Kave menatap Andika yang basah kuyup, beberapa luka lebam yang kemarin belum sembuh kini bertambah dan malah lebih penuh dibanding kemarin. Ia sudah mengulurkan seragam olahraga barunya sebagai bentuk kepedulian tadi, namun pria itu menolak dengan alasan sudah membawa dari rumah.
"Sudah dibilang jangan ikut kelompok seperti itu, masih aja bandel kamu, Dik," ucap Cyra dengan nada ketus.
Bel pulang sudah berbunyi sedari tadi, Kave awalnya berniat pulang bersama anak sambung mamanya ini. Saat itu ia heran dengan Cyra yang bukannya menuju luar malah berjalan cepat menuju kamar mandi pria. Kembali di herankan lagi ketika melihat Andika basah kuyup di sana dan juga respon gadis itu yang nampak biasa saja.
"Maksud lo?" tanya Kave penasaran.
"Kamu orang kota, pasti paham sama apa yang terjadi."
"Maaf?"
Apa hubungannya?
"Pembullyan, kelompok berandalan, kamu pikir itu cuma ada di kota aja?"
"Jadi, apa maksud lo?"
Berhenti bertele-tele dan cepatlah menjelaskan, ini mulai mengesalkan.
"Sudahlah Ra, jangan dibahas. Aku kan sudah bilang jangan ikut campur."
"Gila kamu, belum aja kamu aku aduin ke ayah."
"Kamu mana paham, hidupmu di sekolah kan tenang tenang aja. Kalau aja ayah punya uang udah pasti aku pindah dari lama."
"Kok malah nyalahin ayah sih kamu, gila. Ini semua salahmu sendiri kan?"
"Aku gak ada salahin ayah, Ra. Aku cuma cerita, aku juga tau ini salahku, kamu kenapa sensi sih? Bikin aku makin males cerita sama kamu."
Kave berada di antara dua orang yang saling beradu mulut, satu berada di bilik kamar mandi dan satu lagi berada di luar. Bagaimana bisa mereka mengobrol di antara bau kamar mandi, ewh.
Ia tidak paham, memainkan ponselnya untuk membalas pesan sang ayah yang baru saja mendapatkan jam bebas untuk makan siang. Ia mengadukan banyak hal kepada ayahnya, seperti anak kecil yang mengadukan hari-harinya di sekolah pada orang tuanya.
"Sudah selesai?" tanya Kave ketika menemukan Andika keluar dari bilik kamar mandi dengan seragam olah raga.
"Kamu enggak apa-apa naik angkutan umum?" tanya Cyra padanya.
Ia menghendikkan bahunya, ini pertama kalinya dan ia sama sekali tidak tertarik. Dibanding memanggil mamanya untuk menjemput, ini lebih baik daripada itu.
"Kamu bisa meminta ibu untuk menjemput kamu," sahut Andika dengan suara pelan.
"Enggak perlu."
Ketika sampai di gerbang sekolah, ia menemukan empat orang asing yang menyapa Andika. Hanya sisa mereka diantara banyaknya angkutan umum yang menunggu penumpang disini, beberapa murid lain sudah masuk dan duduk di dalam. Kave membayangkan seberapa pengapnya didalam sana.
"Kamu ada kerja kelompok, Dik?"
"Iya, seni budaya."
Mereka menaiki angkutan umum secara bergantian, Kave baru pertama kalinya dan tadi kepalanya hampir saja terantuk jika ia tidak reflek untuk lebih menunduk.
Biaya angkutan umum miliknya dibayar oleh Andika karena insiden mereka terdiam bersamaan ketika Kave mengulurkan uang lima puluh ribuan saat mereka sedang iuran membayar ongkos.
Hanya dua ribu untuk pelajar, ia pikir akan mencapai lima ribuan.
Berjalan menyusuri jalanan desa sambil sesekali mengobrol, Kave lebih tinggi diantara yang lain, wajahnya yang sedikit kebulean ditambah dengan merk hoodie dan sepatunya yang menambah kesan menonjol diantara yang lain membuatnya tak sedikit merasa diperhatikan orang-orang ketika melewati jalanan pemukiman.
Kave diam sepanjang jalan, melihat kesana kemari dengan maksud menghapal jalanan. Berbeda dengan jalanan perumahannya, jalanan disini lebih ramai. Anak kecil berlarian di jalanan, bermain bersama entah memainkan apa. Motor bersliweran sesekali mobil juga bersliweran, bahkan ia sesekali menemukan ibu-ibu yang sedang berlarian sambil menyuapi anak mereka yang sedang bersepeda. Suasana yang asing dimatanya lantaran ia yang sejak lahir hingga sebelum pindah kemari selalu berteman dengan kebisingan perkotaan dan polusi. Yah, tidak buruk lah untuknya.
"Baru pulang, Ra, Dik?" tanya seorang gadis remaja saat si kembar menyapa gadis itu tadi.
"Iya, mbak. Nanti malam jadi kan?" balas Cyra pada gadis itu.
"Jadi, oh iya Dik, tadi kata mas Ranu nanti kamu dijemput sekalian bawa anak yang baru pindah ke rumahmu. Tadi disuruh nenekmu buat ajak dia katanya."
