Setelah kami berdiskusi di kelas. Akhirnya kami memutuskan rencana malam ini, kami satu kelas mau membuat pesta berbeque di rumah Uli. Barulah gue memisahkan diri dari rombongan dan diam-diam menuju kelas XII IPA-1. Pengen ketemu Yesi.
Gue berjalan mengendap-endap. Sebelum membuka pintu kelas XII IPA-1, gue melihat sekeliling. Kali aja ada murid lain yang memergoki gue. Nanti mereka bingung lagi karena gue ngunjungin kelas Yesi.
Setelah gue rasa aman, perlahan gue membuka kenop pintu. Baru setengah badan masuk, kaos yang gue pakai di tarik seseorang dari belakang.
"Eh,eh,ada apa, ini ?" Badan gue terseret keluar lagi.
"Ngapain lo masuk ke sini?"
Kaos gue sudah dilepas, perlahan gue memutar badan. "Eh, Dea." Gue nyengir, terciduk sama Dea.
"Ngapain lo, Yesa?" Tanya Dea.
"Itu..." Lama gue berpikir. "Ada perlu sama Yesi."
Dea mengangguk." Seharusnya lo nggak ke kelas ini, tapi ke kantin."
"Emang ada apa di kantin?" Gue bingung.
"Pak Harry di kantin ngobrol sama Yesi."
Mata gue melotot sepenuhnya dengar nama Pak Harry, dengan cepat gue berbalik. Saat ini keinginan kuat gue adalah ke kantin. Tapi, lagi-lagi tangan gue ada yang narik, siapa lagi kalo bukan Dea.
"Mau kemana ?"
"Mau ke kantin, Lah !" Tanpa sadar, gue ngomong sinis. Mungkin efek Yesi sedahsyat ini.
"Bareng sama gue aja. Tapi, kita harus ke ruang OSIS dulu, ada yang pengen gue ambil."
"Dea, gue ngga-" ucapan gue kepotong begitu saja.
Dea sudah menyeret gue menuju ruang OSIS yang berlawanan dari arah kantin. Ih, Dea bener-bener udah bikin gue kesel, nanti keburu Pak Harry sama Yesi pergi, gimana?
Gue menggigit jari, pasalnya gue jadi greget banget sama Dea. Gue kira sebentar aja, tapi sampai ke menit 20 masih nggak ada tanda-tanda dia keluar dari ruangan OSIS.
"Masih lama, Dea?" Mending gue duluan aja."
"Sebentar, barangnya belum ketemu." Dea berjongkok di depan meja, kayanya dia lagi menggeledah isi laci, entah nyariin apa, gue nggak tahu?
"Cepetan, dong !"
Dea mendongak, "Lo ngapain, sih, buru-buru ke kantin." Kemudian menunduk lagi.
"G- gue laper. Iya laper !" Mata gue mengerjap cepat.
"Sudah ketemu." Dea?
Dia Menggoyang-goyangkan dompet. Ah, rupanya nyariin dompet toh.
"Dari tadi, dong!"
Dia terkekeh. Kali ini gue yang menyeret Dea. Kami berjalan menuju kantin.
Di sepanjang koridor menuju kantin banyak siswa berseliweran. Sekarang, Yesi jauh lebih penting. Titik !
"Pelan-pelan, dong, Yesa. Gue tahu lo laper, tapi nggak nyeret-nyeret kayak banteng gini juga!" Dea protes tapi dia nggak mencoba ngelepasin tangannya.
Kami berdua memasuki kantin, tatapan gue langsung tertuju pada bangku pojok. Dua orang manusia berbeda jenis kelamin sedang makan berduaan dengan santainya. Si gadis tengah tersenyum, si pria dengan wajah datarnya.
Gue berteriak, "BAGUS!!!"
Tiba-tiba semua penghuni kantin menatap ke gue,Dea,Pak Harry dan Yesi juga.
Gue menatap balik Yesi. Tapi, yang herannya, tatapan Yesi bukan ke wajah gue.
Gue ikutin pandangannya, setelah sadar, dengan cepat gue ngelepasin tangan Dea yang sedari tadi gue pegang.
Dea mendekat, dia berbisik pelan. Lo ngapain teriak-teriak ?"
Pertanyaan Dea nggak gue jawab. Yesi kini melotot gue tajam, kedua tangannya terlipat angkuh di depan dada. Gue meneguk ludah gugup. Waduh, rencananya gue kepengen marahin Yesi, tapi kenapa nyali gue yang menciut duluan.
Gue mendengkus berkali-kali sambil menatap jam di pergelangan kiri. Notif chat sedari tadi nggak berhenti-hentinya berbunyi sampai gue bosan mendengarnya. Rencananya sore ini kami mengadakan pesta kecil-kecilan di rumah Uli.
Gue menuju rumah Yesi untuk menjemputnya. Tapi, sampai waktu Maghrib tiba, Yesi nggak mau gue ajak ikut.
Padahal gue sudah dandan rapi, semprot parfum sana-sini, kurang apalagi?
