Selama ini... Apa yang aku lakukan? Aku hanya berjalan tanpa tujuan —tidak, mungkin saja, aku melupakannya.
Sudah berapa lama aku melakukan perjalanan tanpa arti ini? Sejak kapan aku memulainya? Mengapa aku melakukannya? Pertanyaan yang sama selalu muncul di pikiranku.
Aku melupakan segala ingatan tentang masa laluku, bahkan semuanya tentang diriku sendiri, aku tidak mengingatnya.
Terus berjalan dalam kehampaan, tanpa mengetahui apapun, tanpa mengingat apapun.
Kegelapan dan kesunyian yang abadi, sebuah kekosongan.
Tanpa mengetahui apa yang menjadi pijakanku, aku terus berjalan... Berjalan... Berjalan dan terus berjalan... Aku ingin ini segera berakhir, kuharap ada secercah cahaya yang memancar di depan sana —Cahaya yang mampu menerangi kegelapan ini, serta cahaya yang menjadi akhir perjalanan panjangku.
Dan akhirnya, cahaya yang kunantikan pun terpancar, namun—
○ ○ ○
*Dor*
"Noa, bersembunyilah!" Suara itu... Ibu? "Noa! Cepatlah bersembunyi!" Ibu menarik tanganku dan memaksaku untuk bangun dari tidurku.
"E-eh? I-ibu? Apa yang terjadi?" Tanyaku dalam keadaan setengah tidur.
Ibu lalu memaksaku untuk masuk ke dalam lemari. "Diamlah dan tetap tenang di dalam sini, jangan keluarkan suara apapun, mengerti?"
"I-ibu, kenapa tiba-tiba—"
"NOA!" Bentaknya, memotong kata-kataku. "Dengar ini, Noa, jangan pedulikan apapun yang kamu lihat, semua ini demi keselamatanmu, kumohon, Noa" Nada bicaranya seketika berubah menjadi lemah, seperti orang yang sudah putus asa dan merasa kehilangan harapan.
"Ibu? Mengap—Mmph" Ibu menutup mulutku menggunakan tangannya.
"Dengar, Noa, ikutilah seperti apa yang ibu katakan sebelumnya, tenanglah dan jadilah anak yang baik, setidaknya turutilah permintaan terakhir dari ibumu ini" Permintaan... Terakhir? Apa yang ibu maksud?
*Tap tap tap* Aku mendengar suara langkah kaki yang cukup keras. Suara itu terdengar semakin mendekat seiring waktu.
"Noa, maafkan ibu, tapi... Semua ini demi keselamatanmu..." Ibu menutup lemari ini sembari menangis lalu berbalik dan bersikap seperti tidak ada apapun yang terjadi.
*DUAR* Seorang lelaki besar mendobrak pintu ruangan yang kami tempati.
"Oi Lia, mengapa kau belum mengirimkan uangnya, ha?! Kau sudah tahu dengan konsekuensinya, kan?" Tanyanya dengan nada songong.
"A-ah mohon maaf Tuan Luka, sebenarnya saya berniat untuk mengirimkannya besok, hari ini saya belum menarik uang saya dari bank"
"Kau selalu menjawab dengan kalimat yang sama. Hm...?" Kata-katanya terhenti sejenak. Tak lama kemudian, tatapannya terhadap ibu berubah. "Hei, lupakan tentang uangnya, bagaimana jika kau bayar saja dengan tubuhmu itu? Hehehe hehe"
"S-sesuai... keinginan anda" H-huh? I-ibu? Gak gak gak, gak mungkin... Ibuku menawarkan tubuhnya? Itu bukan ibu yang kukenal. Pasti ada tujuan lain dibaliknya, aku tidak boleh berpikir negatif.
Pria itu mendekati ibuku, aku terlalu takut untuk melihatnya, jadi aku menutup mataku, dan tak lama kemudian—
"GUGHHAKKK!! APA YANG KAU LAKUKAN?! KAU MEMBODOHIKU!!"
Aku spontan membuka mataku karena penasaran setelah mendengar teriakan pria itu. Ibu terpapar lemas di lantai. Sedangkan untuk pria itu, perutnya tertusuk pisau. Kemungkinan besar, ibu yang melakukannya.
