Kisah Air & Api-Cinta Abadi Air dan Api

🇮🇩mim_yudiarto
  • 24
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 15.3k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bab 1

Sebuah perjuangan dengan keringat bertuntas-tuntas

Darah terkuras-kuras

Airmata berlepas-lepas

Pasti akan mendapatkan giliran berlabuh

Di tempat yang dituju

Jangan pernah hentikan sebuah perjuangan

Hanya karena terasa melelahkan

Lelah itulah yang kelak menjelma menjadi indah

Sebuah tempat di lereng Gunung Pangrango. Dewi Mulia Ratri menghentikan larinya. Dia menoleh kepada Arya Dahana yang tersenyum tipis di sebelahnya. Gadis cantik ini menatap dalam-dalam mata Arya Dahana. Mata yang bertahun-tahun dirindukannya itu masih seperti dulu. Menarik hati dan tetap tengil.

Dewi Mulia Ratri menghela nafas pendek. Dia teringat kepada Bimala Calya dan Ardi Brata yang pingsan dan dia sembunyikan di hutan. Mereka aman. Luka-lukanya juga tidak terlalu parah dan tidak membahayakan jiwa.

Arya Dahana balik memandangi Dewi Mulia Ratri. Gadis yang memenuhi hatinya semenjak dahulu. Gadis yang sangat sulit untuk diduga hatinya. Suatu waktu bisa menjadi bidadari yang baik hati. Saat lain menjadi badai prahara yang sanggup meremukkan seisi bumi.

Gadis yang sedang dipandangi ini menundukkan muka. Pandangan itu begitu tajam menelanjangi. Bukan dalam arti mesum, namun lebih kepada menguliti jiwa dan cinta. Dua hal yang sekuatnya akan disembunyikan oleh Dewi Mulia Ratri jika itu bisa.

Hmmm...gadis yang pura-pura tangguh dalam hal cinta, bodoh dan sombong! batin Arya Dahana agak kesal.

Huh...laki-laki penakut menyebalkan! Apa sih susahnya mengakui dan mengatakan, Dewi Mulia Ratri tidak mau kalah membatin.

Suasana hening mengikuti bagaimana berbantahan batin itu terjadi. Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri saling berpandangan seperti sedang hendak memulai sebuah pertarungan mematikan.

Dewi Mulia Ratri menyudahi saling tatap itu dengan jengah. Pemuda kurang ajar! Berani-beraninya dia menantangku dalam adu kuat pandangan dan pergolakan batin. Ah, atau jangan-jangan aku memang terlalu angkuh dan sombong? Gadis ini mulai menundukkan hati memilah keteguhan pendapatnya. Arya Dahana tersenyum mengejek. Dalam hati. Tentu saja dia tidak berani mengutarakan ejekan terang-terangan. Bisa gawat. Dia sedang agak kelelahan setelah pertempuran yang menguras tenaga tadi. Tidak mau menyantap gamparan tentu saja.

"Eh Ratri, di mana kau sembunyikan Bimala Calya dan Pendekar Pelajar? Apakah mereka aman dan bagaimana luka-lukanya? Apakah kita harus menjemput mereka sekarang dan membantu mereka memulihkan diri?"

Pikiran Dewi Mulia Ratri kembali tegak berdiri. Pertanyaan Arya Dahana menyadarkannya bahwa benteng Bantar Muncang telah direbut oleh musuh. Ini berbahaya bagi Galuh Pakuan. Benteng Bantar Muncang adalah pertahanan pertama dari Galuh Pakuan di pesisir selatan. Selanjutnya musuh dengan leluasa bisa mengendalikan wilayah Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak. Dia harus melaporkan semua ini kepada Panglima Candraloka. Tentu saja kejatuhan benteng ini pasti sudah terdengar sampai ibukota Galuh Pakuan. Tapi tidak serta merta ibukota bisa mengirimkan pasukan. Perlu rencana matang dan persiapan yang tidak main-main. Yang dihadapi adalah pasukan terpilih dan terlatih Lawa Agung.

Belum lagi kehebatan tokoh-tokoh sakti yang saat ini makin banyak membela Lawa Agung. Lalu persekutuan yang tiba-tiba datang dan terang-terangan membantu. Putri Anjani sudah menentukan sikapnya. Dialah pimpinan Persekutuan. Dia juga orang yang ikut bertanggung jawab terhadap jatuhnya salah satu benteng Galuh Pakuan itu.