"Sayang ikut yuuk ke rumah Uli! Teman-teman sudah pada ngumpul."
Tidak di dengerin.
"Yesi?"
Tidak di jawab
"Sayang?!" Dari panggilan yang lembut, sampai teriak-teriak masih tetap nggak di gubris Yesi. Nih bayi maunya apa, sih ? Gue gemes banget, gemes pengen gendong bawa dia ke dalam mobil!
"Pacarnya sendiri manggil bukannya nyahut, malah pura-pura tuli!" Gue bertolak pinggang dan melotot ke arah Yesi.
Dia bangkit, kali ini dia duduk bersandar di sofa, HP di letakkannya di atas meja. Yesi melipat ke dua tangannya ke dada sambil menatap gue.
"Apa?", tanya Yesi sengit.
Dia mendengkus."pasti kamu mau ke rumah Uli mau ketemu Dea?"
Lah. Apa hubungannya coba Uli sama Dea?
Nih Yesi kayaknya kebanyakan ngirup angin. Buktinya dia nggak nyambung, gue ngomong apa? Dia jawab apa. Untung pacar gue! Untung Gue sayang banget sama dia!
Gue menarik napas. "Uli, ya, Uli.
Dea, ya, Dea. Mereka nggak ada hubungannya! Yesi aja yang nggak nyambung!"
"Kamu yang tidak nyambung, Yesa. Dea itu adalah sepupunya Uli, dan dia tinggal satu rumah sama Uli.
Perlahan gue mencerna perkataan Yesi. Gue paham kata-kata dia, tapi disini yang bikin gue nggak paham itu, kok dia tahu banget seluk beluk Uli sama Dea?
"Darimana Yesi tahu?" Tanya gue heran. Siapa yang nggak heran coba?
"Yesa. Yesi ini lebih dulu kenal Dea. Jadi apapun yang berkaitan dengan teman sekelas Yesi lebih mudah mendapatkannya, apalagi cuma masalah kecil seperti itu!" Terdengar nada bangga ucapannya.
"Jadi intinya ngapain, Yesi nyelidikin Uli?" Kini gue ikut duduk di samping Yesi. Capek gue berdiri lama-lama dan berdebat dengan Yesi yang nggak ada habisnya.
"Bukan hanya Uli, tapi semua teman yang dekat sama kamu."
"Loh. Ngapain?" Maksudnya? Gue bingung ini.
Yesi menghembuskan napasnya. "Dia itu teman baik kamu!"
"Ya,wajar. Uli itu kan teman sekelas gue. Jadi harus dekat, dong!
Terserah kamu. Sudah, Yesi, capek. Ingin tidur!
"Yesi bangkit, dia ninggalin gue gitu aja. Gue berteriak, "Loh, Yesi. Kapan kita berangkat ke tempat Uli?"
Nihil, dia nggak ngejawab gue. Yang gue denger hanyalah debuman pintu kamar yang di tutup dengan kencang.
Gue cuma bisa mendengkus, kemudian mengambil HP yang sedari tadi tersimpan di dalam kantong jeans gue.
Di sana hampir banyak notif chat dari group kelas gue, ada beberapa chat dari Ryan dan Uli.
Yang pertama gue buka chat dari group kelas. Disana ada beberapa foto mereka saat pesta berbeque. Setelah gue lihat-lihat, ternyata bukan cuma gue yang nggak ikut, tapi Ivan juga. Gue membuka chat dari Uli.
Dea : lo nggak ikutan party di rumah gue ?
Dea : Ralat, rumah Uli. Intinya, gue tinggal bareng sama keluarga dia.
Me : nggak diizinin nyokap.
Kebohongan dari sekian banyaknya kebohongan gue sama teman. Tapi, mau gimana lagi? Jujur pun buat apa? Kalo gue jujur, kesannya kaya kepengen banget ngungkapin kesemua orang kalau gue itu pacaran sama Yesi. Jadi, jangan salahin gue. Gue bohong buat ngelindungin diri gue sendiri,kok. Nggak ada niat lain!
Selanjutnya gue ngebuka chat dari Ryan. Isinya nggak jauh beda sama Uli, dia nanyain kenapa gue nggak ikut, terus Ryan juga ngasih tahu kalau dia kaget kalo ngeliat Uli sama Dea itu sepupuan. Chat dari Ryan nggak gue balas.
Dengan berat hati gue bangkit, melangkah pulang. Gue tuh sebel banget sama Yesi, dia tuh nggak ngerti gue. Gue itu jarang banget ngumpul sama teman satu kelas, sekali pengen ngumpul malah Yesi nggak mau nemenin.
Gue pamit sama Yesi dan pulang membawa setumpuk rasa kecewa.
Gue coba memejamkan mata sambil tersenyum memikirkan hal bodoh tadi yang membuat kami saling cemburu gara-gara hal yang sama. Dan, gue nggak nyangka kedekatan gue sama Dea membuat Yesi cemburu. Kalau gitu, gue sering-sering aja deket-deket sama Dea. Karena gue suka ngeliat Yesi cemburu.