"Sayang, bagaimana kalau perhiasan yang tadi kau beli kita kembalikan saja? Supaya uangnya bisa dipakai untuk biaya perawatan Papa," bisik Megan pada suaminya.
Melihat Megan dan Ethan berbisik-bisik, seluruh keluarga terlihat sangat tidak sabar. Jelas sekali mereka menunggu Ethan mengucapkan bahwa ia tidak punya uang seratus juta yang saat ini dibutuhkan untuk biaya pemindahan ruang perawatan.
Bahkan Ravella dengan sengaja mendecakkan lidahnya dengan sangat keras. Terlihat sekali bahwa ia sudah tidak sabar untuk menghina dan mendamprat Ethan dengan lebih puas.
"Tidak. Sebelumnya kita udah bicara soal ini dan jawabanku tetap tidak. Perhiasan itu aku beli untukmu. Tenang ya, aku punya kok uang seratus juta. Ayo ikut aku ke ATM buat ambil uangnya."
"Ehm!" Ravella berdeham keras sekali sambil mulutnya menggumam tak jelas. "Kalau tidak ada uangnya bilang aja, tidak usah kelamaan diskusinya. Dikiranya ini rapat di Kelurahan."
Ethan dan Megan mendongak memandang Ravella yang bertingkah seperti seorang ratu dan dengan sengaja menggoyangkan lengannya saat berbicara, sehingga gemerincing gelang di kedua lengannya terdengar jelas ke penjuru ruangan.
"Iya. Kalau emang tidak bisa nyumbang bilang aja, tidak usah malu-malu."
"Apa? Malu-malu? Ha ha. Biasanya juga malu-maluin."
"Betul itu, Ethan. Kau tidak usah malu ngakuin kalau emang tidak punya duit. Kita semua juga udah maklum kok, he he."
Ethan membalikkan badan hendak melangkah keluar dari ruangan.
"Sebentar ya, kami mau ke ATM ambil uang dulu," pamit Megan pada keluarganya kemudian bergegas keluar dari ruangan bersama Ethan.
"Huh." Serempak semua orang mendengus kesal seolah melihat binatang buruannya yang lepas.
"Beneran ambil duit tidak tuh si Ethan?" Salah satu kerabat yang hadir di situ membuka suara.
"Tahu tuh. Alasan aja kali. Aslinya kan dia melarat, tidak punya duit."
"Boro-boro seratus juta, rumah mereka aja cuma segede kandang kambing."
"Iya, alasan doang kali ke ATM biar bisa kabur. Huh."
"Jadi gimana dong?"
"Ke ATM butuh berapa lama sih? Kita tunggu aja sebentar."
"Hem. Lina atau sepuluh menit pastinya cukup."
Selama itu mereka duduk blingsatan seperti ada duri di kursi. Tiap sebentar berdiri dan melongok ke arah pintu.
"Lama amat."
"Iya. Ke ATM doang lama amat. Beneran kabur kali tuh anak."
"Akal bulus banget ya, pura-pura ke ATM."
"Lagian sejak kapan sih si Ethan punya duit hah? Sekarang aku tanya sama kalian?"
"Iya. Pada gampang banget sih dibegoin. Sejak zaman kura-kura dalam perahu juga mah si Ethan tidak ada sejarahnya pegang duit."
"Jadi gimana ini? Apa perlu aku telepon Megan?"
"Susulin ke bawah langsung aja kali."
"Sabar. Tunggu aja dulu. Kali aja mereka harus antre."
"Huh."
Sementara itu di ATM centre, Ethan baru keluar dari bilik ATM. Karena beberapa mesin ATM memiliki batas jumlah penarikan, Ethan harus menarik uang dari beberapa mesin ATM untuk menggenapkan jumlah seratus juta. Jadi wajar kalau dibutuhkan waktu lebih lama dari yang seharusnya.
Megan dengan setia menunggu di luar bilik, tersenyum lega saat melihat suaminya datang mendekat.
"Ini, bawa aja tas aku. Kasih aja langsung uangnya sama Jayson. Hati-hati ya," Ethan menyerahkan tas berisi uang kepada Megan yang memandang suaminya dengan penuh tanya.
"Lho? Kau tidak ikut nemenin aku kembali ke atas?"
"Ya nanti aku nyusul. Ada keperluan sebentar, tidak apa-apa kan kau ke atas sendiri?"
"Ya sudah. Selesaiin dulu urusanmu. Terima kasih ya."