Galuh Pakuan dalam bahaya! Persekutuan yang dipimpin oleh Putri Anjani sangat kuat dan tangguh. Sasaran utama mereka memang Majapahit. Namun Galuh Pakuan bisa jadi sasaran antara karena Persekutuan ingin mendapatkan sokongan dari Lawa Agung dengan cara membantu Lawa Agung mencapai tujuannya. Yaitu menaklukkan dan menguasai Galuh Pakuan.

Dewi Mulia Ratri menghempaskan tubuhnya ke akar besar yang menonjol keluar dari sebuah pohon raksasa.

"Dahana, apa kau tahu kenapa tiba-tiba Putri Anjani datang lalu membantu Lawa Agung? Dan apakah masih kau simpan gendewanya yang sakti itu?"

Arya Dahana mengangguk kecil.

"Aku masih menyimpannya. Aku akan menyerahkannya setelah keadaan memungkinkan. Tapi aku akan mengambilnya kembali saat akan terjadi sebuah peperangan besar. Aku tidak ingin gendewa luar biasa ini membuat keseimbangan terguncang."

Arya Dahana melanjutkan.

"Aku tidak tahu persis kenapa Putri Anjani secepat itu kembali dan lalu membantu Lawa Agung. Bahkan membawa serta gurunya yang sakti dan satu orang lagi yang terlihat sangat tangguh."

"Aku mengkhawatirkan sumpah dan hutang nyawamu Dahana. Putri Anjani sangat jauh berubah. Dia menjadi begitu berbahaya semenjak idu geni yang dia keluarkan itu."

Dewi Mulia Ratri menatap dalam-dalam Arya Dahana. Yang ditatap sedikit kikuk. Tatapan itu begitu berarti banyak baginya. Tatapan yang menceritakan petualangan dan asmara tak habis-habis. Pahit dan getir mengikuti perjalanan mereka yang sering bersama. Hanya rasa manis yang masih belum mau singgah dan menetap. Tanpa disengaja Arya Dahana menarik nafas sangat panjang. Dewi Mulia Ratri mendengar nafas itu. Tatapannya menyelidik sekarang.

Arya Dahana buru-buru membetulkan sikapnya. Gadis ini tahu persis seperti apa dirinya. Perjalanan hidupnya. Sedikit saja dia menunjukkan sikap yang lain, gadis ini pasti bisa menebak dengan tepat apa yang sedang dipikirkannya. Terbayang saat-saat mengobati gadis ini tadi malam. Mereka bersentuhan tanpa kain penghalang. Arya Dahana tersenyum-senyum sendiri. Hangat itu masih terasa hingga sekarang.

Dewi Mulia Ratri mendelik. Dia bukan ahli nujum. Tapi melihat pemuda itu cengar-cengir sendiri dengan mata tengil, dia bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya.

"Huh! Otak mesum! Jangan dikira tadi malam aku menikmatinya ya?!"

Arya Dahana tersentak kaget. Gadis ini benar-benar tahu apa yang sedang melintasi benaknya. Pemuda ini menjadi jengah sendiri.

"Ah, kamu mungkin mengatakan tidak seperti yang kamu rasakan. Sombong!"

Kalimat ini untuk menutupi rasa jengah yang terus mengikutinya.

Arya Dahana berdiri. Mendadak rasa lapar melingkupi dirinya. Dilihatnya Dewi Mulia Ratri duduk terkantuk-kantuk. Tapi sebuah suara menyadarkan gadis itu yang terang saja langsung tersipu malu. Suara dari dalam perutnya begitu nyaring memecah kebisuan.

Arya Dahana menggerakkan tubuhnya sambil tersenyum ditahan. Mereka perlu makanan sekarang. Lelah karena pertempuran panjang mengingatkan mereka untuk segera mengisi perut dan beristirahat.

Tak berapa lama kemudian. Arya Dahana sudah kembali dengan membawa seekor ikan besar. Dewi Mulia Ratri melihat ini. Tidak tertarik. Ikan jenis apapun tidak akan menarik perhatiannya untuk makan. Arya Dahana mendengus pendek. Lihat saja nanti.