"Aku... Aku lebih memilih untuk mati daripada menyerahkan tubuhku padamu" Ucap ibu dengan nada lemah.
"HEI KEPARAT, KALIAN MENDENGARNYA? LAKUKAN SESUKA KALIAN TERHADAP TUBUHNYA DAN LENYAPKANLAH DIA SETELAHNYA!!"
Eh? Jadi dia tidak datang sendiri? Kalau begitu, ibu akan...
"—Dengar, Noa, ikutilah seperti apa yang ibu katakan sebelumnya, tenanglah dan jadilah anak yang baik, setidaknya turutilah permintaan terakhir dari ibumu ini"
...
Haruskah aku diam dan menuruti kata-kata ibu? Atau haruskah aku keluar dan menyelamatkan ibu? Tapi mungkin saja aku akan memperburuk situasinya. Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku... Tidak bisa melakukan apapun... Sembari menahan tangisanku, aku hanya bisa melihat ibu tergeletak pasrah akan keadaannya.
"""OOOOH!!"" Mereka telah memasuki ruangan ini.
"Hey tubuhnya cukup bagus bukan?"
"Seperti yang kau bilang, dia memang cukup bagus untuk memuaskan libido"
"Hei bisakah aku menjadi yang pertama memulainya?"
"Aku lah yang seharusnya memulainya!"
"Oi tenanglah, mengapa kita tidak gangbang saja dia?"
"Oooh, ide bagus!"
Setelah kata-kata itu terdengar olehku, aku langsung menutup kedua telingaku, berharap aku tidak akan mendengar apapun setelahnya. Namun, semuanya tidak ada artinya...
"Mmmpphh...!!! Lepaskan ak—kuh!" Ibu mendesah tersiksa akan perlakuan kasar mereka. Dan aku... Hanya bisa melihatnya dari dalam lemari ini dan tak bisa melakukan apapun untuk menolong ibu.
Mereka memperlakukan ibu layaknya barang sekali pakai, lalu memukulinya, menamparnya dan melecehkannya. Hingga pada akhirnya, ibuku terpapar tak bernyawa. Dan aku hanya terdiam di dalam sini, karena takut, cemas, dan... Aku ingin menuruti kata-kata ibu berharap semuanya berakhir baik-baik saja. Meskipun pada akhirnya, semuanya berakhir secara mengenaskan.
Setelah sadar akan kematian ibuku, mereka kehilangan ketertarikan dan meninggalkan rumah kami. Lalu setelah mengonfirmasi kepergian mereka, aku memberanikan diri untuk keluar dari lemari dan menghampiri ibu. Setelah jasadnya kupastikan, nafasnya telah terhenti, jantungnya tak berdetak... Ibu... Ibu sudah meninggal. Meskipun semuanya ada di depan mataku, aku tak bisa menolongnya, aku tidak bisa meraih tangan lembutnya dan membiarkannya dirusak oleh orang-orang tak dikenal itu.
Kenapa... Kenapa ibu harus meninggalkanku? "...Apakah ini salahku? Aku... Aku..." Aku hanya bisa menangis dan mencoba menolak kenyataan, tapi apapun yang aku lakukan, semuanya tak ada artinya.
"Maaf..."
2 hari telah berlalu sejak kejadian itu, dan hari ini adalah hari pemakaman ibuku. Tamu-tamu yang datang... Semuanya hanya membicarakan tentangku.
"Kasihan sekali ya anak itu, padahal masih kecil tapi sudah ditinggal oleh kedua orang tuanya"
"Pasti berat untuknya"
"..."
Aku tak ingin mendengar apapun lagi, aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan tentang situasiku saat ini. Mengapa mereka mengabaikan tentang ibu? Aku tidak mengerti. Apakah karena mereka datang karena merasa kasihan denganku? Kalau begitu lebih baik untuk mereka tidak datang. Ah sudahlah, lupakan.
Saat aku berjalan menuju ke kamarku, aku tak sengaja menabrak seorang wanita. "—Ah, maaf..."
"Tidak perlu dipikirkan, selain itu, kamu Noa kan? maukah kamu tinggal denganku?"
"Tidak, terima kasih"
"Eeeh, jangan bersikap dingin seperti itu dong, aku kan bibimu"
"Hm?"
