Waktu memupus kehidupan
menjadi kematian
atas nama garis yang telah ditulis
oleh buku-buku yang awalnya bergenre romantis
Ratri Geni menggali lubang-lubang kuburan dengan benak yang dipenuhi pertanyaan. Kenapa hari ini dia mendengar dan menyaksikan kematian mengenaskan dalam waktu yang tidak terlalu lama? Berita dari Ario Langit, terdapat penduduk desa dibantai di pinggiran Bengawan Solo, dan ini rombongan pedagang dihabisi di tengah hutan. Apakah orang yang bertanggung jawab terhadap kematian ini adalah orang yang sama? Gadis yang seperti diceritakan Ario Langit?
Belasan lubang kuburan itu selesai digali dalam waktu singkat. Selain Ratri Geni memang memiliki tenaga yang istimewa, juga karena Sima Braja membantunya menggali kuburan menggunakan cakarnya yang sekuat baja.
Setelah menguburkan semua mayat dan menutup kuburan dibantu Sima Braja, Ratri Geni berbisik di telinga harimau hitam raksasa itu.
"Apakah kau punya petunjuk siapa yang melakukan ini semua Halilintar?"
Sima Braja menggeram lirih sambil memajukan mulutnya ke arah depan. Ratri Geni mengelus kepala harimau itu. Mengerti bahwa Sima Braja sedang memberinya petunjuk.
"Ayo kita cari pembunuh kejam itu!" Tubuh putri pasangan orang sakti itu berkelebat cepat meninggalkan hamparan pekuburan dadakan di tengah belantara. Sima Braja melompat jauh dan berlari di belakang Ratri Geni.
Gadis muda putri Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri itu tiba di pinggiran Sungai Sambong. Sungai yang tidak terlalu besar namun nampak sekali sangat dalam. Mereka tetap berada di hutan belantara yang menyambung dari Alas Roban. Sima Braja mengendus sekeliling. Geraman kecil sebagai isyarat bagi Ratri Geni untuk mengikutinya.
Mereka menyusuri pinggiran sungai hingga sampai di sebuah tempat yang landai. Dari jauh Ratri Geni melihat sebuah tempat penyeberangan dengan beberapa perahu tertambat di tempat yang sepertinya semacam pelabuhan kecil. Gadis ini menepuk leher Sima Braja agar menunggu di sini. Tubuhnya berkelebat lincah menuju pelabuhan.
Beberapa orang beristirahat di perahu kecil masing-masing. Ratri Geni mendekati salah seorang di antaranya. Tukang perahu tua yang sedang mengipasi tubuhnya dengan caping.
"Paman, maaf mengganggu. Apakah Paman melihat seorang gadis menyeberang di sini beberapa saat lalu?" Orang tua menatap Ratri Geni dengan pandangan heran. Aneh melihat gadis muda berani sendirian sampai ke tempat yang masih banyak berhutan ini.
"Hari ini agak sepi Nduk. Seharusnya ada langganan kami yang biasanya menyeberang hari ini. Rombongan besar pedagang dari wetan. Seorang gadis? Rasanya aku memang melihat seorang gadis menyeberang. Berbaju ringkas hitam-hitam dan tidak banyak bicara. Mukanya tertutup oleh kain hitam. Hanya matanya saja yang terlihat." Ratri Geni tertarik. Dia menduga itu si Gadis Penebar Maut.
"Apakah sudah lama Paman? Kira-kira menuju ke arah mana dia?"
"Belum terlalu lama. Aku tidak tahu persisnya kemana Nduk. Dia turun dan membayar tanpa berkata apa-apa?"
"Di seberang sana, jalan menuju ke mana Paman?" Ratri Geni mencoba mengerucutkan pencarian.
"Ada dua simpang jalan di seberang sana. Lurus ke arah Jipang dan ke kiri menuju Pajang."
Ratri Geni berterimakasih. Membalikkan badan dan segera berlari cepat setelah tak terlihat dari pandangan mata orang-orang tukang perahu. Gadis itu berbisik di telinga Sima Braja yang masih menunggunya di tempat semula.
"Kita menyeberang Halilintar. Tapi bagaimana caramu naik perahu ya? Selain berat, mana ada tukang perahu yang mau menyeberangkanmu. Hihi." Ratri Geni terkekeh geli.
Sima Braja menggeram rendah lalu melompat ke sungai dan mulai berenang ke seberang. Ratri Geni tersenyum lebar. Memang itulah satu-satunya cara. Mana mungkin ada harimau naik perahu menyeberangi sungai. Kembali gadis yang ceria itu terkekeh dan menggerakkan kakinya ke tempat penyeberangan.