Arya Dahana menyibukkan diri membersihkan ikan dengan hati-hati. Jenis ikan yang ini sangat enak dagingnya. Namun akan menjadi sebaliknya jika tidak seksama dalam membersihkannya. Pemuda ini mengeluarkan bumbu dari kantong perbekalannya. Beberapa saat kemudian bau harum ikan bakar memeluk udara malam.

Dewi Mulia Ratri terjaga dari samadinya. Jujur saja, bau harum ikan bakar ini mengganggu sekali. Membuat perutnya yang keroncongan semakin menuntut untuk diisi. Tapi tentu saja gadis ini menahan hati untuk tidak melirik ikan bakar yang mengepulkan kelezatan ini. Dia akan menunggu ditawari. Tapi kalau tidak bagaimana? Dia lapar sekali.

Arya Dahana sengaja berlama-lama membakar ikan yang baunya benar-benar membangkitkan selera itu. Dia sendiri sudah sangat lapar. Tapi tingkat kematangan ikan itu harus tepat. Dia membubuhkan banyak bumbu. Harus benar-benar meresap hingga ke dalam.

Situasi benar-benar mencekam sekarang. Mencekam dalam arti saling menahan hati. Arya Dahana tahu bahwa Dewi Mulia Ratri sedang kelaparan hebat, tapi pemuda ini merasa takut si gadis akan menolaknya dengan cara yang menyakitkan.

Dewi Mulia Ratri sendiri seperti sedang berada di ujung tanduk yang sangat tajam. Berusaha keras menahan diri sampai akhirnya nanti ditawari walaupun seluruh tubuhnya sekarang gemetar karena menahan lapar.

Kedua muda-mudi ini sama-sama duduk melamun. Entah apa yang dipikirkan keduanya. Tapi semuanya mendadak menjadi semakin aneh. Sama-sama lapar. Ada ikan dengan kelezatan menawan di depan mata. Tapi tak satupun yang mau bergerak meraihnya.

Ketika semuanya akan berujung pada keanehan tiada tara. Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan besar menubruk ikan besar yang sudah terpanggang matang itu. Tanpa permisi dan basa-basi, Sima Lodra menjilat dan mengunyah ikan besar itu dengan semena-mena. Terlihat sekali harimau raksasa itu sangat kelaparan. Dalam sekejap mata, ikan sebesar paha kerbau itu tandas seketika.

Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri seperti sedang disihir menjadi patung. Keduanya terpaku menatap Sima Lodra yang sedang mengunyah daging dan tulang terakhir ikan besar yang lezat itu. Lalu mengaum lirih dan berbaring dengan tenangnya sambil menjilat-jilat kaki depannya. Sama sekali tidak peduli betapa kedua tuannya menelan ludah saking menyesal tidak terkira melepaskan ikan lezat itu untuk santapan berdua.

Suasana yang semakin aneh itu dipecahkan dengan suara ketawa lirih seorang gadis yang muncul dari balik semak-semak.

"Makanya jangan suka menahan hati dan diri dalam kesombongan yang tidak perlu kakak-kakak yang baik. Sima Lodra telah menghukum kesombongan kalian....hihihi"

Ayu Wulan terkekeh lagi.

"Nah, sekarang kalian tahu akibat dari sombong bukan? Lapar. Benar-benar kelaparan. Ini aku bawakan kalian bekalku tadi sore yang tidak habis aku makan. Lengkap lho. Nasi dan lauk pauknya yang sedap. Mudah-mudahan ini bisa mengganti kekecewaan kalian atas perilaku Sima Lodra yang tidak sopan...hihihi"

Ayu Wulan membuka perbekalannya lalu dihidangkannya di atas sehelai daun pisang panjang.

Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri saling berpandangan lalu keduanya segera saja duduk berhadapan di depan hidangan makanan itu. Kesombongan tadi benar-benar telah menghukum mereka. Keduanya saling bertukar kedipan mata. Sadar.

Dewi Mulia Ratri mencubit kecil pipi Ayu Wulan yang mengaduh sambil tertawa. Lalu dengan wajah cerah mulai menyuapkan makanan di mulutnya.

Arya Dahana menggeram sebal kepada Sima Lodra yang balas menggeram mengejek sambil tetap berbaring dengan enaknya. Kekenyangan. Tadi dia sudah berburu dan makan besar saat Ayu Wulan memasak makanan sore. Tapi ikan bakar tadi memang menggiurkan sekali. Sudah lama dia tidak makan ikan racikan Arya Dahana.

