Chereads / Kisah Kasih Di SMA / Chapter 21 - paris,back

Chapter 21 - paris,back

Malam ini adalah malam terakhir gue dan Yesi di kota Paris, karena besok kami harus kembali lagi ke kota tercinta, Jakarta. Dan di tengah jadwal syuting yang padat, Jelita mengajak gue dan Yesi  makan malam di restoran yang berada di atap hotel.

Gue selalu terpesona sama penampilan Jelita. Mau pake apa pun, semua yang ada di tubuhnya sangat pas dan tidak mengurangi kadar kecantikannya. Dewi sejuta pesona adalah sebutan oleh orang Indonesia untuk Jelita Sofia.

"Aku ini sebenarnya sepupunya Yesi."Jelita memulai obrolannya dengan kami.

Yesi duduk tenang di samping gue, beberapa kali gue dengar dia menghela napas berat.

"Iya, saya sudah dengar dari Yesi."

"Oh ya? Apa Yesi juga pernah bercerita kalau saya pernah tinggal di Indonesia juga?" Tatapan Jelita sepenuhnya teralihkan pada gue, terlihat di wajahnya ada binar bahagia saat menceritakan dia adalah sepupu Yesi.

Selesai kami bercengkrama akhirnya kami mengakhiri makan malam yang sangat berkesan di Paris. Lalu kami bangkit dan keluar dari restoran bersiap-siap untuk pulang ke Indonesia.

Jam 16.35 WIB, gue dan Yesi sudah tiba di bandara Soekarno Hatta Internasional Airport . Selanjutnya, kami naik taksi untuk pulang dari bandara ke rumah.

Seminggu di tinggal ke Paris membuat gue kangen rumah,Mama,Papa dan Oci. Saat tiba gue langsung menghempaskan tubuh di sofa, sedangkan Yesi masih sibuk menggeret koper di luar.

Benar kata orang, sejauh apapun kita pergi, kita akan merindukan rumah. Yesi menjejalkan tubuhnya di samping gue dan mengeluarkan hapenya. "Yesi mau video call sama Mama dulu, kasih tahu kalau kita sudah sampai."

Yesi terlihat sibuk dengan hapenya. Tidak berapa lama, Mama Siska dan Papa Roman muncul di layar.

"Hai, udah pada pulang kalian holiday nya?" Seru Mama Siska terlihat happy dan semakin cantik.

Gue memeluk badan Yesi sambil melambai-lambaikan tangan kaya anak kecil. "Apa kabar, Ma, Pa? Yesi masih jet lag maaf kalau bicaranya ngaur?" Sambil terpejam-pejam Yesi berbicara.

Gue terkekeh dan mengacak rambut Yesi dengan gemas.

Entah apa yang mereka bicarakan, gue nggak denger lagi. Yang gue tau, gue memejamkan mata di pangkuan Yesi, aroma tubuhnya bikin kepala gue berhenti nyut-nyutan, tanpa sadar gue terlelap.

Mata gue terbuka sepenuhnya saat merasa tubuh gue di guncang. Tatapan Yesi pertama kali menyambut gue.

Maaf, Yesi buat Yesa terbangun. Yesa nggak mau pindah tidur di kamar?"

Masih dalam keadaan setengah tidur, gue tersenyum lalu mengangguk."karena Yesi bangunin gue terpaksa gue pindah ke kamar tidur.

Malam harinya gue mengantar Yesi pulang, maklum Mama Siska dan Papa Roman sudah kangen ama anak perempuan semata wayangnya. Setelah Yesi gue antar sampai depan pintu ruang tamunya gue langsung pamit pulang karena gue ngerasain seluruh badan gue terasa penat.

Waktu liburan masih ada satu hari lagi. Pagi ini gue dan Yesi enak-enak bersantai di rumah. Niatnya, sih, gitu. Tapi bunyi bel rumah yang menggagalkan kegiatan kami.

Gue bangkit dan otomatis Yesi juga ikut bangkit. Masih dalam keadaan malas-malasan gue berjalan menuruni anak tangga di ikuti Yesi. Rencananya gue pengen memaki si tamu.

Saat pintu terbuka, gue di kagetkan lima anak kampret,Uli, Ryan, Ivan, Dea dan Ina. Gue dan Yesi saling berpandangan bingung.

"Hei, Romeo and Juliet ! Nanti saja tatap-tatapannya, ini kami tidak di persilahkan masuk?" Dengan tidak tahu dirinya Ryan bersuara.

Sedangkan Dea cengar-cengir nggak jelas."

Gue yang sedari tadi menggandeng tangan Yesi kini menyamping untuk mempersilahkan mereka masuk. Masih dalam mode bingung, gue menatap mereka berlima yang berbondong-bondong masuk lalu duduk di sofa layaknya rumah sendiri.

Lalu tatapan gue terarah kembali ke Yesi seolah-olah bertanya.

Gue duduk di sofa. Di samping gue ada Yesi dengan gaya angkuh melipat kedua tangannya di depan dada sambil menatap mereka dengan tatapan mengintimidasi.

Selama beberapa menit hening. Setelah menghela napas, gue yang pertama kali membuka suara. "Dari mana kalian semua tahu kalau gue dan Yesi sudah pulang tumben pada main ke rumah gue?"

Uli dengan cengiran khasnya memandangi gue dan Yesi bergantian." Tante Yolanda yang ngasih tau kalau kalian sudah pulang holiday dari Paris." Dilanjutkan anggukan Ryan, Ivan, Dea dan Ina.

