Setelah mendengar penjelasan Yesi tentang Jelita, mood gue berangsur-angsur membaik.
Yang gue denger, Jelita sepupu Yesi. Gue tau hanya sebatas itu, sih, canggung rasanya bertanya lebih jauh tentang persaudaraan mereka berdua, dan lagi Yesi menjelaskannya lebih ikhlas.
Pagi ini, saat gue ngebuka mata. Yang pertama kali gue liat, ruangan kamar hotel tempat Yesi tidur sudah kosong melompong. Lagi-lagi gue nemuin note dari Yesi, dia ngasih tau kalau dia ke tempat gym.
Satu piring roti panggang dan susu coklat terletak di atas meja makan. Mungkin Yesi memanggil room service hotel untuk mengantarkan sarapan ke kamar gue.
Hal yang ingin gue lakuin setelah bangun tidur adalah mandi. Selesai membersihkan badan, gue duduk di kursi dekat jendela untuk sarapan pagi sambil menikmati pemandangan menara Eiffel.
Udara pagi ini lebih dingin, tapi cuaca itu nggak membuat gue surut untuk memandangi menara Eiffel.
Diam-diam, sebelum pergi ke Paris, gue udah nyediain daftar-daftar tempat di Paris yang akan gue kunjungi bersama Yesi. Setelah roti panggang dan susu coklat habis, gue kembali memeriksa ke dalam kamar Yesi buat memastikan apa Yesi sudah pulang dari ngegym.
Yesi sudah duduk di depan meja riasnya, untuk beberapa saat dia terpaku sambil mengamati gerak-gerik gue dari balik cermin.
Mata gue berkedip dua kali, sedetik kemudian gue nyengir malu-malu kemudian gue membalikkan badan dan melangkah cepat menuju kamar gue.
Kami menyewa private tour guide yang bernama France untuk menemani ke tempat yang ingin gue dan Yesi datangi.
Kami membuat janji untuk bertemu di dekat menara Eiffel. Bermodalkan GPS, kami melalui Avenue Octave Greard berjalan kaki selama 6 menit. Sebelumnya, France lebih dulu mengirim foto agar dengan mudah kami menemukan dia.
Benar saja, gue dan Yesi langsung mengenali France bersandar di mobilnya. Dari penampilannya, dapat gue taksir usia France 23 tahun. Kami langsung mendekat.
"Good afternoon, are you, France?" Tanya gue.
France lantas mendongak dan menyunggingkan senyum. "Yes, I'm, France." You must be a couple lovers, Yesa and Yesi ?" Dia mengulurkan tangan titik. "Nice to meet you."
Gue dan Yesi menyambutnya. "Yes, nice to meet you too." France langsung mempersiapkan masuk ke dalam mobilnya. Sebelum melaju, dia bertanya daftar tempat yang ingin kami kunjungi, dengan antusias gue menyebutkannya.
Sepuluh menit perjalanan diisi France dengan menjelaskan tempat-tempat yang kami lalui dan juga sejarahnya. Tiba di jembatan Pont des Arts, dengan semangat gue menyeret Yesi ke tempat penjual gembok. Kami menulis inisial nama satu sama lain lalu menguncinya di pagar jembatan.
Setelah gembok terpasang sempurna, France menjelaskan selanjutnya adalah melempar kunci ke sungai. Gue udah ambil ancang-ancang buat melempar kunci seperti yang sudah di jelaskan France. Tiba-tiba tangan gue di tahan Yesi.
"Kenapa, Yesi ?" Gue menatap wajah Yesi bingung.
Yesi menggeleng. "Jangan buang. Biar Yesi yang simpan."
"Loh. kata, France. Kuncinya 'kan harus di buang bukan di simpan?"
Yesi memasukkan kunci gembok ke dalam tas yang dia bawa. "Jangan ikut-ikutan. Ini cerita kita, Yesa."
"Ayo ketempat berikutnya"
Selanjutnya, France membawa kami menuju Le Jardin de Serres di Auteuil. Taman raya dengan panorama super indah ini memiliki sejumlah rumah kaca dan palmarium, rumah sawit besar. Gue mengajak Yesi berfoto-foto dekat tanaman bunga anggrek dan France sebagai fotografernya.
