"Hai, Pat!" sambut Olive sambil berlari keluar dari mobil Toyato Fortunernya.
Patty mengangkat kepalanya dan melihat Olive berlari-lari kecil kepadanya, di belakangnya mobil Fortuner milik Olive melaju pulang dikemudikan oleh sopir pribadi Olive. Patty menghela napas. Sebenarnya ia sudah sangat lelah dengan sikap Olive yang terus menempel padanya. Setiap hari Olive selalu menunggu Patty datang ke sekolah dari dalam mobilnya. Kesannya Olive tidak berani dan tidak bisa masuk sendirian ke sekolah. Hal itu Patty merasa seperti induk ayam.
"Hai, Live." Kata Patty sambil memaksakan seulas senyum. Semoga senyum ini terlihat cukup tulus.
Mereka berjalan melewati gerbang sekolah yang tinggi dan cantik berwarna silver dengan lekungan dan jeruji artistik di atasnya. Di kiri kanan gerbang itu terdapat tembok dari bata berwarna putih yang tinggi mengelilingi kompleks GIS.
Mereka berjalan menyusuri jalanan dari batu-batu alam flagstone yang terhampar di tengah taman sekolah yang luas dan megah. Beberapa anak melewati mereka dengan menggunakan sepeda-sepeda yang mahal sedangkan kebanyakan anak yang lain berjalan kaki sambil berbicara dan tertawa. Di kiri kanan jalan itu, semak-semak dan bunga asoka yang terpangkas rapih berjajar dengan indah. Di belakang semak-semak itu, terhampar hamparan rumput dengan banyak pohon tinggi yang ditata rapih, mulai dari liang liu hingga pinus. Jalan itu mulai bercabang ke sebelah kiri menuju gedung pertama dengan tembok berwarna krem muda dan lintasan-lintasan berliku sampai 5 lantai, gedung parkir. Gedung ini memiliki lintasan untuk masuk ke gedung parkir yang berada di luar dinding samping GIS. Beberapa siswa berjalan keluar dari gedung itu melalui sela-sela pagar di samping sederetan motor-motor mewah dan mobil-mobil mewah.
Jalan itu bercabang kembali ke sebelah kanan menuju gedung kedua, gedung olahraga. Gedung itu berbentuk persegi panjang dengan kubah merah yang tidak terlalu tinggi sebagai atapnya. Setengah gedung itu berwarna putih dan setengah lagi berwarna merah, melambangkan bendera Indonesia. Gedung ini cukup besar sehingga mampu menampung sekitar 1.000 penonton. Cukup untuk menampung seluruh siswa GIS dan orang tua mereka di dalam gedung.
Mereka tetap berjalan, melewati kolam ikan bulat dengan air mancur yang indah dari marmer di tengah jalan batu tersebut. Ikan-ikan koi yang besar berenang dalam air jernih di dalam kolam itu, menatap para siswa sambil berharap diberi makan oleh mereka yang lewat. Jalan setapak itu kemudian kembali bercabang ke kiri menuju gedung ketiga, foodcourt.
Mereka berjalan menuju cabang yang keempat di sebelah kanan, menuju gedung keempat, gedung sekolah untuk para siswa GIS. GIS hanya terdiri dari tingkat highschool saja, dari mulai freshman sampai senior. Kebanyakan murid yang masuk GIS adalah anak-anak dari SD dan SMP pilihan yang-tentu saja-lebih didukung dengan kekayaan orang tua mereka daripada kemampuan otak para siswa sendiri.
Mereka berjalan menuju sebuah gedung dengan gaya art deco, dengan dinding dari bata berwarna coklat muda kemerahan. Mereka masuk melalui gapura merah yang menempel pada koridor. Koridor ini dinaungi kayu-kayu cendana, yang disokong oleh pilar-pilar bulat berwarna kuning gading di pinggir kiri dan kanan lorong, dihiasi tanaman Morning Glory yang menjuntai dengan bunganya yang berwarna merah dan harum. Di bawah mereka, lantai dari keramik berwarna coklat muda terhampar di sepanjang koridor menuju ke gedung sekolah.
Mereka melewati koridor dan langsung berhadapan dengan tangga megah dari granit berwarna coklat tua dengan pegangan dari kayu jati berwarna marun. Mereka berbelok ke kanan, menuju ke ruang loker untuk para siswa freshman dan sophomore. Bersama dengan banyak murid-murid lain dengan seragam kotak-kotak hijau muda dengan vest senada, Patty dan Olive berjalan menyusuri koridor. Di sebelah kiri mereka terhampar deretan loker sedangkan di kanan mereka pilar-pilar yang mirip dengan yang ada di koridor tadi berdiri tegak menghadap ke jalanan dan taman sekolah mereka yang megah. Dari sana, mereka dapat melihat sedikit muka foodcourt GIS.