"Iya."
Megan menyelempangkan tas berisi uang milik suaminya ke bahu dan merasakan beban uang seratus juta itu di bahunya.
Meski sebenarnya ia penasaran dan bertanya-tanya berapa jumlah uang yang sebenarnya dimiliki suaminya saat ini, Megan memutuskan bahwa saat ini bukanlah saat yang tepat untuk membahas hal itu dengan suaminya.
Setelah istrinya pergi meninggalkannya, Ethan langsung menghubungi Pak Ario, salah satu orang kepercayaan keluarga Abraham Patlers supaya mengatur masalah pemindahan ruang perawatan Caroline Alexella Gallagher.
"Halo, Pak Ario?"
"Eh. Halo. Lama tidak ada kabar."
"Hehe. Iya. Maaf, Pak. Saya butuh sedikit bantuan Bapak?"
"Aduh, Ethan udah kayak sama siapa aja. Bilang aja mau apa? Selama masih di Jakarta Selatan, saya bisa urus."
"He he. Pak Ario bisa saja. Begini, Pak. Mertua saya, Caroline Alexella Gallagher masuk rumah sakit. Beliau saat ini dirawat di Rumah Sakit ini. Saat ini masih di UGD. Saya butuh bantuan Bapak untuk memindahkan beliau ke ruang perawatan yang lebih nyaman."
"Siap. Itu saja? Atau ada lagi?"
"Hmmm... apa ya. Oh iya, kalau ada masalah atau apa, langsung hubungi Dokter Prima ya. Kayaknya udah itu aja kalau sekarang. Terima kasih banyak ya, Pak."
"Siap. Sama-sama."
Ethan menutup ponselnya dan melangkah menuju lift untuk menyusul istrinya.
Megan sudah sampai di depan UGD dan melangkah memasuki ruang perawatan ayahnya diikuti pandangan mencela dari para keluarga. Dengung obrolan langsung berhenti seketika saat Megan melangkah mendekati mereka.
"Lama banget sih. Mana suamimu? Kabur?" Ravella langsung mencecar adiknya.
"Masih di bawah tadi. Bentar lagi juga nyusul. Ini. Seratus jutanya." Megan mengulurkan tas tangan berisi uang kepada Jayson.
Jayson yang terkejut sedikit tertegun sebentar sebelum menyambut uluran tangan Megan. Tak hanya Jayson sebenarnya, tapi juga seluruh orang yang ada di ruangan itu.
"Eh iya." Sedikit tergagap Jayson menerima tas berisi uang dari Megan.
"Periksa dulu, Mas. Beneran seratus juta, tidak. Bisa aja kan cuman diselipin batu," Ravella menyedekapkan lengannya di dada yang segera diikuti anggukan oleh yang lain.
Jayson langsung membuka resleting tas dan memeriksa isinya.
Setelah melihat lembaran uang yang memenuhi tas dalam genggamannya, ia tak bisa langsung berkata-kata. Sungguh ia tak menyangka bahwa Ethan bisa memiliki uang sebanyak ini. Keringat dingin membasahi punggungnya.
Ravella yang penasaran datang mendekati suaminya dan ikut melongok melihat ke dalam tas. Mata Ravella seketika membelalak lebar. Tanpa sadar mulutnya menganga membentuk huruf 'O'.
"Kenapa?" Anggota keluarga lain yang jadi penasaran seketika bergerombol di sekitar Jayson dan turut melongok isi tas yang tadi dibawa Megan.
Setelah melihat lembaran-lembaran uang di dalam tas, pandangan mereka berpindah-pindah dari wajah Megan dan lembaran uang.
Ravella membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi akhirnya ia menutup mulutnya lagi. Entah apa yang tadinya ingin ia katakan, sekarang ia lebih memilih untuk menelan kata-katanya kembali.
Semburat kemerahan terlihat muncul di wajah Ravella sebelum akhirnya ia mundur, menjauhi suaminya dan kembali duduk.
Satu persatu anggota keluarga mundur menjauhi Jayson dengan kepala tertunduk.
Jayson segera menelepon Pak Arifin, orang kepercayaannya untuk mengurus pemindahan ruang perawatan Caroline.
"Halo, Pak Arifin?" Jayson sengaja mengeraskan suaranya saat menelepon, supaya semua orang bisa mendengar bahwa dia yang berjasa lebih besar dibanding Ethan.