Perjalanan dua puluh menit kami terbayar dengan pemandangan yang indah. France menjelaskan tanaman apa saja yang ada di sini.
Dengan penuh antusias gue mendengarkan,gue takjub karena pengetahuan France yang banyak seputar Paris. Karena hal itu Yesi jadi ogah-ogahan, beberapa kali dia melirik gue.
"Can we just eat something ? I'm very hungry," tanya Yesi malas.
"Of Course ," jawab France sambil tersenyum.
Kini kami berada di dalam mobil. France sesekali melirik lewat kaca kearah gue dan Yesi."I recommended unique restaurant for you, Dans le Noir. Restaurant with sensory games, where customer are invited not to use vision and to use only the senses of hearing, touching, taste, and smell."
"Is it true? Didn't fall when entering? Gue bertanya dengan semangat, mendengar itu Yesi berdecak."Sounds silly."
Gue hanya melirik ke arahnya.
"Not! That is the reality, please value yourself."
France menghentikan mobilnya. Gue mengalihkan pandangan kesamping dan menemukan papan nama Dans le Noir dan langsung tersenyum. Dengan cepat gue menarik pergelangan tangan Yesi agar keluar dari mobil.
Saat akan memasuki restoran, langkah gue terhenti, otomatis Yesi juga ikut berhenti dan menatap gue dengan bingung.
"France, find another table, i just want to eat together with my girlfriend."
France langsung terkekeh." Ofcourse." France masuk lebih dulu dari kami.
Barulah kami melanjutkan langkah, Yesi ikut terkekeh di samping gue. Kaitan tangan gue semakin erat di tangan Yesi.
"Yesa pasti suka 'kan yang gelap-gelapan gini?" Ucap Yesi.
"Tergantung," jawab gue. Gelap-gelapannya seperti apa dulu?"
Kami duduk di salah satu meja. Salah satu pelayan mendekat lalu menanyakan pesanan kami dalam bahasa Perancis. Sumpah, gue nggak ngerti. Baik Yesi, maupun pelayan itu bicara, gue sama sekali nggak ngerti.
Mungkin karena sudah profesional, para pelayan itu menjauh dari meja kami dengan mulus tanpa meraba-raba seperti gue dan Yesi pertama kali masuk ke restoran gelap ini.
Tiba-tiba wajah Yesi bercahaya, rupanya Yesi tengah sibuk memainkan hape. Entah apa yang dia kerjakan. Gue mengetukkan jari di atas meja, selama beberapa menit, tidak ada percakapan. Yesi masih sibuk dengan hapenya.
Dua pelayan mendekat ke meja kami dan meletakkan menu yang tadi di pesan kami. Salah satu pelayan wanita mengatakan. Bon Appetit!" Yang gue tau itu ucapan selamat makan.
Yesi masih sibuk dengan hapenya. Dengan terpaksa gue yang menjawab."Merci." Gue melontarkan senyum kearah dua pelayan, bodo amat kalo dia bisa ngeliat atau nggaknya. Setelah itu, kedua pelayan itu pergi.
"Sayang, makan!"
"Sebentar, Yesa." Yesi ngejawab tanpa mengalihkan pandangannya layar hape.
Gue mengangkat bahu, lalu menyendok makanan. Lidah gue asing banget sama makanan yang gue nggak tau apa, tapi rasanya enak.
Beberapa saat, barulah Yesi ngeletakkin hapenya dan ikut menikmati makanan yang terhidang.
Tak terasa, hari sudah mulai sore. Bahkan warna jingga sudah terlihat di langit kota Paris. Gue dan Yesi memutuskan kembali ke hotel. Di perjalanan, gue hanya berbicara dengan France, sedangkan Yesi masih sibuk dengan hapenya.
Satu pertanyaan besar muncul di kepala gue, ADA APA DI HAPE YESI? Kenapa tiba-tiba dia jadi suka ngeliatin hapenya.