Mereka sampai di depan loker mereka yang, sama seperti loker lain pada umumnya, berwarna abu dari besi. Olive membuka lokernya yang berada tepat di sebelah loker Patty. Wajar saja, Olive mendaftar tepat setelah Patty mendaftar. Ia langsung sibuk membereskan barang-barangnya sedangkan Patty menghembuskan napasnya. Jenuh. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang loker.
Di ujung sana, Lexa---yang mendaftar menjelang pendaftaran ditutup-baru saja selesai memasukan barang-barang yang ia perlukan ke dalam tasnya dan saat ia menoleh ke arah Patty, Patty langsung melambaikan tangan pada Lexa. Lexa tersenyum lebar dan langsung mendekati Patty.
"Hey dear!" sapanya.
"Morning Xa." Kata Patty sambil membuka lokernya dan mempersiapkan buku-bukunya.
"Masih juga ditunggu your pupy everyday ya?" kata Lexa sambil menatap Olive, yang baru saja selesai membereskan barang-barangnya, dari atas sampai bawah.
Patty tertawa sinis tetapi kemudian berhenti, ia ingat Olive ada di sebelahnya. "Well probably, I am the puppy's mom. (Yah mungkin aku memang induk anak anjing)"
Lexa tertawa terbahak dengan jawaban Patty sedangkan Olive? Ia tetap menyembunyikan mukanya di dalam loker, berusaha menahan tangisnya.
Mereka berjalan menaiki tangga besar berwarna coklat tua tadi dan berjalan menyusuri koridor kiri di lantai dua dengan tembok berwarna coklat muda di kanan mereka dan pilar-pilar di sebelah kiri dan pemandangan menghadap ke taman yang begitu luas dengan kursi-kursi dan lapangan basket dan sepak bola outdoor.
Mereka masuk ke salah satu kelas melalui pintu putih gading yang tinggi. Bangku-bangku dan meja-meja kayu putih berderet menghadap papan tulis putih dan meja guru yang besar dari granit. Tidak seperti kelas SMP atau SMA pada umumnya, satu kelas hanya cukup untuk 20 orang sedangkan meja dan kursi yang ada di kelas ini hanya cukup untuk satu orang dengan lorong antara satu meja dan meja lainnya.
Kelas sudah mulai penuh dan Patty mengambil kursi yang ada di tengah kelas. Olive dengan sigap langsung mengambil satu-satunya kursi yang masih kosong di dekat sana, tepat di belakang Patty.
Lexa yang jengkel melihat hal itu langsung tertawa sinis sambil berkata. "Well honey, kamu bukan induk puppy but more like (tapi lebih seperti) induk ayam."
Patty menggaruk kepalanya kemudian berbalik menatap Olive. "Nggak usah didenger, Live."
***
Patty, Olive dan Lexa berjalan menuju kelas kedua mereka hari itu. Seperti biasa, anak-anak laki-laki langsung menyingkir, memberikan Lexa jalan sambil memandang Lexa dengan kagum. Anak-anak perempuan menyapa Lexa dan Patty sambil tersenyum manis dan gugup, sedangkan beberapa dari anak laki-laki tertawa kecil pada Olive sambil bergumam "Hey yo puppy ngikut induk terus kemana-mana, ya?"
Muka Olive memerah, ia tidak sanggup melihat ke depan. Hanya memandangi ubin sambil mengikuti langkah Patty di sebelahnya. Memang, Olive selalu mengikuti kelas apa pun yang Patty ikuti. Tapi, ia bukan satu-satunya orang yang melakukan itu. Lexa, sejak dulu juga selalu mengikuti kelas Patty. Tapi kenapa hanya Olive yang diejek?
Mereka memasuki kelas kedua hari itu. Patty duduk di pojok, tempat duduk kesukaannya. Olive dengan cepat mengambil kursi di sebelah Patty. Meskipun terhalang lorong, tidak apa-apa. Ini tetap adalah kursi yang paling dekat dengan Patty.
Lexa, seperti biasanya, dengan acuh tak acuh mengambil tempat duduk di sudut pojok belakang lainnya. Dengan gayanya yang angkuh, ia mengeluarkan bukunya dari dalam tas dan mulai bermain ponsel, memperhatikan foto-foto yang ada di ingstaram.
"Pat," kata Olive.
