kabar yang beredar menyebutkan gadis ini mempunyai kepandaian sangat tinggi."
Panglima Alap-alap mengiyakan.
"Betul. Saksi mata dari prajurit Jipang yang selamat mengatakan Gadis Penebar Maut ini memang berilmu tinggi dan tidak mengenal ampun. Para prajurit yang tersisa itu beruntung diselamatkan oleh dua orang yang menghalangi si penebar maut dengan ilmu yang tak kalah tinggi."
Adipati Ario Penangsang tertarik. Kenapa banyak orang-orang lihai yang bermunculan saat ini? Semoga mereka tidak berada di pihak Pajang.
"Siapa dua orang itu?"
Panglima Alap-alap menjawab.
"Dua muda mudi Kanjeng Adipati. Seorang gadis bersenjatakan seruling dan pemuda yang mampu mengeluarkan pukulan berhawa dingin."
Adipati Ario Penangsang mengrenyitkan keningnya. Seruling? Apakah mungkin gadis ini keturunan atau anak murid Ki Ageng Waskita yang terkenal dengan seruling saktinya? Sudah lama Adipati Ario Penangsang mencoba mencari keberadaan resi sakti itu karena kabarnya dia bertapa di Alas Roban yang tidak jauh dari wilayah Jipang Panolan. Pencarian itu tidak pernah berhasil. Adipati Ario Penangsang juga berharap Pajang tidak berhasil menemui resi sakti itu. Mas Karebet juga mencari keberadaan Ki Ageng Waskita untuk dijadikan penasehat Kerajaan Pajang. Kalau sampai resi sakti yang sangat misterius itu berpihak pada Pajang, para tokoh Jipang Panolan akan sangat kesulitan menemukan lawan yang setanding.
Ki Ageng Waskita adalah keturunan langsung pasangan Si Bungkuk Misteri dan Perempuan Setengah Dewa yang luar biasa. Namun tidak pernah dirawat sama sekali oleh kedua orang sakti itu. Sedari kecil Ki Ageng Waskita diasuh oleh seorang pertapa yang tidak dikenal oleh dunia namun sesungguhnya merupakan tandingan Si Bungkuk Misteri dalam hal ilmu kesaktian. Pertapa tak dikenal dan yang dipanggil sebagai Ki Ageng Guru. Nama Waskita sendiri yang selanjutnya disebut sebagai Ki Ageng Waskita saat sudah tua, diberikan oleh Ki Ageng Guru sendiri.
Ki Ageng Guru selain mengajarkan ilmu-ilmu kanuragan tingkatan tertinggi kepada Ki Ageng Waskita, juga mengajarkan ilmu welas asih berdasarkan ajaran Sri Budha Gautama. Karena itulah Ki Ageng Waskita sama sekali tidak terpengaruh oleh keinginan untuk mencari ayah dan ibunya atau turut campur di segala macam urusan dunia persilatan.
Saat terjadi ontran-ontran di seantero Jawa yang melibatkan banyak nama besar dunia persilatan dan juga perang antar kerajaan, Ki Ageng Waskita memilih untuk menyepi di Alas Roban dan bertapa di sana. Banyak orang yang mencari keberadaannya karena ingin berguru atau ngunduh ilmu. Ki Ageng Waskita sangat terkenal di dunia persilatan ketika kehadirannya yang sangat jarang adalah saat Naga Air memunculkan dirinya di Samudera Selatan. Ki Ageng Waskita yang waktu itu masih sangat muda, yang berhasil mengambil Mustika Naga dari kepala Naga Air.
Pada waktu itu, Ki Ageng Waskita hanya menjalankan tugas dari Ki Ageng Guru agar ikut memperebutkan Mustika Naga Air karena akan sangat berbahaya jika jatuh di tangan orang yang salah. Mustika Naga Air lalu dititipkan di Istana Raja Blambangan selama puluhan tahun sebelum akhirnya jatuh di tangan Arya Dahana.
Salah satu hal yang masih diingat betul oleh dunia persilatan adalah saat Ki Ageng Waskita menaklukkan Naga Air hanya dengan berbekal sebuah seruling. Seruling dari bambu biasa yang dimainkan oleh kekuatan luar biasa hawa sakti Ki Ageng Waskita yang membuat Naga Air menghentikan keganasannya dan diam saja ketika Ki Ageng Waskita mengambil Mustika Naga di kepalanya.
Sangat jarang pendekar sakti di dunia persilatan yang mempunyai kemampuan hebat dengan senjata seruling kecuali Ki Ageng Waskita. Karena itulah Adipati Ario Penangsang sangat berharap Ki Ageng Waskita yang secara garis keturunan sama dengannya itu membantu Jipang Panolan. Hanya saja keberadaannya memang sangat misterius sehingga sulit sekali ditemukan.
Gadis yang dimaksud Panglima Alap-alap tentu saja adalah Ratri Geni yang sebetulnya tidak ada hubungan sama sekali dengan Ki Ageng Waskita. Ratri Geni memang menyukai permainan seruling semenjak kecil. Ayahnya mengajarkan gadis itu meniup dan memainkan seruling semenjak Ratri Geni baru mulai belajar berjalan.
Seruling yang dibawa Ratri Geni bukanlah seruling biasa. Karena dibuat secara khusus oleh Arya Dahana dari tulang kayu yang mengeras ratusan atau bahkan mungkin ribuan tahun di Gua Danu Cayapata. Ditempa menggunakan pukulan Busur Bintang sambil dipanaskan oleh pukulan Bayangan Matahari. Seruling langka itu dinamai Seruling Bidadari Bumi.
Salah satu kehebatan dari Ratri Geni adalah bisa memainkan jurus-jurus kedua pukulan sakti itu menggunakan serulingnya. Saat ini bahkan seruling itu bisa menyemburkan hawa sangat panas dan juga luar biasa dingin dari masing-masing lubangnya.
*****