"Halo Jayson, maaf sebelumnya. Dalam waktu dekat sepertinya kita belum bisa terlalu berharap banyak dengan Rumah Sakit ini. Karena tunggakan asuransi kesehatan perusahaan belum dilunasi."
Jderrr! Mendadak kepala Jayson terasa pusing. Perlahan ia menjauhi orang-orang dan mencari tempat yang agak sepi di sudut.
Ia mendongakkan kepalanya menatap atap rumah sakit yang dicat warna putih. Mendadak ia melihat bintang-bintang berkelipan di matanya.
"Maksudnya?" Jayson meminta penjelasan Pak Arifin.
"Ya, karena tunggakan tagihan asuransi perusahaan kita masih belum lunas, untuk saat ini perusahaan kita sedang ada di daftar hitam Rumah Sakit tersebut."
"Hmmm..." Jayson mencerna kembali perkataan Pak Arifin dan memaki di dalam hati. Karena justru di saat yang sangat genting seperti ini, kebetulan masalah tunggakan yang selama ini sengaja tidak ia bayar jadi ganjalan.
"Jadi alangkah tidak bijaksana bila saya menelepon direktur mereka untuk mengurus perawatan Mertua Tuan Jayson."
Semakin lama Jayson semakin memelankan suaranya saat menelepon. Dengan susah payah dia meyakinkan Pak Arifin bahwa tunggakan itu akan segera dilunasi.
Tak peduli apa pun yang Jayson katakan, Pak Arifin tetap bersikeras bahwa ia tidak dapat membantu masalah ini selama tunggakan masih belum dilunasi.
Keringat sebesar biji jagung mulai bermunculan di dahi Jayson.
Ia teringat tentang dana kesehatan perusahaan yang belakangan sering ia ambil dan pakai untuk keperluan pribadi.
Tanpa Jayson ketahui, saat itu di lantai paling atas gedung, Direktur Rumah Sakit itu sedang menerima telepon dari Pak Ario.
Kepada Direktur Rumah Sakit, Pak Ario menyampaikan instruksi langsung untuk memindahkan pasien bernama Caroline Alexella Gallagher dari UGD ke ruang perawatan intensif yang terbaik di Rumah Sakit.
Pak Ario, yang merupakan salah satu orang kepercayaan keluarga Abraham Patlers adalah penanggung jawab sistem kesehatan di wilayah itu.
Mendapat telepon dari orang sepenting itu, Direktur Rumah Sakit itu langsung bergegas menghubungi staf rumah sakit untuk mengurus masalah ini.
Sementara Jayson segera menutup ponselnya dan memasukkan ke kantong celana. Untuk sementara ia sengaja tidak memberi tahu keluarga bahwa ia tidak bisa menangani pemindahan ruang perawatan mertuanya.
Pada saat itulah datang Direktur Rumah Sakit itu memasuki ruangan dengan diikuti beberapa staf dan perawat.
"Permisi? Keluarga Caroline Alexella Gallagher?"
"Saya, Pak." Jayson langsung maju mendekati Direktur.
"Tolong ditandatangani surat persetujuan pemindahan ruang perawatan untuk Nyonya Caroline Alexella Gallagher," salah satu staf direktur menyodorkan file kepada Jayson untuk ditandatangani.
"Oh." Sedikit gelagapan, Jayson segera menguasai suasana. Meski dalam hati ia masih bertanya-tanya.
Jayson yang masih penasaran dan terkejut karena Direktur Rumah Sakit sendiri yang turun tangan, segera menelepon Pak Arifin kembali. Untuk memastikan siapa orang di balik pemindahan ruang perawatan ini.
"Pak Arifin jadi telepon Rumah Sakit itu ya?"
"Halo? Apa? Tidak. Saya tidak menelepon."
"Baiklah."
Klik. Panggilan ditutup. Bodoh amatlah siapa dalang di balik semua ini, yang jelas semua orang akan berpikir bahwa akulah yang telah mengurus pemindahan ruangan Caroline. Ha ha ha
Jayson tertawa puas dalam hati.
Tidak menunggu lama, karena yang mengurus pemindahan adalah Direktur Rumah Sakit langsung, Caroline Alexella Gallagher telah dipindahkan ke ruang perawatan VIP I. Ruang perawatan paling mewah dan luas di Rumah Sakit itu.
Ethan mengawasi proses pemindahan itu dari jarak jauh. Ia sengaja tidak mau terlalu menonjolkan diri di hadapan keluarga istrinya.