Patty mengeluarkan tempat pensilnya dan meletakannya di atas buku-bukunya kemudian menoleh pada Olive. "Ya?"
"Hari ini pulang bareng gua saja, ya. Kita buat pe-er Bahasa Inggris yang tadi, yuk!"
Patty menghela napas dalam hati. Ia sangat tidak suka mengerjakan sesuatu dengan orang lain. Tapi, seperti biasanya, Patty tidak tega membiarkan Olive begitu saja. Nanti Olive merasa terkucilkan. Siapa lagi yang akan berteman dengannya kalau bukan Patty? Lagi pula Olive juga tidak perlu begitu diperhatikan. Dia toh tidak pernah sadar saat Patty tidak begitu memperhatikannya.
"Okay," kata Patty sambil berharap guru Ekonomi mereka segera datang. Bukannya Patty tidak senang berteman dengan Olive. Patty sangat menghargai pertemanannya dengan Olive, teman dekatnya sejak ia masih di Taman Kanak-Kanak. Namun, rasanya semakin lama Olive jadi semakin menempel pada Patty sampai rasanya hidup Patty, baik itu saat di sekolah maupun di rumah, hanya milik Olive.
Patty mengeluarkan ponselnya, berharap agar Olive tidak lagi mengajaknya bicara. Entahlah, ia lelah. Setiap hari ada saja alasan Olive untuk menelponnya berjam-jam, lalu di sekolah ia harus bersama dengan Olive mulai dari saat masuk ke gerbang sekolah sampai pulang, akhir pekan juga tidak jarang Olive main ke rumah Patty. Terkadang Patty mempertimbangkan tawaran yang Lexa berikan padanya untuk menjadi member terakhir dari Qualified Girls.
Bagaimana tidak? Itu adalah kelompok yang sangat dimimpikan oleh semua anak perempuan di GIS. Dengan masuk ke dalam kelompok itu, tentu saja anggotanya langsung dipandang sebagai anak-anak perempuan dengan "kasta" tertinggi di GIS. Apalagi, Lexa sudah menolak puluhan anak perempuan yang cantik dan kaya demi menyimpan spot member terakhir untuk Patty. Bagaimana mungkin Patty tidak pernah bermimpi untuk masuk ke Qualified Squad?
Hanya ada 1 masalah. Olive.
Semua orang tahu Lexa sangat tidak menyukai Olive sejak mereka masih SD, apalagi setelah mereka masuk GIS. Alasannya? Tentu saja karena Lexa merasa Olive tidak hanya jelek tapi hampir tidak pantas untuk bersekolah di GIS. Setidaknya itulah yang anak-anak GIS pikirkan (ga kok, lexa ga suka sama yang ga mandiri dan suka nyalahin keadaan instead of berusaha). Kalau Patty masuk QS, siapa lagi yang akan menjadi teman Olive? Sejak dulu, Olive tidak pernah bisa berteman dengan siapa pun.
Pertama kali Patty bertemu dengannya di Taman Kanak-Kanak, Patty merasa kasihan padanya dan duduk di sebelah Olive yang terus menangis karena tidak bisa melihat ibunya di ruang kelas. Sejak saat itu, Olive selalu mengikuti Patty seperti... seperti anak ayam mengikuti induknya. Sejak saat itu juga, Olive selalu menunggu Patty di gerbang sekolah.. seperti... puppy menunggu tuannya datang. Kalau saja saat itu Patty tidak menemani Olive, apa semuanya akan berbeda? Mungkin sekarang ia sudah menjadi bagian dari QS.
Tiba-tiba ponsel Patty bergetar, membuatnya tersadar dari kenangan masa lalunya. Lexa mengirimkan sebuah foto di ingstaram Patty. Foto gaun yang sangat elegan namun sederhana dari salah satu designer kesukaan Patty. Katty Tanned.
'Ya ampun, Xa! Bagus banget!'
'Iya, kan! Hari ini gw dan nyokap gw mau ke butik Katty Tanned, mau coba baju untuk wedding sepupu gw'
'Oh, abangnya Bang Satrya?'
'Yes, dear. Lu mau say hi to Ci Katty?'
Patty hampir berteriak kegirangan dan dengan semangat mengetik pada ponselnya. 'MAU MAU MAU!'
'I'll call you when i get there, alright? ' (gua telepon lu waktu gua sampai sana ya?)
***
Untuk ke sekian kalinya, Patty mengetuk layar ponselnya untuk melihat jam di sana. Pukul 5 sore dan Olive masih juga di rumahnya. Padahal pe-er Bahasa Inggris mereka sudah selesai dari tadi. Bagaimana ini? Padahal Lexa bilang ia akan menghubungi Patty pukul setengah 6 sore.