Sesampainya di seberang, Ratri Geni berpikir keras. Kemana kira-kira Gadis Penebar Maut itu mengarah? Jipang atau Pajang? Ratri Geni memutuskan untuk berjalan lurus. Dia mengandalkan nalurinya. Sima Braja tidak nampak, namun Ratri Geni yakin harimau itu tak jauh darinya. Menyusup dan berjalan di antara pepohonan dan belukar hutan.
Telinga Ratri Geni yang tajam menangkap sesuatu tak beres di jauh depan sana. Terdengar denting pedang dan teriakan-teriakan marah dan kesakitan. Ada pertempuran. Ratri Geni mempercepat langkahnya. Gadis itu terbelalak melihat apa yang terpampang di hadapannya.
Sekelompok orang yang dikenalinya sebagai pasukan dari Jipang Panolan yang pernah ditemuinya bertempur dengan murid-murid Kyai Mustofa nampak sedang bertempur mati-matian melawan seorang wanita apabila dilihat dari perawakannya. Wanita itu bertempur dengan dahsyat. Meskipun dikeroyok oleh sekitar enam orang, namun keenam orang itulah yang justru terdesak hebat.
Pedang gadis itu menyambar-nyambar seperti elang perkasa. Mengincar bagian tubuh para pengeroyok yang sibuk menangkis tanpa mampu balas menyerang. Sudah pasti inilah Gadis Penebar Maut itu karena Ratri Geni melihat sudah ada beberapa mayat yang bergelimpangan di beberapa tempat. Ratri Geni bergidik. Tubuhnya melesat ke depan.
"Trangg! Dess! Dess!" Ratri Geni berhasil menyelamatkan seorang prajurit yang lehernya nyaris putus tertebas pedang. Seruling di tangannya bergetar. Tanda bahwa Gadis Penebar Maut itu memiliki tenaga dahsyat.
Gadis Penebar Maut berseru nyaring sambil melompat ke belakang. Ingin melihat siapa orang yang berani mencegahnya. Ratri Geni balik memandanginya dengan tatapan ngeri namun marah. Pasukan Jipang itu mundur. Dalam hati mereka mengeluh. Belum selesai urusan dengan Gadis Penebar Maut yang mengerikan itu, sekarang muncul lagi gadis lihai yang punya harimau ini.
"Hentikan kisanak! Tanganmu sungguh berlumuran darah! Kematian di mana-mana terjadi karenamu." Ratri Geni memperingatkan. Hawa sakti Pukulan Busur Bintang dikerahkan ke sekujur tubuhnya. Para prajurit itu merasakan hawa di sekitar mendadak mendingin cepat. Beberapa yang terlalu dekat nampak menggigil dan buru-buru menjauh.
"Hmm. Keparat kecil siapakah dirimu yang berani mencampuri urusanku?" Gadis Penebar Maut melemparkan pertanyaan pedas. Ratri Geni memperhatikan. Gadis di depannya ini memang memiliki perbawa mengerikan. Entah kenapa, Ratri Geni merasa julukan penebar maut itu memang cocok dengannya.
"Namaku Ratri Geni. Siapa namamu?"
"Aku tidak pernah memberi tahu namaku kepada siapapun! Kecuali orang itu sudah mati!" Gadis Penebar Maut menerjang ke depan. Mengayunkan pedang di tangannya dengan jurus-jurus mematikan. Ratri Geni mengangkat seruling menangkis dan mengelak dari serangan bertubi-tubi yang berbahaya itu. Gadis ini memang berhati kejam. Tidak segan-segan membunuh orang yang baru dikenalnya sekalipun. Ratri Geni terbakar hatinya.
Gadis muda yang tingkatnya sudah mampu menyamai tokoh-tokoh nomor satu di dunia persilatan ini berkelebat kesana kemari mengimbangi serangan-serangan dahsyat Gadis Penebar Maut.
Terjadilah pertempuran luar biasa di tempat sepi itu. Para prajurit Jipang Panolan menonton dengan perasaan tak karuan. Kagum dan jerih. Beberapa teman mereka tewas mengenaskan oleh Gadis Penebar Maut yang haus nyawa itu. Untunglah gadis bernama Ratri Geni itu datang menyelamatkan mereka.
Pertarungan berjalan dengan seimbang. Beberapa kali terdengar teriakan kaget Gadis Penebar Maut. Setiap kali pukulan atau pedang beradu, dia merasakan tangannya tergetar hebat. Gadis muda yang usianya tidak terpaut jauh dengannya ini sungguh hebat!
Sebuah bayangan berkelebat dan langsung ikut masuk dalam pertempuran. Ario Langit membantu Geni Ratri menyerang Gadis Penebar Maut. Gadis yang disebut terakhir menjerit penuh amarah. Namun anehnya dia malah menghentikan pertempuran, balik kanan dan langsung melarikan diri.
****