"Lantas apa yang membuat kalian bertamu sepagi ini?" Kali ini Yesi yang bertanya, masih dengan gaya angkuhnya.

"Anu...kami semua mau minta oleh-oleh dari Paris. Dan lagi, ini sudah siang, jam 11 malah!" Dengan wajah tanpa dosanya Ivan berkata sambil menodong-nodongkan smartwatch di pergelangan kirinya. Kelakuannya itu membuat Uli, Ryan, Dea dan Ina geleng-geleng kepala.

Ina yang duduk di samping Dea pun mendekat dan berbisik. Ampun, Ivan. Lo malu-maluin banget, sumpah!" Bukan berbisik sih ini namanya, karena kami dengar semua.

Dea protes. " Loh! Ini kan tujuan kita semua ke rumahnya Yesa?" Dea bertanya sambil menatap wajah temannya satu-satu.

Uli udah ngode-ngode Dea supaya berhenti ngomong. Mereka berlima sibuk. Gue hanya bisa mengelus dada, gini amat punya temen. Nggak ada  yang waras.

"Kalian ngobrol. Saya mau ke atas!"suara  Yesi membuat diskusi mereka terhenti,  tatapan Uli, Ryan, Ivan, Ina dan Dea kembali ke arah gue dan Yesi. Dengan cepat Ina dan Dea mengangguk.Iya, Yesi. Silahkan! Seharusnya sedari tadi."

Yesi mendengus, sebelum bangkit dia pamit ke gue. "Yesi keatas dulu. Kamu ngobrol saja."

Gue mangangguk. Pandangan gue mengikuti gerak-gerik Yesi. Sampe dia menaiki tangga menuju lantai dua pun tatapan gue masih setia mengikuti punggungnya. Setelah sepenuhnya menghilang, barulah gue kembali menatap lima teman seperjuangan gue.

"Selama 16 tahun gue jomblo baru kali ini gue menyedihkan." Ryan memulai dramanya.  Gue hanya memutar bola mata malas.

Ivan ikut-ikutan drama, dia mengusap punggung Uli sambil terkekeh."Sabar,Uli Ina juga jomblo."

"Najis!" Ina bergidik

Eh, Uli! biarpun lo satu-satu cowok yang ada di muka bumi, gue juga nggak bakalan nafsu. Kami tergelak mendengar jawaban Ina, sedang Ina mencibir dengan wajah kecutnya. Kayaknya dia berkali-kali lipat jengkel sama Ivan.

Gue mengusap sudut mata yang berair.

"Udah-udah! "Lo pada mau minum apa?"

"Apa aja deh, Yesa. Yang penting jangan air putih. Itu mah, di rumah gue juga ada." Kalau soal makanan, Ryan emang yang paling cepat.

"Itu bukan terserah, beruang." Greget banget gue sama lima tamu songgong ini. Baru beberapa langkah, gue berbalik lagi. "Dea! bantuin gue bikin minum di dapur !"

Dea protes. "Gue ini tamu, loh! Dimana-mana tamu adalah raja yang harus di layani!" Tapi tuh anak bangkit juga. Gue tersenyum, kadang Dea itu, omongan ama tindakannya nggak sinkron.

Dea sibuk menuangkan juice jeruk ke dalam gelas, sedangkan gue sibuk menata macaron dan beberapa makanan yang sempat gue dan Yesi beli di Paris.

Setelah itu kami kembali ke ruang tamu. Rupanya Yesi sudah bergabung sama mereka. Bahkan Uli,Ryan dan Ivan nggak nganggap dia kakak kelas.  Seolah-olah Yesi itu temannya, dengan santai mereka mengobrol dengan Yesi, gue hanya bisa menggelengkan kepala.

Sambil berkata,"Yesi. Kalau diluar sekolah, Yesi kami panggil Bro!" Setelah meletakkan minuman dan bermacam-macam cemilan serta kue di atas meja, gue dan Dea ikut nimbrung duduk lesehan di lantai.

Gue menoel noel tangan Yesi, "jangan mau, Yesi. Mereka bertiga di depan sok baik, tapi kalau di belakang mereka nyinyir."

"Yesa, jangan soudzon gitu. Gini-gini gue teman lo juga." Uli berkilah, gue pengen ngakak.

Cukup lama kami ngobrol. Yesi sesekali ikut menimpali, tadi dia kebanyakan diam aja mendengar ocehan kami berenam. Mungkin Yesi sadar bila berteman harus melihat usia dulu, dan omongan yang keluar dari mulut kita pun tidak nyambung karena perbedaan usia.

Kalaupun dia ikut menimpali, Yesi tidak bisa mengimbangi mulut ampas semua adik kelasnya.

Waktu menjelang sore barulah mereka pulang,  dengan masing-masing membawa satu bingkisan yang gue dan Yesi isi dengan satu kotak macaron, satu kotak coklat Perancis,dan satu kotak carambars. Dan tidak ketinggalan mereka semua gue kasih miniatur menara eiffel, Ina dan Dea dapat tambahan oleh-oleh topi baret warna hitam yang Yesi beli sama persis dengan kepunyaannya.

Ivan protes karena gue cuma ngasih miniatur menara eiffel. Sebelum gue memiting kepalanya, Uli terlebih dahulu memiting kepalanya. Si Ivan tidak terima, dia balas memiting Uli balik. Yesi geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka. Setelah puas bercanda akhirnya mereka benar-benar pulang.