Arya Dahana duduk lalu makan dengan lahapnya. Disaksikan Ayu Wulan yang kembali terkikik geli melihat kedua orang itu makan secepat lomba lari.

Keadaan yang tadinya aneh bukan main, kini berbalik menjadi penuh kehangatan lagi. tidak perlu waktu lama bagi kedua orang yang sangat kelaparan ini untuk menuntaskan semua hidangan yang disediakan Ayu Wulan.

Terdengar suara gemuruh pohon yang sedang diguncang. Secara bersamaan tiga muda mudi ini menoleh. Melihat Sima Lodra dengan tenaganya yang besar sedang mengguncang-guncang pohon kelapa yang sangat tinggi. Buah-buah kelapa pun berjatuhan ke tanah. Sima Lodra mengendus-endus buah buah kelapa itu. memilih beberapa sesuai nalurinya. Mendorong beberapa buah yang sudah dipilihnya itu ke arah Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri. Menggunakan kuku jarinya yang luar biasa tajam mengetuk buah kelapa. Dan tersedialah buah-buah segar itu tersaji di depan mereka semua.

Arya Dahana tergelak sambil mengelus kepala Sima Lodra. Dewi Mulia Ratri ikutan mengelus leher si harimau raksasa. Berterima kasih atas hidangan air kelapa yang segar bukan main meski ini malam hari dan hanya diterangi cahaya bulan.

Ayu Wulan tersenyum bahagia. Sangat senang bisa berjumpa dengan dua sahabatnya ini mengingat betapa jauhnya perjalanan yang harus ditempuh bersama Sima Lodra. Neneknya, Nyai Genduk Roban memintanya pergi mencari Arya Dahana atau Dewi Mulia Ratri sekaligus mengajak Sima Lodra pergi. Harimau itu terlihat dilanda kebosanan karena berbulan-bulan hanya makan tidur di Alas Roban. Lagipula Ayu Wulan perlu dikenalkan ke dunia yang lebih luas dengan mengembara. Sudah saatnya. Apalagi Sima Lodra pasti bisa menjaganya dengan baik.

Nyai Genduk Roban sendiri akan memenuhi janji untuk pergi ke Istana Timur menghadiri pertemuan yang telah dijanjikannya kepada Putri Anjani. Sebelum dia mati, dia harus menyaksikan orang-orang Majapahit berdarah-darah di depan matanya. Dendam itu tak pernah luntur sama sekali dari hatinya.

Begitulah hingga akhirnya Ayu Wulan bisa menyusul mereka di dalam hutan Bantar Muncang ini. Sima Lodra lah yang menjadi penunjuk jalan. Harimau perkasa ini tentu saja bisa menggunakan indera perasanya yang luar biasa untuk menemukan orang-orang terdekatnya.

Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri mengangguk-angguk senang di akhir cerita Ayu Wulan. Keduanya sepakat untuk membawa Ayu Wulan dan Sima Lodra kembali ke ibukota Galuh Pakuan. Bersama-sama dengan Bimala Calya dan Ardi Brata juga tentunya.

Arya Dahana menyampaikan bahwa dirinya hanya akan mengantar mereka semua hingga aman sampai ke ibukota Galuh Pakuan. Dia akan menunaikan janjinya kepada Putri Anjani untuk datang dalam pertemuan persekutuan di Istana Timur. Mengembalikan Gendewa Bernyawa dan setelah itu pergi selamanya dari cengkeraman janji menyakitkan kepada Putri Anjani yang membuatnya seolah menjadi seorang pesakitan.

Dewi Mulia Ratri mendengarkan perkataan Arya Dahana dengan raut muka yang susah ditebak. Dalam hati gadis ini ingin menyumpahi Putri Anjani yang kembali hendak memisahkan kebersamaannya dengan Arya Dahana. Gadis tak tahu diri! Awas nanti kalau ketemu. Aku tidak akan lagi memberinya hati, geram Dewi Mulia Ratri.

Keesokan harinya, rombongan ini segera mencari Bimala Calya dan Ardi Brata. Menemukan keduanya sedang tekun bersamadi memulihkan luka-luka. Rombongan yang membesar ini lalu pergi ke ibukota Galuh Pakuan untuk menceritakan semua yang terjadi tentang kejatuhan Benteng Bantar Muncang.

*