Mereka berdua duduk di meja makan Patty yang sangat panjang dan, seperti semua perabot di rumahnya, terbuat dari kayu jati yang tebal dengan ukiran jepara yang khas. Di atas meja itu, lampu gantung berlapis emas yang antik dan indah tergantung di langit-langit putih rumah Patty yang tinggi.
"Neng Olive," panggil Desy, ibu Patty, yang keluar dari dapur melalui pintu kayu tinggi-yang selama ini hampir selalu dibiarkan terbuka. Desy, wanita paruh baya yang terlihat seperti baru di usia 40an awal. Kulitnya kuning langsat, rambutnya yang hitam walaupun sebagian sudah mulai terlihat abu-abu dijepit di atas kepalanya dengan jepit merah muda, agak berantakan tapi tetap terlihat elegan. Mukanya yang mulus dengan sedikit kerutan tersenyum lembut dengan senyuman yang mirip dengan senyuman Patty. Badannya yang tetap langsing dibalut dengan terusan santai berwarna merah dan celemek berwarna merah jambu. Tidak hanya jepit, baju, dan celemeknya, katel yang ia pegang dan sendal jepitnya yang berada di atas lantai granit mewah ruang makan Patty juga berwarna merah.
"Eh, iya tante?"
"Mau makan apa lagi, neng?" tanya Desi dengan bersemangat. (Neng adalah singkatan dari eneng yang merupakan sapaan dalam bahasa Sunda untuk anak perempuan muda)
"Aduh, mah! Kenapa keluar bawa-bawa katel segala?" protes Patty. Duh, mama ini bagaimana? Kalau Olive makan lagi, nanti kapan Patty bisa mengobrol dengan Lexa?
Desi tertawa malu. "Aduh, mamah terlalu semangat masak, sih. Abisnya senang deh kalau ada Neng Olive. Semua makanan tante langsung habis dimakan."
Muka Olive memerah. Itu karena Olive hanya dapat berpikir kalau sambil makan saja. Mungkin karena itu berat badannya tidak turun-turun.
"Ah, nggak usah tante." Kata Olive sambil menutup bukunya. "Kayaknya sebentar lagi juga Pak Solihin jemput saya."
"Ah, Pak Solihin sopir kamu? Kalau gitu, tante titip makanan untuk Teh Henny mama kamu ya." Kata Desi sambil buru-buru ke dapur.
"Em.. Pat?" panggil Olive, menyadari untuk ke sekian kalinya Patty mengecek ponselnya sambil menggigit bibir bawahnya.
"Ya ya?" jawab Patty, tersadar ia dari tadi bersikap seperti seseorang yang sedang menunggu pengumuman lotre.
"Lu ada janji, ya?" muka Olive terlihat serba salah. Ia menghindari tatapan Patty dan fokus melihat Iphone terbaru milik Patty yang dibungkus dengan casing berwarna biru, sama dengan casing ponsel Olive.
"Oh.. oh enggak kok enggak. Kenapa?" kata Patty sambil menggaruk hidungnya gugup.
Olive menggeleng sambil memaksakan suara tawa yang terdengar bergetar. "Nggak apa-apa, soalnya dari tadi... lu lihatin jam terus."
Patty mengatupkan mulutnya rapat. Tidak tahu harus berkata apa. Untung saat itu ponsel Olive berbunyi. Pak Solihin. Untunglah.
"Ah, Pak Solihin sudah sampai ya, Live?" tanya Patty buru-buru.
"Iya," kata Olive sambil menolak panggilan Pak Solihin kemudian buru-buru berdiri dan pergi begitu saja.
Patty memperhatikan Olive dengan perasaan bersalah. Bagaimana ini? Ia tidak bermaksud menyuruh Olive pulang begitu. Tapi memang ia tidak mau kalau sampai Olive masih di sana saat Lexa menelponnya.
"Loh?" Desi muncul dari dapur dengan goodie bag merah di tangan kanannya. "Olive mana, neng?"
"Ah, sudah pulang mah."
"Loh, tumben nggak pamit ke mamah. Sayang banget, padahal mamah sudah siapkan makanan untuk Teh Henny." (teh adalah sapaan dalam bahasa Sunda untuk perempuan yang lebih tua)
"Ah... iya ya mah? Kirim saja ke rumahnya suruh Pak Surya," kata Patty asal. Aduh, ini mamah kenapa heboh banget, sih?
"Masa dianter sama supir sih, neng?"
