Chereads / Adios — Tentang Perpisahan / Chapter 11 - 11. Tidak Berwarna

Chapter 11 - 11. Tidak Berwarna

Satu hal yang ia sadari sejak duduk di samping Andika, sebenarnya pria ini tidak seburuk itu. Pria ini sedikit asik meskipun sangat pendiam dan cenderung tidak nyambung ketika diajak mengobrol. Hanya saja, Kave memikirkan apa yang membuat Andika menjadi di jauhi dan mungkin di bully? Apakah dari penampilannya yang culun? Tapi ia melihat banyak murid yang lebih culun dari Andika, lagipula Andika juga bukan berasal dari keluarga yang bisa dibilang kekurangan dalam hal ekonomi. Aneh.

Suasana bus sudah biasa seperti ini, sama hal nya dengan study tour lain, isi bus sangat ramai, entah karaoke entah saling mengobrol yah pada umumnya memang seperti ini. Kali ini alunan lagu dangdut menyapa telinganya, music dengan mayoritas lirik adalah bahasa Jawa yang cukup sering ia dengar berseliweran di sosial media.

"Asek," seru salah satu murid laki-laki sambil mengulurkan uang pada murid perempuan yang menyanyi. Menyawer biduan, gitu ceritanya.

Bus berbelok ke sebuah pom bensin, mereka yang ingin pergi ke toilet langsung turun dari bus dengan bergerombolan.

"Kave ayo turun, cari cilok," ajak salah satu laki-laki padanya.

"Ada emangnya?"

"Ada."

Menuruni bus dan pergi ke abang-abang penjual yang menggunakan motor, berjalan sambil bercanda. Meskipun orang-orang ini bukanlah orang-orang yang satu kelas dengannya tetap saja mereka bisa menjadi akrab hanya setelah saling bercanda di dalam bus dan main game bersama.

Kave membawa satu plastik kecil cilok lima ribuan dengan tusuk sate sebagai penusuknya, ciloknya hanya diberi bumbu kacang dan kecap saja tanpa diberi bumbu aneh seperti yang lainnya.

"Kamu beli dimana?" tanya Cyra ketika ia sudah masuk di bus.

"Diluar, mau?" tawarnya yang diberi gelengan oleh gadis itu.

Padahal ia hanya menawari Cyra namun beberapa gadis malah datang dan menusuk ciloknya satu per satu.

"Keterlaluan kalian semua, yang punya belum makan udah dihabisin aja," ucap Daniar ketika melihat plastik cilok milik Kave hanya tersisa sedikit.

"Tau tuh, sadar diri dong," sahut yang lainnya.

"Lo berdua sama aja, anjing," ucap Kave pada kedua orang ini, padahal mereka juga minta.

Mereka tertawa bersama, ini hanya candaan, toh hanya makanan tidak membuat Kave memasukkannya kedalam hati.

"Absen dulu yuk sebelum berangkat," ujar guru pembimbing bus nya.

Guru mengabsen satu persatu, tiba saat namanya dipanggil, Kave menjawabnya dengan mulut teredam. Ia sibuk menunduk dengan tangan yang sedang mengikat tali sepatunya.

"Kalaven mana Kalaven, ada suaranya tapi ibu gak lihat anaknya."

"Lagi tali sepatu bu," seru seorang yang duduk di bangku sebrangnya.

Kave mendongak, mengangkat tangan sebagai bukti ia tidak tertinggal.

"Oke, semua sudah selesai di absen. Habis ini kita pergi lagi terus kita mampir dulu untuk makan."

"Kenapa namamu Kalaven?" tanya Cyra setelah bus kembali berjalan.

Iya, Kave kali ini duduk dengan Cyra lantaran kursi gadis itu kosong. Tidak ada hal khusus, karena memang Kave sedang menghindari cahaya yang sedang terik saja dan kebetulan kursi ini sedikit lebih baik dibanding yang lain.

"Gabungan dari nama Kalana sama Jeraven," jawabnya sambil bersandar dan mata yang tertutup.

"Nama ayahmu, Jeraven itu?"

Kave mengangguk, tidak ingin berkomentar banyak tentang ini.

Oma nya, berpiki dengan memberikan nama itu beliau berharap Kave akan menjadi jembatan cinta untuk kedua orang tuanya. Mama papanya di satukan lewat perjodohan, mereka jelas berbeda dalam hal ekonomi. Nenek dari mamanya, dulunya pengasuh papa Kave hingga usia remaja. Papanya sudah mengenal mama sejak kecil, meskipun tidak akrab karena papa cenderung membatasi diri.

