"Riana!." Panggil Johan. Tak ada tanggapan. kamar benar-benar kosong.
Ketika Johan melihat jejak darah, dia tahu kaki Riana terluka, jadi, setelah menelpon asisten rumah tangga dia bergegas membawa kotak obat ke kamar hanya untuk menemukan kamar sepi dan kosong. Riana tidak ada!
Johan mengambil ponselnya dan menelpon istrinya. Namun, panggilannya tak terhubung. Johan melempar hpnya, menjambak rambutnya dengan kesal.
Semuanya berantakan.
Johan menghempaskan dirinya di tempat tidur. Masih ada aroma istrinya di selimut dan membuatnya tenang. Dia tidak bisa membayangkan kalau istrinya benar-benar pergi.
Saat pikirannya kacau, ponselnya berdering. Itu dari Wena lagi.
" Ya." Johan menjawab telpon dengan nada malas.
" Mas, kamu nggak ngantor? kamu menghindariku?."
" Aku sedang membujuk Riana. Jangan menggangguku dulu."
" Kapan kamu akan membujukku?." Wena merengek manja.
" Jangan membuat masalah." Johan memutuskan panggilan dan lanjut menelpon Riana namun di riject. Berkali-kali begitu sampai Johan putus asa.
Disisi lain, Riana yang pergi dari rumahnya tengah berkendara ke rumah orang tuanya. Dia butuh orang yang mau mendengar curhatannya. Tempat paling aman untuk meluahkan segala keluh kesah yang bersifat aib keluarga adalah anggota keluarga juga agar rahasia tidak merembet kemana-mana.
Sampai disana, hanya ada ibu dan adiknya yang sedang membuat kue pisang.
" Lho.... mukamu kok begitu? ada yang meninggal?." Sambut ibunya.
" Cintaku yang mati." Riana hanya mengatakan itu dalam hati.
" Iya, nih, wajah sudah jelek, jadi begitu makin jelek." Ejek adiknya, Rita.
" Apaan, sih." Dengus Riana.
" Masam-masam begitu, Kenapa?." Tanya ibunya lagi.
" Mas Johan, Bu." Ucap Riana mulai terisak.
" Johan kenapa? Sakit atau dapat kecelakaan? Kami nggak ada uang untuk bantu. Ini untuk biaya sekolah adikmu." Kata ibu Ria terus terang.
Riana menggeleng." Bukan, Bu."
Riana selalu tahu watak ibunya, dia sangat takut kalau anaknya meminjam uang darinya.
" Mas Johan berselingkuh, Bu." Riana mengadu.
" Dia sudah tidur dengan teman sekantornya."
" Lho... yang benar?."
Riana mengangguk. Dia tahu, sebenarnya tidak ada gunanya mengeluh pada ibu.
" Jangan nangis disini. Kan, nikah dengan Johan itu pilihanmu." Kata-kata ibunya bagai palu Godam yang menghantam dadanya, menusuk hatinya dan mencengkram jantungnya. itu sakit! Sangat sakit.
Saat ini, dia butuh tempat untuk meluahkan keluhannya, orang yang mau menjadi pendengar, orang yang bisa menghiburnya. Namun, ibunya hanya mengatakan kata mencela atas pilihannya di masa lalu.
" Coba dulu kamu dengar kata ibu untuk menikah dengan anak dari sepupu ayahmu. Meskipun dua duda, dia punya banyak uang." Ibunya terus berceloteh tanpa memperhatikan ekspresi terpelintir Riana.
" Dengan begitu, kita bisa minta dia membantu membayar uang sekolah adikmu dan membayar supaya kakakmu bisa jadi PNS."
Raut wajah Riana makin jelek.
" Sekarang, bukan cuma tidak bisa membantu kakak dan adekmu, suamimu itu malah berselingkuh." Ibu Riana mencibir.
" Makanya kalau ada yang dikatakan orang tua harus didengar, menerima apa yang diputuskan orang tua padamu. Semua orang tua ingin anaknya bahagia. Tidak mungkin orang tua menjerumuskan anaknya." Itu pidato singkat ibunya.
Riana ragu untuk nasehat ibunya.
" Tidak menjerumuskan bagaimana?! orang tua mana yang ingin menjual anaknya pada seorang pria beristri untuk dijadikan istri kedua, mungkin ibunya satu-satunya.
Bagi ibunya, anak dia cuma si Sulung dan si bungsu. Sisanya hanyalah pion yang bisa digunakan untuk mendapatkan ke untungan.
Riana melihat jam tangannya.
" Sudah, Bu. Aku pamit dulu." Riana beranjak dari duduknya.
