Idu-idu geni telah berlepasan
Mencari tunai janji atau sumpahnya sendiri
Meraksasakan dendam-dendam tak berkesudahan
Merekatkan suluran-suluran cinta yang terpendamkan
Mengisi hakikat hidup
Mengurai rumit yang beradu muka dengan kemudahan
Sampai akhirnya kata bahagia kembali menjadi kosakata
Benteng Bantar Muncang. Benteng yang telah jatuh ke tangan kerajaan Lawa Agung ini sekarang berbenah habis-habisan. Panglima Kelelawar tidak menganggap ini sebagai sebuah keberhasilan besar. Jatuhnya benteng ini lebih disebabkan kesalahan strategi Galuh Pakuan dalam membuat rantai pertahanan yang terlalu panjang. Bala bantuan tidak segera bisa didatangkan.
Mereka terlalu menganggap remeh Lawa Agung. Kerajaan kecil yang tumbuh dan berdiri di pulau tak berpenghuni. Mereka tidak sadar bahwa Lawa Agung berhasil menghimpun kekuatan yang sangat besar. Termasuk bagaimana mengumpulkan tokoh-tokoh hebat dan sakti dunia persilatan untuk memperkuat barisan.
Jika saja Panglima Candraloka tidak terlalu terpaku pada ancaman raksasa dari timur, mungkin saja Galuh Pakuan sudah membangun paling tidak dua benteng penghubung antara Bantar Muncang dengan Ibukota Galuh Pakuan.
Galuh Pakuan memperkuat pertahanannya di sisi timur. Itu terlihat sekali dengan berderet-deretnya benteng pertahanan dari ibukota sampai ke perbatasan Cipamali. Enam benteng!
Panglima Kelelawar telah lama mempelajari kelemahan ini berulangkali. Dia tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Oleh karena itu, panglima sakti murid terkasih Ratu Laut Selatan ini segera memerintahkan merombak Benteng Bantar Muncang agar lebih kuat pada saat nanti diserang sebelum mereka mempunyai kesempatan untuk melanjutkan membangun benteng-benteng lainnya.
Menerima calon prajurit secara besar-besaran harus segera dilakukan. Tapi penduduk pesisir selatan sangat sedikit jika dibandingkan dengan pesisir utara. Darimanakah mereka bisa mendapatkan orang-orang yang bersedia menjadi prajurit dalam jumlah besar?
Pertanyaan ini terus menggayuti benak Panglima Kelelawar sampai matanya terbentur pada sosok Putri Anjani yang sedang berbincang ringan dengan Mahesa Agni dan gurunya Datuk Rajo Bumi.
Gadis itu adalah jalan keluarnya! Dia berasal dari pantai utara. Akan sangat mudah baginya untuk menarik hati para penduduk pantai utara yang umumnya adalah nelayan dan petani miskin. Bisa melalui iming-iming upah yang tinggi atau bisa juga dengan cara-cara lain yang biasa dilakukan para pendekar berilmu tinggi.
Panglima Kelelawar berjalan mendekati. Dia tahu cukup berbahaya bekerjasama dengan tokoh-tokoh semacam ini. Jalan pikiran mereka sangat sulit diduga. Bisa jadi saat ini menjadi kawan, besok pagi tiba-tiba berubah menjadi lawan.
Putri Anjani yang melihat Panglima Kelelawar menghampiri, menghentikan perbincangan.
"Paduka Panglima, turut senang akhirnya benteng tangguh ini bisa ditaklukkan. Aku hanya mau mengingatkan bahwa purnama keduabelas tak lama lagi tiba. Apakah tidak sebaiknya Paduka Panglima segera bersiap melakukan perjalanan jauh ke timur? Kami sendiri berniat berpamit pergi hari ini."
Panglima Kelelawar mengangguk sedikit.
"Aku pasti akan memenuhi janjiku Putri. Apalagi kalian dari Persekutuan sudah cukup banyak membantuku menaklukkan benteng ini. Jangan khawatir. Majapahit bukanlah sekutu yang tepat untuk kami cari."
Putri Anjani tersenyum dingin namun terlihat riang saat melanjutkan kalimatnya.
"Paduka Panglima, menghapus Majapahit dari sejarah adalah cita-cita Persekutuan. Kami akan membantumu selama kau juga membantu kami melaksanakan niat kami."
Panglima Kelelawar lagi-lagi mengangguk.
"Aku minta kau melakukan satu hal lagi Putri. Selama perjalananmu ke timur, singgahlah di beberapa tempat di pantai utara. Aku memerlukan bantuanmu untuk dapat menambah pasukan baru agar bisa memperkuat pasukan dan benteng-benteng yang akan kubangun segera."
Putri Anjani melihat nada semangat dan kesungguhan dalam ucapan Panglima Kelelawar. Menukas dengan cepat untuk lebih meraih kepercayaan raja kerajaan yang aneh itu.
"Baiklah Paduka Panglima. Aku akan berusaha menarik tenaga sebanyak-banyaknya dari pantai utara."