Keduanya di jodohkan lalu hadirlah Kave di dunia ini, diberi nama agar menjadi jembatan malah justru namanya belenggunya sendiri. Orang tuanya berpisah, dan sejak itu juga ia jarang mendengar papanya memanggilnya dengan Kalaven. Hanya Kave yang beliau ucapkan ketika ia membangkang, dan Mavelgar untuk setiap harinya.

Tidak masalah baginya, toh ia tidak terlalu peduli tentang itu.

***

"Halo pa," sapanya pada seorang di sebrang sana.

Papanya menelfonnya, panggilan suara yang masuk ke ponselnya tepat setelah bus berhenti di rumah makan untuk makan malam. Entahlah, ia merasa perjalanan kali ini sangat lama.

"Sudah tiba?"

"Baru saja akan pergi makan malam

Bagaimana denganmu, pa?"

"Bekerja seperti biasanya."

"Jangan paksakan dirimu, pa. Kamu sudah tua," ejeknya sambil tersenyum tipis.

Ia saat ini sedang bersandar di badan bus yang terparkir, entah menunggu Cyra atau bahkan Andika yang pasti ia tidak bergerak sama sekali.

"Apakah hobi mu sekarang adalah mengejek papamu, Mavelgar?"

"Hanya bercanda, bukankan itu fakta?"

"Ya, baiklah. Bicara soal sudah tiba, aku sudah menelfon kakek Mel, beri tahu dia lokasi kamu."

"Untuk apa?"

"Entahlah, dia yang memintanya."

"Baiklah."

Kave menoleh, bus lain sudah tiba dan ia menemukan beberapa orang yang tidak asing di matanya. Kebanyakan orang bergerombol sembari membicarakan hal menyenangkan di dalam bus, suasana sekitarnya menjadi sedikit ramai.

"Sepertinya sangat ramai disana, jaga dirimu. Kabari aku jika sesuatu terjadi, mengerti?"

"Mengerti, aku akan menelfonmu lagi nanti, sampai jumpa."

"Ya, jaga dirimu baik-baik, Kave."

"Baiklah."

Panggilan sudah dimatikan, Kave masih terdiam di posisinya dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. Mematikan ponselnya kemudian menyimpannya di tas, Kave lalu berjalan menuju teman satu kelasnya yang menunggunya untuk foto bersama.

"Sudah semua kan? Ayo kita foto satu kelas dulu sebelum makan," ucap wali kelasnya.

Mereka kemudian meminta tolong salah satu anak kelas lain untuk memfotokan, 3 jepretan dengan angle yang sama namun gaya yang berbeda.

Ah, ia lupa mengambil uang cash ketika tiba di pom bensin tadi.

Memilih acuh, Kave lantas berjalan masuk ke restaurant bersama yang lainnya. Ia mengambil piring dan mengikuti yang lain berbaris untuk mengambil makanan.

"Kalau udah sampai hotel main game barengan enak kayaknya, ada yang bawa?" tanya salah satu laki-laki, teman satu kelasnya, jika ia tidak salah namanya adalah Yudha.

"Anak Sosial 2 ada yang bawa monopoli, nanti biar aku tanyain boleh gabung apa gak."

"Gue bawa uno," ucap Kave dengan santainya, tangannya sibuk memisahkan daging agam dari tulangnya dengan sendok dan garpu.

"Berarti ke kamar Kave ya, kita main uno bareng. Yang mau ikut datang aja, nanti dikabarin ke grup kelas."

Kave mengangguk, tidak masalah baginya. Toh ia yakin bahwa ia akan sangat bosan jika diam saja dikamar, ia sekamar dengan Andika dan dua teman Andika yang serupa. Iya tiga orang introvert berada di satu kamar dengannya, meskipun ia bukan seorang yang bisa dibilang extrovert tetap saja, merasa bosan itu hal yang wajar kan?

"Kave, tebak ini siapa," ucap Daniar dengan tiba-tiba.

Kave menoleh, gadis itu duduk di kursi sampingnya sambil membawa piring makan miliknya sendiri dan ponsel yang menyala.

Di depan bangku mereka ada teman Cyra, iya yang Daniar duduki adalah bangku yang sengaja dikosongkan untuk Cyra yang terlambat mengantri makanan.

"Siapa?" tanya Kave tidak mengerti.

"Yo, Kave. Long time no see, sehat lo?"

Suara yang familiar, layar ponsel yang tadinya hitam kemudian beralih menjadi wajah seorang pria seumuran dengannya. Tidak asing, wajah, suara, lalu tempat yang terdengar ramai itu.

"Anjing."