"Kamu sudah um.. maaf kalau menyinggung perasaanmu, tapi.. um.. kamu sudah tidak memiliki orang tua yang mengurusmu kan? Karena itulah, bisakah aku merawatmu? Selain itu, aku.. ingin membalas budi pada kakakku"
"Akan kupertimbangkan"
—Pada akhirnya, aku berakhir mengikutinya dan menjadi anak asuhnya. Meskipun ia bukan ibu kandungku, ia benar-benar menyayangiku seperti anaknya sendiri. Mungkin ini yang ia maksud dengan balas budi yang ia sebut sebelumnya.
Ngomong-ngomong, namanya adalah Ana. Seorang pekerja keras yang belum pernah menjalin hubungan percintaan dengan lelaki; dengan kata lain, seorang perawan tua yang menyedihkan. Dan aku menjalani hari-hariku bersamanya sebagai keluarga. Namun hari-hari itu benar-benar terasa menyenangkan, aku berharap keseharian ini akan terus berlanjut selamanya... Atau setidaknya begitulah yang kuharapkan.
Hari ini adalah ulang tahunku yang ke-14, yang berarti sudah hampir 7 tahun aku menjalani keseharianku bersama Ana. Hari ini kami berencana untuk merayakan ulang tahunku dengan berjalan-jalan, dan Ana menjanjikan sebuah hadiah setelah kami kembali ke rumah.
Hari ini terasa sangat menyenangkan, kami pergi ke kafe, menonton film di bioskop, dan hal-hal lainnya... Sejujurnya ini lebih terasa seperti kencan.
Waktu berjalan terasa lebih cepat dari biasanya, mungkin karena aku menikmatinya. Dan pada saat sore hari sebelum kami memutuskan untuk kembali—
"Ah... Noa, aku merasa sedikit haus, aku akan pergi membeli minuman, ada yang ingin kamu beli?"
"Cafe au Lait"
"Oke, tunggulah aku disini dan jangan berkeliaran sampai aku kembali, akan merepotkan jika aku harus mencarimu nantinya"
Tanpa kusadari, itu adalah kata-kata terakhir yang kudengar dari Ana.
Sudah hampir 30 menit setelah Ana pergi, dan ia belum kunjung kembali. Karena sedikit bosan, aku mengabaikan kata-katanya sebelumnya dan memilih untuk menyusulnya.
Tak lama setelah aku berjalan, aku melihat kerumunan yang cukup ramai. Karena penasaran, aku memutuskan untuk mendekatinya.
"Hei bukankah keadaannya sangat menyedihkan? setengah wajahnya bahkan sampai hancur"
"Kau benar, bahkan sudah cukup sulit untuk mengenalinya dalam kondisinya saat ini"
Sepertinya habis terjadi kecelakaan, aku cukup penasaran dengan korbannya, jadi aku mencoba menerobos kerumunan itu. Setelah berhasil menerobosnya, aku mencoba untuk mendekati sang korban.
Entah kenapa aku merasa ada yang janggal saat melihatnya, saat kuteliti lagi, ternyata korban tersebut adalah Ana. Setelah menyadarinya, berbagai emosi bercampur aduk dalam kepalaku— Kesedihan, kemarahan, keputus-asaan, dan berbagai emosi negatif yang mengingatkanku pada kematian ibuku.
Pada akhirnya, segala sesuatu yang berharga bagiku memang ditakdirkan untuk lenyap, ya?
Yang pertama adalah ayahku, ibu pernah berkata bahwa ayahku meninggal sebelum aku lahir, jadi aku hanya bisa mengenali wajahnya melalui dari album foto lama yang ibu tunjukkan padaku.
Lalu yang kedua adalah ibuku, dia... Meninggal tepat didepan mataku, dan diriku yang tak bisa melakukan apapun pada saat itu membuatku membenci diriku sendiri.
Namun, Ana mencegahku untuk membenci diriku lebih jauh lagi, Ana mengajarkanku tentang banyak hal, terutama tentang cinta dan kasih sayang. Ana adalah orang yang benar-benar berharga bagiku. Dan tepat di hari ini, Ana pergi menyusul kedua orang tuaku.
Mengapa tuhan selalu merenggut segala hal yang penting untukku? Mengapa harus aku? Apa aku ditakdirkan untuk tidak boleh merasakan kebahagiaan?
