Pukul lima lebih tiga puluh menit, tentu saja Kave sudah berada di persimpangan terakhir arah rumah mamanya. Tepat seperti ijinnya kemarin sore, Kave yang memang sejak awal sudah terbiasa pulang di jam-jam ini tentu saja tidak merasa keberatan.
Mobil milik mamanya memasuki garasi yang kosong, garasi yang tidak dilengkapi pintu itu terasa kosong tanpa ada apapun. Tadi, mamanya sudah memberitahunya untuk menunggu lantaran beliau sedang pergi ke masjid untuk shalat subuh. Hanya ada Cyra yang sedang datang bulan di rumah ini, Kave memilih duduk di bangku kayu teras rumah.
Hawa dingin menjadi temannya menunggu sambil meminum kopi kalengan yang ia beli semalam. Satu paper bag dan juga satu plastik hitam berada di atas meja, menemani satu kotak rokok lengkap dengan pemantiknya, dan juga topi hitam yang baru saja ia lepas disana.
Ponselnya berdering, sebuah panggilan masuk dari ayahnya menyapa matanya tepat setelah ia memberi pesan pada pria itu bahwa ia sudah sampai di rumah mamanya dengan selamat.
Ah, pak tua ini pasti tidak tidur lagi hari ini.
"Tidak tidur lagi hari ini, pak tua?" tanyanya setelah panggilan terhubung.
"Apakah itu yang kamu tanyakan pada papamu tepat setelah mengangkat panggilan, Mavelgar?" tanya pria di seberang sana dengan jengah.
"Haruskah aku mengatakan selamat pagi untukmu, pa?" ejeknya sambil memainkan kotak rokok di tangannya.
"Disini hampir malam."
"Aku tahu," balasnya dengan terkekeh.
Suara ayahnya teredam oleh suara pintu terbuka, Kave menolehkan kepalanya dan menemukan Cyra di ambang pintu dengan wajah bangun tidurnya.
"Kebangun?" tanya Kave ketika mata keduanya bersinggungan.
"Emang biasa bangun jam segini, kamu udah daritadi disitu?"
"Lumayan," jawabnya dengan santai.
Kave berdiri, dengan kesusahan mengambil barang di meja untuk dibawa masuk.
"Ini roti, belinya tadi malem sih terus di taruh di kulkas hotel sama temen gue. Masih baru kok, harusnya sih masih enak ya," ucapnya sambil mengulurkan paper bag kepada Cyra tepat setelah ia masuk.
"Kamu yang beli?" tanya gadis itu sambil menerima paper bag yang ia ulurkan.
"Mhm, ini bubur ayam gue beli di lapangan depan sana. Gue udah sarapan di hotel, sengaja beli aja," ucapnya sambil berlalu setelah mengelus rambut Cyra yang sedikit berantakan.
Kave menatap tangannya seolah menanyakan apa yang dilakukan tangannya tadi, ia kemudian menggeleng lalu kembali menempelkan ponselnya di telinga.
"Pa, maaf," ucapnya dengan pelan, permintaan maaf karena sudah mengabaikan papanya yang sedang menelfonnya hanya untuk berbicara dengan Cyra.
"No need to say sorry, boy," jawab papanya dengan lembut, bibir Kave menyungging dengan alami mendengarnya.
Memasuki kamarnya dan menaruh ponsel di meja belajarnya setelah menyalakan loudspeaker. Tangannya sibuk menata barang bawaannya ke koper, ia juga mengganti pakaian meski ia belum mandi. Mengambili pakaian kotor untuk ia cuci sambil sesekali menjawab ayahnya yang bertanya apa yang sedang ia lakukan akhir-akhir ini. Pak tua itu selalu menanyakan apapun yang ia lakukan setiap harinya meski terkadang membalas terlalu lama, Kave cukup senang dengan itu.
"Jadi apa yang kamu lakukan sehingga kembali di pagi buta?" tanya pak tua itu dengan penasaran.
Kave terdiam sejenak, ia kemudian berdiri dari jongkoknya. Menaruh ponsel di atas tumpukan pakaian kotor di keranjang dan membawanya keluar.
Berpikir sejenak sebelum menjawab dengan entengnya, "pergi ke cafe, mengobrol dengan kopi, memutari mall, ah lalu aku juga menonton bioskop."
"Apa yang kamu lihat? Apakah itu menyenangkan? Beritahu padaku, aku akan melihatnya ketika memiliki waktu luang."