Panglima Kelelawar menggerakkan tubuh berkelebat. Dia baru teringat sesuatu! Dewi Mulia Ratri dan kawan kawannya mungkin masih di sekitar benteng ini. Melakukan penyelidikan sebelum kembali ke ibukota Galuh Pakuan.
Panglima Kelelawar sedikit bergidik jika teringat kehebatan pemuda tengil itu saat dikeroyok. Ilmu pukulan Bayangan Mataharinya nyaris sempurna. Sedangkan ilmu pukulan Busur Bintangnya juga sama sekali tidak bisa dianggap ringan. Kelak dia harus bersiasat bagaimana cara menghadapi pemuda sakti itu.
Belum lagi gadis dengan kekuatan sihir yang tidak terbayangkan itu. Galuh Pakuan memiliki barisan pejuang yang tangguh. Mungkin saja hanya kelengahan yang akan menjatuhkan mereka.
Bayangan Panglima Kelelawar melesat di antara rimbun pepohonan sekitar Benteng Bantar Muncang laksana hantu. Belum beberapa jeda yang lalu, Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri menjemput Ardi Brata dan Bimala Calya dan mengajaknya menuju ibukota Galuh Pakuan.
Panglima Kelelawar menyelesaikan pengawasannya tanpa hasil. Kembali ke tempat semula kemudian memerintahkan para penjaga agar mulai melakukan patroli di sekitar Benteng Bantar Muncang.
Setelah itu mengatur pertemuan dengan para panglima dan hulubalangnya. Menyusun pertahanan sekuat mungkin. Siapa tahu Galuh Pakuan mengirimkan pasukan penyerang saat mereka masih dimabuk kemenangan.
Putri Anjani sendiri lalu berpamitan untuk kembali ke timur dengan terlebih dahulu melewati pesisir utara untuk mencari sebanyak mungkin orang yang bersedia menjadi bagian dari pasukan Lawa Agung.
----
Rombongan kecil Dewi Mulia Ratri berjalan dalam diam dan sedikit tergesa. Masing-masing mengembara dalam pikirannya sendiri-sendiri. Hanya Sima Lodra yang kelihatan bosan dengan menyuarakan geraman-geraman kecil seolah sedang menggerutu. Tentu saja dia bosan. Dewi Mulia Ratri memerintahkannya untuk juga banyak diam. Mereka masih belum terlalu jauh dari Bantar Muncang. Wilayah kekuasaan baru Lawa Agung. Tidak perlu menimbulkan keributan baru yang bisa menghambat perjalanan mereka ke ibukota.
Luka-luka yang diderita oleh Ardi Brata dan Bimala Calya terus membaik. Meski perjalanan belum bisa dilakukan dengan menggunakan ilmu berlari cepat, setidaknya kedua anak muda tersebut tidak lagi harus banyak berhenti.
Arya Dahana sering melemparkan pandang kepada Bimala Calya yang sangat sedikit sekali mau melihatnya secara langsung. Gadis itu lebih banyak tertunduk jika bersirobok mata dengannya.
Arya Dahana juga bisa dengan jelas menyaksikan betapa sangat perhatiannya Ardi Brata kepada Bimala Calya. Pemuda itu selalu berusaha menunjukkan perhatian yang lebih. Dan itu juga disadari si gadis yang berusaha membalas dengan perhatian yang kurang lebih sama.
Setidaknya, Bimala Calya sudah mulai bisa melupakannya. Itu bagus. Arya Dahana ingin sekali menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Betapa banyaknya dia terlibat dengan begitu banyak perempuan. Semua cantik. Semua mempunyai kelebihan. Pemuda ini memahami sekali sebenarnya hatinya memilih siapa. Dan dia juga tahu bahwa pilihan hatinya ini juga tahu. Hanya soal waktu nantinya yang akan menjadi hakim teradil bagi mereka.
Arya Dahana juga memperhatikan bagaimana Ayu Wulan bersikap terhadapnya. Biasa-biasa saja. Tak ada yang aneh. Ini juga bagus. Dia sama sekali tidak berharap gadis yang lugu ini juga terjebak dalam urusan asmara yang aneh ini. Gadis ayu itu malah lebih banyak bercanda dengan Sima Lodra. Tak jarang pula mengajak bercakap Dewi Mulia Ratri yang sebenarnya lebih banyak ingin berdiam.
Perjalanan ditempuh melalui hutan rimba dan ngarai-ngarai dalam. Sengaja. Dewi Mulia Ratri tidak mau Sima Lodra menarik perhatian orang. Bisa saja orang yang melihat rombongan aneh ini bersimpati kepada Lawa Agung lalu melaporkan mereka. Pengejaran pasukan tidak akan membuat mereka gentar. Tapi jika yang mengejar adalah orang-orang sekelas Datuk Rajo Bumi, Mahesa Agni atau Panglima Amranutta, itu akan menjadi rintangan berat bagi mereka yang ingin sekali segera tiba di ibukota.
