"Beneran tidak mau ibu antar saja?"
"Ibukan harus ke toko, kita bisa naik angkutan umum, bu."
Kave diam di tempatnya, duduk di bangku plastik teras rumah menatap sepasang anak kembar tak identik dengan ibu sambungnya berdebat perkara berangkat sekolah.
Motornya belum dikirimkan kemari, atau mungkin sudah dalam perjalanan? Kave pun tidak tahu itu. Ia duduk dengan seragam osis SMA lamanya karena atribut seragam barunya baru akan didapatkan nanti.
"Kaven, mama yang antar ya?"
Kave mendongak, menatap si kembar lalu ke mamanya dengan bergantian.
"Jauh?"tanya Kave dengan penasaran.
"Lumayan jauh, 45 menit dari sini,"jawab mamanya dengan wajah khawatir.
"Kamu diantar ibu saja, Kaven. Kita terbiasa naik angkot soalnya,"sahut Andika yang diberi anggukan oleh Cyra.
"Tidak apa apa?"tanya Kave pada mamanya, takut merepotkan.
"Tidak apa-apa, mama tidak terburu-buru kok. Mau ya mama antar, ya?"
"Oke."
Mamanya senang, masuk ke dalam rumah guna bersiap-siap setelah si kembar pamit berangkat kesekolah. Ini masih pukul enam lebih lima menit dan ia sudah bersiap pergi ke sekolah, sungguh bukan seperti dirinya pada biasanya. Ia bahkan sudah mencuci dan menjemur pakaiannya sendiri meski harus dibantu oleh nenek, ah sungguh menyebalkan melakukan semuanya sendiri.
Memasuki mobil satu-satunya dirumah ini. Tidak bisa dibayangkan bahwa ia akan duduk berdampingan dengan mamanya di dalam sebuah mobil.
"Kaven apa kabar?"tanya mamannya berbasa-basi.
"Baik? Ada apa?"
"Tidak apa apa, mama tidak menyangka Kaven mau tinggal sama mama. Papa dan kakek Kaven juga setuju Kaven tinggal bersama mama, mama rindu Kaven sangat lama."
Kave diam, suasana canggung setelah ucapan mamanya. Ia tidak tahu harus menjawab apa, sungguh.
"Ngomong-ngomong papa Kaven apa kabar?"
"Baik."
"Sudah kabarin papa kalau Kaven sudah sampai disini?"
"Sudah, papa sudah sampai juga."
"Mama senang dengarnya, semoga Kaven nyaman ya tinggal disini."
Kave mengangguk, mobil memasuki parkiran sekolah yang sepi oleh kendaraan pribadi.
"Disini tidak boleh membawa kendaraan pribadi kalau belum punya surat ijin, pasti Kaven penasaran ya kenapa parkirannya sepi."
"Sedikit."
"Nanti juga terbiasa, ayo mama antar Kaven sampai ruang kepala sekolah."
Kave menuruni mobil, mengenakan tasnya di salah satu bahu dan berjalan mengikuti mamanya menuju ruang kepala sekolah.
Koridor sudah ramai oleh murid, ia menjadi pusat perhatian karena wajah tampannya yang asing. Ditambah lagi dengan warna sepatunya yang mencolok, aturan mana yang memperbolehkan seragam osis dengan sepatu berwarna merah di hari selasa? Itu yang mereka pikirkan, mungkin.
Memasuki ruang kepala sekolah, membicarakan banyak hal dan menerima atribut baru serta seragam baru, hanya seragam identitas dan olahraga saja yang ia dapatkan.
"Mama tinggal ya? Kaven bisa telpon mama jika sudah pulang, atau pulang bersama Cyra dan Andika juga tidak apa apa."
Kave mengangguk, mengucapkan terima kasih dan membiarkan mamanya pulang. Mamanya kembali, tidak memeluk atau mencium keningnya, wanita itu merasa segan dan takut jika ia merasa tidak nyaman. Baguslah jika sudah mengerti.