Matanya bersinggungan dengan orang-orang yang ada di meja makan, ia tersenyum tipis lalu mengangguk sekilas, berjalan sambil membawa keranjang pakaiannya menuju luar rumah untuk mencuci sambil membalas pertanyaan papanya.
"Aku tidak yakin dengan itu, kurasa itu bergenre horror."
"Bagaimana bisa kamu tidak yakin dengan apa yang kamu lihat?"
"Kami membeli tiket secara mendadak, lalu keluar dari bioskop ketika mall sudah tutup. Itu sekitar pukul satu pagi, aku sedikit lupa tentang itu," jawabnya sambil memasukkan pakaian kotornya ke mesin cuci, jarinya dengan lihai menekan tombol yang ada di mesin cuci.
"Dasar anak nakal, berapa lama kamu tidur hari ini? Ingatlah tentang kesehatanmu sendiri, Mavelgar."
"Tidak sesingkat jam tidurmu, pak tua," ejeknya yang langsung dibalas degusan kesal dari papanya.
Kave tertawa singkat, ia memasukkan pakaiannya ke mesin pengering dan menekan tombol untuk mengeringkan baju. Bersandar di mesin cuci yang bergoyang masih dengan telefon yang belum dimatikan.
"Apakah kamu akan kembali akhir semesterku, pa?" tanyanya secara tiba-tiba. Ah, ia baru saja mengingat tidak lama lagi kenaikan kelas akan tiba, tentu saja libur panjang akan tiba.
Tidak ada jawaban dari seberang sana, Kave juga ikut terdiam, ia seolah sudah menyiapkan hatinya untuk kemungkinan yang akan terjadi.
"Aku, ah pertama aku akan meminta maaf pada putraku satu-satunya." Suaranya lemah dan terdengar sedikit parau, pria itu menarik nafas panjang kemudian melanjutkan ucapannya, "aku baru saja mendapatkan informasi bahwa ibuku, oma mu, jatuh sakit beberapa hari yang lalu."
"Apakah ada sesuatu yang buruk terjadi pada oma ku?" tanyanya dengan pelan.
"Tidak buruk, jangan khawatir tentang itu, dokter berkata bahwa ibuku hanya lelah. Beliau sudah tua untuk mengurus semuanya, stress lalu kelelahan."
"Senang mendengar oma ku baik-baik saja."
"Ya, aku juga. Hanya saja, itu membuatku tidak dapat kembali ke Indonesia di masa liburmu nanti, Kave. Kita mungkin tidak ada bertemu lagi sebelum kamu lulus, aku menyesal tentang itu."
Diam, suasana pagi dengan suara kokokan ayam jantan, bahkan suara pengering pun sudah terdiam. Kave diam, tidak ada suara lagi.
"Ah, begitu ya. Tidak masalah, jaga oma ku dengan baik pa, i beg you."
"Kamu tahu kan, bagaimanapun juga tingkah laku putraku, seberapa sulit diaturnya kamu, jangan pernah berpikir bahwa aku membuangmu, Kave. Papamu ini hanya menitipkanmu pada ibumu sementara waktu, kamu mengerti kan?"
Kave tersenyum singkat, ia menarik nafas pelan sebelum menjawab dengan santainya.
"Aku mengerti, mereka memperlakukanku dengan baik, pa. Jangan khawatirkan aku, aku makan teratur disini."
"Aku tahu, kamu adalah putraku, benar?"
"Mhm." Kave menatap mesin cuci sedikit lebih lama, ia kemudian melanjutkan ucapannya, "pa, aku harus segera mandi sebelum terlambat. Aku akan mematikan panggilannya segera."
"Baiklah, laporkan padaku jika kamu sudah akan berangkat. Hari ini perjalanan pertamamu di sekolah baru, bukan?"
"Ya, aku mengerti. Sampai jumpa, pa. Kamu tidak memiliki istri jadi jaga kesehatanmu sendiri."
"Ya, baiklah, cerewet. Jaga dirimu, Kave, aku akan senang jika hanya mendengar kabar tentang kamu yang bersenang-senang."
Panggilan pun dimatikan, senyum di bibir Kave memudar dengan perlahan. Pria itu nampak bersandar di mesin cuci, mengotak-atik ponselnya kemudian mengantonginya untuk segera menjemur pakaian.
Menjemur sambil sesekali bersenandung, hanya nada yang di ulang, secuil nada yang ia dengar di cafe semalam. Begitu asyik dan nampak biasa saja, bahkan tidak menyadari ada seseorang gadis yang menguping sejak awal pembicaraan. Gadis itu berlalu dengan pikiran yang bercabang, menduga-duga bahwa suasana hati Kave sedang tidak baik.