Urusan makanan masih menjadi perhatian Arya Dahana. Pemuda ini dengan rajin mencari ikan di sungai-sungai yang dijumpai dalam peristirahatan sementara mereka. Jikapun ikan sulit didapat, Sima Lodra dengan senang hati mencarikan mereka binatang buruan untuk dimasak dan dimakan.
Mungkin esok sore mereka sudah sampai di ibukota. Jalanan melingkari gunung ini sudah sangat landai. Beberapa kali mereka mau tak mau harus melintasi persawahan atau ladang-ladang penduduk. Dewi Mulia Ratri sudah merencanakan di mana mereka mulai memisahkan diri. Terutama dengan Sima Lodra yang sudah mulai jengkel karena tahu sebentar lagi akan ditinggal di hutan sendirian. Harimau raksasa yang sakti ini akhirnya terlonjak gembira dengan menggeram pendek-pendek setelah tahu bahwa Ayu Wulan, Bimala Calya dan Ardi Brata akan menemaninya di dalam hutan terakhir sebelum mendekati ibukota.
Dari sana, Dewi Mulia Ratri akan melanjutkan perjalanan seorang diri. Arya Dahana juga memisahkan diri karena akan melanjutkan perjalanan memenuhi hutang janjinya kepada Putri Anjani untuk pergi ke Istana Timur.
"Ratri, aku harus pergi menunaikan janji terakhirku kepada Putri Anjani. Hutang nyawaku akan lunas setelah perjalanan ini. Di manakah aku bisa menemuimu lagi?"
Arya Dahana membuka percakapan dengan sedikit kikuk. Malu dia sebenarnya berkata begini. Belum tentu juga si gadis ini peduli dia mau menemuinya lagi atau tidak.
Dewi Mulia Ratri menundukkan mukanya yang sedikit bersemu merah. Hatinya senang bukan main! Pemuda ini akan kembali kepadanya! Itu sebuah janji. Dia akan dengan kukuh menagihnya nanti.
"Temui aku di ibukota Galuh Pakuan, Dahana. Aku akan selalu ada di sana. Aku akan menunggu janjimu yang ini. Jika kau tidak datang setelah purnama keduabelas saka ini, Aku akan mencarimu dan menamparmu beberapa kali karena mengingkari janji!"
Arya Dahana tersenyum tipis. Gadis ini sama sekali tidak berubah. Dia harus mengingat ini baik-baik. Tidak boleh dia sampai mengingkari. Pedas tamparan gadis ini semakin lama semakin terasa lain. Dulu mungkin pipinya saja yang terasa panas dan memerah. Tapi semakin ke sini, tamparan itu ikut memerahkan hatinya. Dia tidak akan ingkar! Dia akan kembali!
Arya Dahana juga berpamitan kepada Bimala Calya, Ardi Brata, Ayu Wulan dan Sima Lodra. Gadis-gadis itu hanya mengangguk kecil. Entah apa yang sedang ada dalam pikiran mereka saat Arya Dahana berpamitan. Ardi Brata tersenyum tulus. Sedangkan Sima Lodra menggeram-geram tak puas. Sudah lama dia tidak berjumpa dengan tuannya yang satu ini. Mendadak sudah ditinggal pergi lagi.
Sebelum berkelebat pergi, Arya Dahana memandang Dewi Mulia Ratri sekali lagi. menatap lurus dan dalam ke mata gadis cantik itu. Ada bunga-bunga di sana. Dia yakin sekali! Bayangan Arya Dahana lenyap sambil membawa hati yang juga berbunga-bunga.
Dewi Mulia Ratri memandangi bayangan yang lenyap itu dengan hati yang ikut melenyap. Kali ini perpisahan ini sangat terasa baginya. Seandainya dia bisa ikut menemani pemuda itu dalam perjalanannya. Tentu akan menjadi sebuah petualangan mendebarkan yang berulang. Aahhh, seharusnya dia ikut saja tadi!
Dewi Mulia Ratri mengeraskan hatinya. Dia harus membereskan urusan negaranya. Gadis ini memberikan pesan kepada teman-temannya agar tetap menunggu di sini. Dia akan segera kembali menjemput dan mengajak mereka ke perbatasan Cipamali. Dia membutuhkan bantuan tenaga mereka di sana. Galuh Pakuan banyak membutuhkan bantuan orang-orang sakti saat ini. Mereka berempat adalah bala bantuan yang sangat berguna.
Ketiganya mengatakan secara serempak akan menunggu sedangkan Sima Lodra menggeram lirih. Bimala Calya dan Ardi Brata akan memanfaatkan waktu dengan memulihkan diri. Ayu Wulan melatih kanuragannya yang diajarkan Dyah Puspita dulu dan Sima Lodra, entah apa yang akan dilakukannya. Mungkin berpesta. Banyak sekali binatang buruan di sekitar sini.
Dewi Mulia Ratri tersenyum puas lalu menggerakkan tubuhnya berlari menuju ibukota Galuh Pakuan. Ada semangat lain di dadanya yang berkobar. Menyelamatkan negaranya dan menunggu Arya Dahana kembali pulang!
**