Chereads / Kisah Kasih Di SMA / Chapter 17 - class meeting

Chapter 17 - class meeting

Rupanya cobaan gue nggak berhenti sampai disini, kursi gue di tendang-tendang pelan Yani, dia yang berada tepat di depan gue. Untuk kali ini gue nggak mau ngeladenin. Gue bener-bener menulikan telinga gue, mengabaikan Yani.

Tapi apesnya, si Yani nggak berhenti nendang-nendang kursi gue. Dengan kesal gue mangangkat jari tengah dan memberinya untuk Yani. "Pelit, lo!" Yani menyumpah, tapi dia berbicara lagi. "Yesa, nomor sebelas doang, kok. Nggak lebih !"

Nih anak ngotot banget. Kalo nggak dikasih, pasti dia ngangguin gue terus. Arghhh... dengan berat hati gue menatap lembar jawaban, ngeliat nomor sebelas lalu memberi tahu Yani jawabannya sambil berbisik pelan.

Dia nyengir. "Gitu, dong !" Makasih, Yesa ganteng"

Gue mendengkus sambil ngangkat jari jempol setengah hati. Dasar, muji kalo ada maunya aja.

"Waktunya sepuluh menit lagi !, interupsi Bu Yuli.

Gue menimbang-nimbang, antar mau ngumpulin sekarang atau nanti. Tapi, kalo di pikir-pikir sekarang atau nanti sama saja. Bergerak gue bangkit. Gue nggak yakin sih soal yang gue jawab benar semua, tapi itu hasil dari hitungan yang gue dapat.

"Uwoooohhhh!" Semua teman-teman gue berseru, karena gue orang pertama yang ngumpulin dan selesai mengerjakan soal-soal matematika pasti mendapat sorakan. Karena, menurut kami, orang pertama yang duluan ngumpulin kertas ulangannya pasti pintar, dan gue merasa pintar karena jadi orang pertama.

Suasana kantin ramai. Tapi, nggak seramai biasanya. Karena, sebagian siswanya yang pintar memilih untuk berdiam diri di kelas atau perpustakaan untuk belajar.

Memilih kantin sebagai tempat belajar itu salah banget. Belajar nggak, ngocehnya iya. Seperti kami berempat. Gue, Uli, Ryan dan Ivan. Padahal dari kami masing-masing membawa buku. Tapi, semuanya nggak di baca. Sumpah, nggak guna, cuma buat menuh-menuhin meja kantin aja.

"Gila. Mata Pak Harry ngawasin lo terus !" Seru Uli. Jarak meja kami lumayan cukup jauh. Dia ada di urutan nomor tiga paling depan, dan lagi berada di tengah-tengah. Sedangkan gue, Ryan dan Ivan berada di satu baris lingkungan tempat duduk.

"Nggak heran, sih. Padahal anak lain pada celingak celingukan sama bisik-bisik juga. Tapi, cuma Yesa aja yang kena tegur."Ryan melipat kedua tangannya ke dada.

"Kalian itu nggak peka. Dia itu cuma mau mandangin murid paling rusuh di kelas."

"Anjir, Ivan! Bakso gue lo embat juga !" Ryan berteriak. Kini semua perhatian kami teralihkan kepada mereka berdua.

Ivan nyengir."lagian, lo pada asik ngerumpi aja. Daripada punya lo dingin dan nggak enak lagi, mendingan gue makan."

Ryan memiting kepala Ivan. Noh,rasain bau ketek gue. Hirup sampai kenyang, kapan perlu makan sekalian."

Tawa kami pecah gara-gara ulah dua idiot Ryan dan Ivan, yang tengah meributkan masalah baso, padahal sampai urat leher putus tuh baso nggak bisa balik lagi.

Bel masuk berbunyi. Yang ada di pikiran gue itu, gimana cara cepatnya ngabisin baso yang ada di depan gue ini. Nggak cuma gue, tapi ketiga temen gue juga. Setelah berjuang, akhirnya baso tandas. Dengan tergesa-gesa kami membayar makanan lalu kembali ke kelas.

Di dalam kelas pun kami masih bercanda aja, nggak ada sedikitpun niatan buat belajar.

Seolah-olah UAS hanyalah masalah kecil dan tidak ada apa-apanya.

Satu minggu penuh UAS sudah kami lewati dengan setengah hati. Yah, siapa yang suka sama ulangan ataupun ujian. Hampir semua makhluk yang berstatus murid atau mahasiswa sekalipun tidak menyukainya.

Gue jangan ditanya, UAS tinggal satu hari saja gue senengnya nggak ketulungan, apalagi udah lewat. Rasanya gue pengen manjat pohon kelapa terus terjun dari atas, saking senangnya. Apa,sih?

Sehabis UAS, pasti sudah nggak asing lagi dengan class meeting. Karena dua hal itu nggak bisa di pisahkan. Sekolah-sekolah yang ada di Indonesia pasti sehabis UAS akan mengadakan class meeting. Nah, itu berlaku juga di sekolah Mahardika Internasional School.

Hari ini kelas gue,yang terutama cowoknya akan bertanding main futsal sama kelas sebelah, yaitu kelas 1 B. Karena ketiga teman gue juga jago main futsal, mereka ikut bertanding hari ini. Mereka bertiga termasuk pemain inti, peranan mereka amat penting dalam tim futsal kelas kami 1 A.