Lagi pula, masalah sepele seperti ini tidak perlu dibesar-besarkan. Ethan memeriksa jam tangannya dan memutuskan untuk pergi ke kantin sambil menunggu proses pindahan selesai. Nanti saja kalau sudah selesai dia baru akan bergabung kembali dengan istrinya.
Di kantin, ia memesan secangkir kopi. Saat tengah menyesap kopinya, sekilas Ethan seperti melihat seseorang yang ia kenal. Tapi karena tidak yakin, ia memutuskan untuk tidak langsung menyapa.
Seseorang itu juga memesan kopi dan terlihat menengok ke sana ke mari mencari meja kosong.
Karena kebetulan Ethan duduk sendiri, ia pun menawarkan kursi di depannya kepada orang itu.
"Silakan, kursi ini kosong." Pria muda itu mengangguk dan tersenyum pada Ethan lalu menarik kursi dan duduk satu meja dengan Ethan.
"Siapa yang dirawat?" Sapa Ethan basa-basi.
"Istri saya mau lahiran. Tapi masih baru bukaan satu."
"Anak pertama ya?"
"He he. Iya, kok tahu."
"Kelihatan dari gugupnya sih. Saya Ethan." Ethan mengulurkan tangannya.
"Defran." Mereka berjabat tangan.
"Oh iya, kok kayaknya wajahmj familiar ya. Kerja di mana?"
"Masak sih, ha ha. Mungkin memang wajah saya pasaran. Saya kerja di Orka Press."
"Oh, pantas sepertinya tadi tidak asing lagi. Soalnya istri saya editor di Orka juga."
"Waduh. Dunia ini sempit ya."
"Banget. Kau ingat tidak waktu itu kau ngingetin aku pas di toilet karena tasku ketinggalan?"
Waktu itu kejadiannya adalah saat Ethan baru membelikan perhiasan untuk Megan. Saat Ethan mampir ke toilet, ia hampir saja meninggalkan bungkusan berisi perhiasan.
Untung ada petugas kebersihan yang mengingatkan Ethan bahwa bungkusannya ketinggalan. Nah, petugas kebersihan yang waktu itu menemukan kotak Ethan adalah pria muda yang saat ini ada di hadapannya.
"Waduh, Mas. Maaf saya lupa," pria muda itu menggaruk kepalanya.
"Ya tidak apa-apa. Tapi, saya ingat kok," jawab Ethan tenang sambil memperhatikan tahi lalat di puncak hidung pria muda di hadapannya. Tanda itulah yang membuat Ethan yakin betul bahwa ia tak salah orang.
Ethan merogoh sakunya dan mengambil dari dalam dompetnya black card yang bisa dijadikan sebagai alat ganti pembayaran. Mungkin memang inilah cara dia untuk membalas budi pada pria muda ini.
Ethan mengulurkan black card pada pria muda itu.
"Apa ini mas?"
"Eh, ini... sebut saja kartu ajaib. Saya merasa sangat berhutang budi padamu waktu itu. Jadi sekarang giliran aku untuk membantumu. Kau bisa pakai kartu ini untuk melunasi biaya persalinan istrimu. Titip saja kartunya sama bagian administrasi, biar nanti aku yang ambil. Sebentar lagi aku hubungi bagian administrasinya untuk konfirmasi surat kuasa kartu itu. Harus diterima ya," Ethan bangkit berdiri sambil menepuk bahu pria muda itu.
"Eh...tet... terima kasih, Mas. Ini..." Belum sempat pria muda itu menyelesaikan kalimatnya, tapi Ethan sudah berjalan menjauh darinya.
Ruang perawatan baru Caroline dilengkapi sofa untuk menerima tamu dan sebuah jendela besar menghadap langsung ke taman.
Ruang VIP I berada di sayap Timur Rumah Sakit sehingga melalui jendelanya yang lebar, kita dapat melihat matahari terbit setiap pagi.
Tak henti-hentinya semua orang memuji Jayson karena kesigapannya mengurus pemindahan ruang perawatan.
"Gila ya. Direktur langsung yang turun."
"Iya. Nyesel dulu aku tidak mengambilmu sebagai menantu." Salah seorang kerabat berbicara sambil menepuk-nepuk bahu Jayson.
"Ethan mana?"
"Tidak tahu. Ngilang gitu aja."
"Beda banget sama Jayson yang cekatan dan sigap. Itu menantu Caroline yang satu lagi kok ngilang-ngilang tidak jelas."
Jayson kembali menegakkan bahunya. Dalam hatinya tertawa keras karena dia sendiri sebenarnya tidak tahu siapa yang mengurus pemindahan kamar ini. Hidung Jayson kembang kempis menikmati setiap sanjungan dari para keluarga.