Kave menoleh, dia merasa dirinya disebut secara tersirat meski ia tahu gadis itu tidak mengetahui bahwa yang dibicarakannya adalah dia.
"Oh iya mbak, nanti aku ajak tapi beneran di jemput kan mbak? Hp ku lagi rusak jadi gak bisa buka grup. Cyra lagi enggak ada kuota katanya."
"Iya santai, nanti kita jemputnya ramean kok."
"Yaudah deh mbak, duluan ya."
Mereka mengangguk sambil berlalu, Kave menjawil Cyra yang berjalan di sampingnya.
"Ada apa?"tanyanya pada gadis itu.
"Nanti malam ikut kumpul remaja ya, disini anak remaja ada acara seperti itu setiap malam minggu."
"Ini malam rabu?"
"Ada acara nikahan, jadinya kita rapat."
Kave mengangguk meski tidak paham, "wajib ikut?"
"Iya kalau kamu mau bersosialisasi, kamu kan bakalan tinggal lama disini jadi lebih baik ikut."
Mengangguk lagi dan kembali menghapal jalan, ia beberapa kali menemukan warung kecil di depan rumah, ada juga yang menjual makanan yang mana pembelinya dipenuhi oleh anak kecil.
Ketika tiba di rumah mamanya, ia menemukan sebuah mobil terbuka di depan pagar bambu, di atas sana ada motor mahalnya yang sedang diturunkan. Oh, sudah tiba hari ini, hehe.
Di depan sana ada nenek, mamanya dan suami mamanya berdiri menatap motor yang kini sudah berada di atas jalanan. Kave membuka ponselnya, memotretnya dan mengirimkan ke papanya sebagai informasi. Papanya membalas dengan cepat, memintanya untuk memberi uang pada orang suruhannya itu.
"Sudah selesai diperbaiki?" tanya Kave ketika melihat body mulus motornya.
Terakhir kali ia body motornya terdapat beberapa baret akibat jatuh di jalanan.
"Sudah, mas. Maaf terlambat," jawab orang itu.
"Bukan masalah, ini titipan dari papa." Kave mengulurkan dua lembar seratus ribuan suruhan ayahnya, seratus ribu untuk satu orang begitu pinta ayahnya.
Mereka berterima kasih lalu pamit pergi, Kave menyalakan motornya dan memasukkan ke dalam garasi seperti ucapan mamanya.
"Keren motormu, pasti mahal ya?" tanya suami mamanya ketika beliau sedang mengatur garasi agar muat untuk motornya masuk. Berbahaya sebenarnya, tapi tak masalah lah.
"Tidak tahu, hadiah." Tidak mungkin kan ia berkata bahwa ini seharga ratusan juta bukan?
"Andika pernah minta sebenarnya, tapi om belum ada uang. Harga yang paling murah berapa ya, nak Kaven?"
"30 jutaan mungkin, tidak pernah bertanya."
"Begitu ya, nanti om tanya ke mama kamu dulu. Terima kasih, ya."
Kave mengangguk, berjalan beriringan menuju dalam rumah dan menemukan Andika yang duduk lesehan di ruang televisi bersama teman satu kelompoknya.
"Kaven, sudah makan siang?" tanya mamanya ketika menemukan Kave yang masuk ke dalam rumah.
"Belum."
"Mama harus ke toko sekarang, nenek sedang pergi ke kebun tapi mama sudah masak tadi mungkin sekarang sudah dingin. Papamu bilang kamu lebih suka makanan yang masih hangat ya? Nanti kalau mau makan di hangatin ke kompor dulu ya, kalau tidak bisa nanti minta tolong Cyra. Tidak apa-apa kan?"
Kave mengangguk, mamanya tersenyum lalu menepuk puncak kepalanya.
"Andika, ibu titip Kaven ya. Diajakin ngobrol biar cepat akrab, ayah mau pergi ke sawah soalnya. Kamu juga jangan lupa makan, ajakin juga temennya. Ibu sudah masak banyak tadi."
"Iya bu, hati-hati dijalan."
"Iya sayang. Mama tinggal ya, Kaven baik-baik dirumah."
Kave mengangguk, menggumamkan kata hati-hati yang entah ibunya dengar atau tidak.
Memasuki kamar untuk berganti baju dan keluar menuju dapur untuk mengambil air minum. Bukannya tidak memiliki selera makan tapi ia hanya merasa sudah kenyang saja.
"Disini makan bersama cuma saat malam aja, kamu kalau lapar bisa langsung ambil makan," ucap Cyra tiba-tiba.
"Lo tahu tempat yang disana jualan apa?" tanya Kave sambil menunjuk arah warung yang ramai diisi oleh pembeli anak-anak.
"Sosis sama bakso bakar, ada yang lain juga sebenarnya. Kamu mau beli?"
"Penasaran, enak?"
"Enak kok, kalau kamu mau aku bisa temani kamu beli."
"Penasaran aja, rame soalnya."
Menaruh gelas di tempat pencucian piring dan mencucinya sebentar, ia mengambil ponselnya di meja lalu berjalan keluar sambil membawa kunci motornya. Berniat memutari kawasan sini sambil mencari udara sepertinya tidak buruk.