Selesai pertandingan futsal, baru gue dan temen-temen gue akan bertanding rugby melawan anak kelas 11 A-IPA, gue udah siap dengan kaos tim yang senada dengan kaos yang di pakai tim futsal. Kelas gue udah memesan kaos ini jauh-jauh hari, sehingga pas waktu class meeting tiba, maka kami akan kompak memakainya.

Kami satu kelas berjejer duduk di pinggir lapangan untuk menonton pertandingan futsal dan yang paling penting kami disini menjadi suporter untuk mendukung tim kelas kami.

Diseberang, gue lihat Yesi sedang duduk santai disebelah Ina dan Dea. Yesi mengenakan kaos olahraga yang pas di badannya  dan membuat gue meneguk ludah, karena dia terlihat, ummm....seksi.

Yesi menatap gue balik sambil ngasih kode. Yesi menggoyang-goyanhkan Handphone nya. Awalnya gue nggak paham, tapi sedetik kemudian baru gue ngerti. Gue spontan mengambil HP dari saku celana olahraga gue. Ada pesan dari Yesi.

Yesi : kamu ada jadwal bertanding hari ini ?

Dengan cepat gue mengetikkan balasan.

Me : Iya, sehabis pertandingan futsal.

Me : sayang nanti nonton,ya. Terus jangan lupa semangatin saya.

Yesi : lihat nanti aja.

Me : pokoknya harus!

Me : sayang, kalo tim kami menang, apa hadiah yang diberikan ke saya.

Yesi : Apa, ya ?

Yesi : Liburan ke Paris. satu minggu ?

Me : Deal !

Me : janji, ya ? Janji adalah hutang.Dan hutang harus di bayar !

Yesi : Iya. Makanya kamu harus menang !

Me : Sip,sayangque !

Yesi : bisa tidak celana olahraga yang kamu pakai di pendekin lagi ?

Me : Hehehe. Bisa kok !

Lama gue menunggu balasan dari Yesi, tapi nggak kunjung di balas juga. Gue mendongak, rupanya Yesi lagi sibuk ngobrol sama Ina.

Entah kenapa pemandangan yang terhalang lapangan futsal itu bikin gue mendengus. Dea,Ina dan Yesi tertawa cekikikan, mereka senyum-senyum nggak jelas gitu, entah apa yang mereka bicarakan.

Sebenarnya gue itu pengen banget mikir positif, kali aja mereka bertiga emang ngobrol hal-hal yang lucu. Tapi, gerak-gerik yang mereka tunjukkan itu yang bikin pikiran positif gue hilang. Apaan dia ketawa-ketawa sambil sesekali melihat ke arah gue.

Pandangan gue tiba-tiba terhalang ama anak-anak cowok yang berseliweran lari di lapangan. Gue pengen neriakin mereka, tapi sorakan yang menggema di lapangan ini membuat gue sadar. Rupanya pertandingan futsal sudah di mulai sejak tadi.

Gue mencoba untuk fokus ke pertandingannya, dan... berhasil. Gue ikut teriak-teriak, tim lawan nggak bisa di remehin, buktinya gawang tim kelas gue hampir kebobolan. Beruntung masih bisa di cegah oleh Daffa.

Skor kelas gue sama dengan tim lawan kelas 1B, skor sementara seri yaitu 1:1. Tapi, di detik-detik terakhir pertandingan, kelas gue mencetak gol satu angka. Kami, khususnya kelas 1A berdiri melompat-lompat saking senengnya.

Gue merangkul badan Uli,Ryan dan Ivan. Kami berempat berteriak heboh menggumamkan GOOD 1A, sedangkan Daffa melepas kaosnya layak pemain bola profesional yang ada di TV-TV.

Setelah puas, kini giliran gue yang akan bertanding. Tim rugby yang terdiri dari gue,Gama,Dava,Abi,Eko,dan Jovan sudah siap di posisi kami masing-masing. Lawan kami adalah anak kelas 11 A-IPA.

Yesi,Ina dan Dea berteriak. "Ayo, kalian pasti bisa!"

"Iya, semangat!" Uli,Ryan dan Ivan juga ikut berteriak.

Pandangan gue tertuju pada Yesi. Dia ikut menyaksikan pertandingan kami. Dia berbicara tanpa mengeluarkan suara."Paris di depan mata." Gue tersenyum lalu mengangguk.

Lama permainan kami tidak di tentukan karena dalam permainan ini hanya pencetak point terbanyak.

Lagi lagi pertandingan rugby kali ini berakhir dengan di menangkan oleh kelas gue. Kami berenam langsung saling berangkulan, bahkan teman-teman kelas gue yang lain mulai bergabung ke lapangan.

Ada yang loncat-loncat, ada yang menghambur-hamburkan air mineral, bahkan ada juga yang melepas kaos dan memutar-mutarkan di atas kepala, layaknya baling kipas angin. Kelas gue baru kali ini menang berturut-turut, jadi harap maklum tingkah alay kami.

Suara peluit nyaring, Pak Harry yang membunyikannya sambil berteriak,"jangan basah-basahan di lapangan, semua kecipratan gara-gara ulah kalian!"

Kami menghentikan aksi absurd ini. Dava mewakili kami semua, dia berkata pada Pak Harry .

"Iya maaf, Pak. Kami kelewat senang."

Pak Harry mendengkus. "Masih ada babak final!"

"Elah, si Bapak nggak kepengen liat orang bahagia apa?"sindir Gama.

Sebelum Pak Harry menyemburkan apinya,dengan cepat kami satu kelas mengamankan diri.