Chereads / Adios — Tentang Perpisahan / Chapter 12 - 12. Teman Lama

Chapter 12 - 12. Teman Lama

"Anjing."

Umpatan itu membuat seorang di sebrang sana tertawa kencang, Langga, si pemanggil. Iya, Langga Danuwaksa yang tadi ditanyakan oleh Daniar itu. Pria itu cukup dekat dengan Kave, keduanya sering bermain bersama meskipun tidak satu sekolah dulunya dengan beberapa teman lainnya. Oh, haruskah ia meralatnya dan mengatakan bahwa keduanya sangat dekat?

Iya, bisa dibilang keduanya berada di satu pertemanan yang mana sudah berlangsung sejak lama sekali, bersama beberapa orang lain. Penyebutannya mungkin satu circle gitu kali ya, wkwk.

"Kasar ah, kata Angel suruh buka chat," ucap pria itu sambil terkekeh.

"Lowbat, bilangin."

"Ogah."

"Anjing, titipin salam buat Vanka, Lang, bilang kalau udah ga betah sama Ucup suruh selingkuh sama gue aja," ucap Kave dengan bercanda.

"Ogah mama gue sama lo, pengangguran," balas Langga dengan kesal, lagi-lagi temannya menyukai mamanya yang katanya sih cantiknya melebihi bidadari.

Iya, Vanka alias mamanya Langga itu kayak anak muda banget, cantik, asik, duh wanita idaman deh pokoknya.

"Gue sama suaminya juga cakepan gue," ucap Kave dengan sombongnya.

"Ucup kaya, anjing. Lo mana bisa nandingin si Ucup kalau gak ada Aceng, bokap lo itu."

"Kayaan juga Aceng daripada ucup lo yang gak seberapa itu."

"Tapi Aceng duda, broken home cant relate lah pokoknya," jawab Langga, Kave tahu kok ini becandaan, ia juga tidak ambil ke hati karena bercandaan seperti ini sudah biasa diantara teman temannya.

"Anjing lu, menyakiti hati gue banget."

"Berisik ah, ganggu orang pdkt aja," balas si Langga dengan kesal. Lah lah, yang ganggu siapa yang marah siapa, aneh anak Ucup ini.

Kave tidak menjawab, mengacungkan jari tengahnya lalu membiarkan Langga dan Daniar mengobrol di sampingnya meski ia kesal mendengar gombalan freak Langga setengah mati. Kave menghabiskan makannya dalam diam, entah siapa yang memasaknya tapi sayur disini sedikit asin.

Mendorong piringnya yang sudah kosong, Kave lantas menoleh ketika melihat Cyra yang kebingungan karena bangkunya di pakai Daniar. Sudah hampir tiga puluh menit sejak ia duduk disini, tapi ia baru melihat Cyra sekarang, tentu saja kursi sudah terisi penuh karena gadis ini cukup terlambat.

"Tadi kamu udah aku sisain kursi, Ra, tapi malah di ambil," sindir salah satu teman Cyra pada Daniar yang mereka anggap caper dengan Kave, si anak baru yang sudah terkenal ini.

Mentang-mentang kenal sama temen deketnya Kave, gitu kata orang-orang.

"Mana gak tanya dulu lagi, asal duduk aja," sindir yang lainnya.

Kave diam, ia menatap Daniar yang masih acuh sambil makan dengan panggilan video yang masih berlangsung.

Kave berdiri, memasukkan ponsel ke sakunya lalu membawa piring serta gelas miliknya.

"Duduk aja, gue udah selesai," ucap Kave sambil berjalan menuju tempat untuk menaruh piring kotor.

Duduk di bangku kayu, ia mengambil charger di dalam tasnya kemudian dicolokkan di stop kontak. Numpang charger gitu ceritanya, duduk sambil memainkan ponselnya yang masih di charger. Melihatnya duduk menyendiri, beberapa guru pembimbing yang ikut mengawasi mendatanginya. Ikut duduk di sekitarnya, mengajaknya mengobrol.

"Kalaven itu pindahan dari Jakarta, ya?" tanya bu Diah, guru pembimbing jurusan Bahasa yang sekaligus menjadi guru Sosiologi.

"Iya," balas Kave dengan singkat.

"Lahir di Jakarta juga? Wajah kamu bukan seperti wajah orang Indonesia soalnya," ucap Pak Dono, guru bimbingan konseling.

"Kenapa pak? saya ganteng ya?" candanya sambil tersenyum jahil.

"Waduh, ya masih gantengan saya waktu masih muda lah."

"Gantengan saya kali pak," jawabnya bercanda.

Beliau tertawa mendengar jawabannya, bercanda dengan guru seperti ini selalu saja lucu. Meski terkadang sebuah nasihat diselipkan di setiap candaan, tetap saja Kave tidak merasa aneh, ya sedikit canggung aja sih.

"Anak gadis ibu satu tahun di bawah kamu, sekolahnya di SMA Negeri, nanti ibu kenalkan sama anak ibu."

"Waduh, ganteng-ganteng begini ya pasti sudah punya pacar dong, bu Mega," ucap bu Diah yang diberi anggukan setuju oleh pak Dono dan satu lagi seorang guru olahraga, pak Ahmad.

Kave meringis, mengusap tengkuknya dengan canggung seraya berkata, "saya belum punya pacar bu."

"Loh, saya seusia kamu sudah gonta-ganti pacar," sahut pak Ahmad, panggil saja pak Mamat.