" Lho kok pergi? bantuin bikin kue dong.." Pinta nyonya Ria menghalangi Riana untuk pergi.
Riana yang sedang kalut tidak menghiraukan kata Ibunya.
Tidak lama Dia pergi. Satu sosok keluar dari kamar.
" Riana sudah pergi?." Rina, si anak kedua, kakak Riana ini keluar kamar dan menghampiri ibunya.
" Iya." Jawab ibu Ria
" Dia pergi begitu saja tanpa mau membantu kami bikin kue."
" Ibu sendiri yang memutuskan untuk membuat kue, kenapa meminta orang lain membantu?." Kata kak Rina membuat ibunya diam.
" Kak Riana cuma datang mewek disini, ngeluh kalau suaminya selingkuh. Kalau dia tidak jelek nggak mungkin dong suaminya selingkuh." Rita, adik bungsu Riana mengoceh.
" Rita!." Hardik Rina.
" Perhatikan bicaramu! Kamu itu juga gadis, enggak tahu bagaimana masa depanmu. Jangan asal bicara."
" Kenapa kamu malah memarahi adikmu?." Tegur ibu Ria pada Rina.
" Ia, Rita cuma ngomong yang sebenarnya." Ucap Rita dengan wajah cemberut.
" Masih mending aku hanya memarahinya. Kalau dia mengoceh lagi, aku tidak segan menamparnya."
" Rina! kamu berani?!." Rita cepat mencicit di belakang ibu Ria yang melototi Rina.
" Ingat! Ini rumah mas Farly, kalau dia mendengar ucapan kurang ajar Rita, dia akan menyalahkanmu Karena tidak bisa mendidik adikku yang numpang disini." Rina mendelik, Ibunya diam dan Rita tertunduk.
" Hari ini dia bisa berbicara buruk tentang kakak kandungnya. Besok, dia bisa bergosip tentang keluarga iparnya diluar. Bagaimana kalau mas Farly berpikir begitu dan kecewa? apa Rita masih bisa tinggal disini?."
" Ibu, aku tahu, kami ini hanyalah alat untuk mengumpulkan uang, anak di hati ibu cuma ada kak Rani dan Rita sebagai anak."
" Kamu anak durhaka, bisa-bisanya kamu berkata seperti itu?."
" Kalau aku durhaka, ibu tidak akan tinggal disini."
Ibu Ria terdiam.
" Kamu!." Rina beralih pada Rita.
" Jajan prakerinmu itu di tanggung oleh Riana. Kamu tidak tahu terima kasih malah mengutuknya dibelakang. Uang itu akan aku kembalikan pada Riana."
" Tidak bisa gitu." Protes Rita.
" Kenapa tidak bisa? Kamu mau memakai uang orang tapi tidak menghormatinya? Bagus sekali! didikan siapa itu?!."
" Lalu siapa yang akan membayar uang jajan prakerinku?." Tanya Rita takut-takut.
" Tanyakan pada ibu, atau minta pada kakakmu, Rani!." Rina meninggalkan mereka yang masih terpaku.
Rina menghubungi Luna, sahabat adiknya sekaligus sepupu iparnya.
" Apa Riana menghubungimu atau sesuatu?."
" Iya, tadi dia sempat menelpon tapi aku angkat sudah dimatikan lagi. Ada apa?.:
" Dia sepertinya ada masalah berat. Tadi dia sempat ke rumah, cuma sayang dia ketemu mama soalnya aku di kamar." Cerita Rina.
" Nanti kuhubungi kalau dia menelpon lagi."
" Oke."
Orang yang sedang mereka cari tengah berada di sebuah kamar hotel merenungi perjalanan cintanya sampai seorang melakukan panggilan telpon.
" Halo.." Riana menjawab telpon.
" Alhamdulillah, akhirnya kamu mengangkatnya." Suara cemas terdengar disana.
" Riana, ini aku, Diva."
" Oh.... ada apa?."
" Kamu ada dimana?." Tanya Diva lagi.
Riana menyebut kamar hotelnya.
" Tunggu aku disana, jangan kemana-mana." Panggilan terputus sepihak. Riana hanya menatap ponselnya dengan bingung.
Tak berselang lama, suara ketukan terdengar. Dia melihat wajah dua sahabatnya di intercom bersama seorang pelayan.
Riana membuka pintu.
" Masuk." Katanya dengan suara sengau.
Diva memberi Tip pada pelayan itu sebelum melangkah masuk.
Luna dan Diva bergantian memeluk Riana sebelum menemukan posisi yang nyaman untuk mengobrol.
" Tadi, ka Rina nelpon ke aku kalau kamu ada masalah." Luna cepat menjelaskan.
" Aku Menelpon Diva sekalian."