Polisi pun datang dan mengonfirmasi kejadian tersebut, lalu akhirnya mereka membawa Ana untuk mengotopsi jenazahnya.
Beberapa hari berlalu, dan akhirnya Ana pun dimakamkan. Pada hari pemakamannya, aku merasakan hal yang sama pada saat hari pemakaman ibu. Para tamu yang datang... Semuanya membicarakanku. Namun pada kali ini, mereka tidak mengasihaniku namun malah menganggapku sebagai pembawa kesialan.
"Bukankah semua orang yang ada di sekitarnya selalu mati dalam kondisi mengenaskan?"
"Kau benar, kita tidak boleh mendekatinya"
"Lebih baik kita peringatkan yang lainnya juga"
"..."
Aku hanya bisa terdiam, pada saat ini aku tidak bisa berpikir secara jernih karena emosi yang bercampur aduk di pikiranku.
Pada akhirnya aku hanya bisa pasrah, aku hanya terdiam menerima kenyataan yang pahit ini.
Mereka bilang bahwa takdir adalah kehendak tuhan. Kelahiran dan kematian adalah takdir— Yang dimana kelahiranku dan kematian orang terdekatku juga termasuk kedalamnya.
Jika aku bertanya "Mengapa aku harus mengalami semua ini?", maka jawabannya adalah "Karena tuhan sudah mentakdirkanku untuk terlahir dan mengalami semua penderitaan itu".
Jika aku bertanya "Mengapa orang yang berharga bagiku selalu menghilang dari sisiku?", maka jawabannya adalah "Karena tuhan sudah mentakdirkannya".
Dan jika aku bertanya "Lalu siapa yang salah? Siapa yang harus bertanggung jawab atas semua kesedihanku?", maka sudah jelas jawabannya adalah "Tuhan itu sendiri".
Karena itulah aku terus hidup dengan mengutuk keberadaan tuhan, berharap aku bisa melenyapkannya dengan tanganku sendiri. Meskipun terdengar mustahil, aku terus mengutuknya dan melanjutkan kehidupanku yang baru tanpa Ana.
Semenjak kejadian itu, aku terus mengurung diri di dalam kamarku. Hanya keluar rumah jika diperlukan seperti sekolah, belanja dan lainnya. Selebihnya, aku hanya bermain game dan membaca e-book dari komputerku. Keseharian yang membosankan ini terus berlanjut hingga tanpa kusadari, setahun telah berlalu; Aku sudah menjadi anak sekolah menengah atas sekarang.
Sejujurnya, tidak ada yang spesial dengan ini. Namun, setelah upacara penerimaan siswa—
"Selamat siang, apakah kamu Noa Aristia?"
—Gadis ini datang menemuiku.
"Umm, ada perlu denganku?"
Rambut hitam pekat yang anggun, mata biru yang indah, kulit putih yang cerah, kemudian wajah cantik yang menawan. Ia benar-benar seorang malaikat. Lalu, ada keperluan apa denganku? Aku masih penasaran
"Sebenarnya, u-uh... A-Aku—" Kata-katanya terhenti sejenak.
"..."
"B-Begini... Noa, M-M-Maukah kamu menjadi kekasihku?"
Eh? Betapa Merepotkan.
"Sebelum itu, siapa namamu?
"Ah, um... Maaf untuk ketidaksopananku. Namaku Aira. Aira Vignette"
"Oh. Maaf, Aira. Aku gak bisa membalas perasaanmu"
"Eh? Apa aku tidak menarik bagimu?" Tanyanya sambil menahan air mata.
"Bukan begitu. Aku hanya tidak terlalu tertarik untuk berhubungan dengan seseorang"
—Begitulah. Karena siapapun yang dekat denganku pasti akan menghilang cepat atau lambat. Jadi lebih baik untuk menghindarinya.
"S-Setidaknya bisakah kita menjadi teman?"
"Aku cukup keberatan tentang ini, tapi yah, tidak ada salahnya"
"Terima kasih" Ucapnya lega.
"Untuk apa?"
"Lupakan. Kesampingkan itu, aku akan membuatmu jatuh padaku suatu saat nanti, jadi bersiaplah!"
"Mm..."
Dan dengan itu, kehidupan sekolahku di SMA pun dimulai.