"Kok malah di ajarin jadi kayak pak Ahmad," ejek pak Dono sambil menepuk pundak pak Ahmad dengan pelan.

"Bukan ngajarin yang gak bener, pak Don. Cuma cerita kalau saya waktu masih muda juga ganteng kayak Kalaven begini, banyak yang naksir. "

"Waduh, gak banyak kok pak," jawab Kave dengan rendah hati.

"Jangan mengelak kamu, anak murid ibu banyak yang minta nomor kamu sama ibu," ucap bu Mega dengan tidak senangnya, wanita itu kan berniat untuk mengenalkan Kave dengan anak gadisnya.

Kave ini kan tampan, pintar, dan juga berasal dari keluarga kelas atas, tentu saja menjadi idaman para ibu-ibu dengan anak yang seusia dengan Kave.

"Saya pikir hanya kelas saya saja yang sering membicarakan Kalaven, ternyata kelas ibu juga?" tanya pak Dono.

"Padahal kamu dari jurusan ipa, tapi kenapa jurusan lain banyak yang bicarakan kamu, ya?"

"Kegantengan saya menonjol," sombong Kave sambil menyisir rambutnya.

"Mau disangkal tapi kok memang kenyataannya seperti ini."

Kave tertawa, ia menoleh ketika ponsel yang sedang mengisi daya diatas meja bergetar dan mengeluarkan nada dering yang khas.

Terpampang nama kakek Mel di sana, Kave mengambilnya, meminta ijin untuk mengangkat panggilan di luar resto.

"Malam," sapa kakek Mel ketika ia sudah mengangkat panggilan.

"Malam kakek, Kalaven belum sampai di Bali, baru saja sampai untuk makan malam," jelas Kave yang hanya dijawab tawa ringan pria tua ini.

Kakek Mel adalah adik angkat dari kakek kandung Kave, seorang laksamana madya. Sudah hampir pensiun, mungkin dalam waktu satu atau dua tahun lagi. Kakek Mel sebatang kara saat ini, tujuh tahun yang lalu istri, anak, menantu dan cucunya telah tiada akibat kecelakaan pesawat, berniat untuk menyendiri sambil mengurusi peternakan nanti setelah pensiun. Kave terkadang menemani beliau, meski tidak masuk ke dalam garis keluarga, kakek Mel tetap saja kakeknya, ditambah pula kedekatan kakek Mel dengan keluarganya, membuat hubungan keduanya seperti kakek dan cucunya.

Keluarganya itu, sangat rumit, mengerti?

"Kakek sudah tahu, temui kakek ketika sudah sampai Bali, ya?"

"Baik, kek. Kalaven akan kirimkan pesan kalau sudah sampai," jawab Kave dengan hati-hati.

"Benar, kalau begitu kakek matikan ya."

Panggilan dimatikan sebelum Kave menjawab, menatap layar hitam ponselnya dengan tatapan aneh, menghendikkan bahu dan memilih masuk kembali ke resto untuk mengambil charger.

***

"He just missing you."

Kave mengeryit mendengar pernyataan itu dari oma-nya.

"But kakek Mel hanya minta Kave untuk memberi kabar nantinya, oma."

"Kakek Mel besar gengsi, cucuku yang tampan ini tidak peka rupanya."

"Oke sorry about that, tapi gak mungkin ah, oma cantik"

"Apa yang tidak mungkin, cucuku ini sudah bersama dengan Mel cukup lama kan? Mel hanya rindu sekali dengan kamu, sama seperti oma dan opa juga."

Kave terdiam sejenak, ia kemudian mengangguk paham meski tahu bahwa oma tidak mungkin mengetahuinya. Beberapa menit yang lalu, tepatnya setelah kakek Mel mematikan panggilan, ponselnya langsung menerima panggilan masuk dari oma. Pembahasan malam ini tidak jauh dari kakek Mel, Kave yang tadinya berdiri bersandar di tembok restauran sekarang beralih duduk di bangku kayu.

Duduk dengan santai sambil menatap orang-orang kesana kemari, sesekali menyahut oma yang sudah lama tidak ia kunjungi ini.

"Cucuku," panggil oma dengan suara lembutnya.

"Disini, oma."

"Rindu sekali oma dengan cucu oma."

Terkekeh, Kave tersenyum dengan perasaan senang.

"Rindu oma juga, oma tidak mau kemari?"

"Sayang, oma ingin tapi oma sudah tua nak, sudah tidak cantik lagi."

"Siapa yang bilang oma tidak cantik lagi? marah nanti papa dan opa."

Oma disana tertawa, "dokter sudah datang, oma telfon cucu oma lagi nanti. Maaf ya, anakku dipinjam dulu, lain kali oma kembalikan anak oma ke cucu oma."

Kave tersenyum, "cepat sembuh oma, bilang papa dan opa untuk jaga oma cantik ya."

"Oma rindu cucu oma sekali, sayang sekali."

"Iya oma."

Panggilan dimatikan, dibanding kakeknya, neneknya memiliki tubuh yang lebih renta. Usia tua, ditambah lagi dengan tubuh lemah yang sudah bawaan sejak muda, tentu saja oma tidak akan seperti kakeknya yang cepat pulih. Kali ini saja, sudah kali ketiga oma kembali masuk igd. Tentu saja membuat Kave, dan papanya sedih, apalagi kakeknya yang sebegitu cinta kepada neneknya.