Tepat saat itu ponsel Patty berbunyi. Dengan cepat Patty mengambil ponselnya dan lari keluar dari ruang makan sambil berkata. "Patty telpon dulu sama teman ya, mah!"
Patty berlari menaiki lantai granitnya dan menyusuri koridor menuju kamarnya, menutup pintu kamarnya yang tinggi dan besar kemudian melemparkan dirinya ke atas sofa kamarnya dan menjawab panggilan video dari Lexa.
"Pat! Lihat deh!" seru Lexa ketika muka Patty muncul di layar ponselnya. Ia mengarahkan kameranya ke cermin. Lexa yang langsing dengan kulit kecoklatannya terlihat begitu anggun dalam balutan gaun merah marunnya. "Gua nggak terlalu suka warna marun tapi kalau Ci Kate yang buat, semua warna juga jadi keren banget, iya nggak?"
Patty memekik kegirangan melihat gaun itu. Itu kan... "Hah?! Itu kan gaun yang lu kirim ke ingstaram gua tadi, Xa!" (ci di sini adalah singkatan dari kata cici yang merupakan serapan dari kata mandarin 姐姐 (jiejie) yang artinya kakak perempuan)
Lexa membalikan kameranya dan tersenyum jahil setengah sombong. "Iya," katanya kemudian tertawa sambil membuka tirai fitting room-nya. "Ci Kate!" seru Lexa.
Jantung Patty langsung berdetak dengan cepat. Ya ampun, Lexa memanggil Katty Tanned!
"Ini, temen aku mau ngomong, nih! She is your biggest fan! " (dia fans terbesar kamu)
Tidak lama kemudian muncul sesosok wanita yang cantik di layar ponsel Patty. Muka yang lonjong dengan dagu yang lancip, alis yang tebal, mata yang sipit dan tajam, hidung yang tidak terlalu mancung tapi cukup lancip, bibir yang tipis dengan polesan lipstick merah. Sangat anggun dan tegas. Ya ampun, inikah sosok Catherine Tanuwidjaja? Designer yang sangat Patty sukai walaupun baru beberapa kali melihat sosoknya saat menghadiri fashion show.
"Ha..halo..." suara Patty terdengar bergetar.
Kate tertawa dan berkata. "Halo," katanya dengan suaranya yang agak berat.
Ya ampun, anggun sekali. Patty juga ingin nanti menjadi designer seperti Katty Tanned. Tunggu, nama panggungnya Tanned padahal kulitnya tidak tanned sama sekali. Lucu, ya.
"Ah... aku... suka baju-baju cici!" muka Patty memerah sakin bersemangat dan malunya.
Kate tertawa sekali lagi dan berkata. "Thank you. Kapan-kapan main saja ke butik."
"Ah aku!" seru Patty. Tidak hanya Kate, Patty juga kaget dengan suaranya yang tiba-tiba besar dan bersemangat. " Ehem... boleh nggak aku belajar dari cici?"
Kate tersenyum. Anggun sekali! "Boleh dong! Datang kapan saja, aku tunggu, ya! Kamu suka gambar gaun, ya?"
"Eh.. i.. iya, ci."
"Mana coba? Boleh aku lihat?"
Patty berdiri dengan gemetar. Duh malu banget! Gambar dia pasti jauh banget dari gambar Katty Tanned. Apalagi banyak sekali gambar-gambarnya yang mencontoh gaun-gaun Katty Tanned. "Ta..tapi jelek loh, ci." Katanya sambil membalikan kamera ponselnya menghadapkannya pada buku gambar di meja belajarnya.
Muka Kate terlihat kagum di layar ponsel Patty. "Wah bagus banget! Waktu aku seumur kamu, aku belum bisa loh gambar seperti ini."
***
Patty berbaring di atas ranjangnya, badannya terasa segar sehabis mandi tapi pikirannya jauh dari kata jernih. Ia masih terus teringat akan percakapannya dengan Katty Tanned tadi. Seperti mimpi rasanya bisa bicara dengan Katty Tanned sampai 2 jam!
Patty membuka ingstaramnya, ada satu pesan dari Lexa. Patty membukanya dan tersenyum sendiri. Lexa memasukkan durasi telepon videonya dengan Patty-yang sebagian besar berisi pecakapan antara Patty dan Kate-selama 2 jam ke cerita ingstaramnya dan menyebut akun ingstaram Patty di sana dengan tulisan:
Telpon 2 jam! Felt like a dream yet @patriciapatty?
Patty me-repost cerita Lexa ke ceritanya dan menulis: "It's a dream come true!!"
(Sudah terasa seperti mimpi belum @patriciapatty?
Ini adalah mimpi yang jadi kenyataan!!)
***