Meninggalkan koridor yang sudah sepi lantaran bel sudah masuk, berlalu menuju kelas barunya dengan wali kelasnya yang membimbing.
"Selamat pagi anak-anak,"sapa gurunya dengan senyum ramah. Kave berjalan dibelakangnya, matanya menatap seisi ruang kelas. Menatap orang-orang yang menatapnya dengan penasaran.
"Hari ini kita kedatangan murid baru, ayo perkenalkan diri kamu, ganteng."
Apakah hanya dia yang merasa ucapan guru ini terasa sedikit, aneh?
"Kalaven, Kave sebagai singkatnya. Salam kenal,"ucapnya sok ramah meskipun wajahnya tetap tanpa senyuman.
Mayoritas murid perempuan menggunakan kerudung, hanya beberapa dari mereka yang tida mengenakannya. Kave dipersilahkan duduk di satu satunya bangku kosong, samping Cyra yang duduk sendirian di bangku terdepan baris kedua dari pintu masuk.
"Kalaven, saya akan mengingatkannya kembali. Sepatu berwarna hanya digunakan pada hari rabu dan kamis, selain hari itu sepatu berwarna hitam. Ponsel dititipkan pada wali kelas dan diambil jika guru mata pelajaran memintanya,"ungkap wali kelasnya, Kave mengangguk paham meskipun tidak memiliki niatan untuk mengikutinya.
"Kamu bisa titipkan ponsel pada saya sekarang, lalu lepas juga jaketmu jika sudah tiba di kelas."
Kave mengeryit, haruskah di hari pertama ia masuk?
Tangannya meraih kantong celana, mengambil ponsel mahal dan mematikan dayanya. Menaruh ponsel itu di meja guru dan berbalik dengan tidak perduli. Ia juga melepas jaket sehingga menampilkan kemeja putih yang tidak dimasukkan ke dalam celana.
"Masukkan itu seragammu."
Menurutinya tanpa protes, hari pertama harus patuh bukan?
Wali kelas keluar ketika bel pertama berbunyi, beberapa orang masih menatap Kave dengan ragu ingin mendekat. Kave menoleh ke arah Cyra, ia berpangku tangan dan menatap menyamping.
"Kenapa lo milih duduk sendirian di bangku depan?"tanya Kave penasaran.
"Tempat duduk di undi setiap hari, aku kebetulan dapat di sini."
Kave hanya mengangguk dan beroh panjang, memutar pulpen pilot milik teman sebangkunya lantaran bingung apa yang harus ia lakukan untuk mengisi waktu luang selagi menunggu guru pertama masuk.
Pelajaran dimulai, ia harus bersikap seperti anak patuh di hari pertama. Duduk tenang di bangku, menyimak pembelajaran, lalu mencatat apa yang perlu dicatat.
Bel istirahat berbunyi, Kave menoleh ke arah Cyra yang sudah berdiri dari duduknya.
"Kamu mau ke kantin sama siapa?"
"Gue enggak kenal siapapun disini."
"Mau ikut sama aku aja? Tapi aku sama temen-temen, mau?"
"Bukan masalah,"jawab Kave. Ia berdiri setelah memasukkan beberapa lembar uang ke dalam kantong belakang, tidak membawa dompet hari ini, ia hanya menyelipkan uang di tas saja.
Mereka berjalan bergerombol menuju kantin, bertemu Andika yang baru saja keluar dari keluar dari kelasnya dan pada akhirnya ke kantin bersama.
Berbeda dengan kantin di sekolah lamanya, disini tidak besar, semua bangku panjang sudah diisi penuh. Kantin pun hanya menjual gorengan, makanan ringan, nasi goreng, mie instan dan soto sebagai makanan beratnya. Ia melirik ke arah orang yang datang bersamanya, mereka hanya membeli gorengan sambil berdesakkan diantara murid lain.
Kave berdecak, ia mundur dan bersandar di dinding. Malas berdesakkan, sungguh.
"Kamu mau aku pesankan?"tawar Cyra yang menyadarinya mundur dari peperangan tak langsung ini.
"Aqua dan permen saja,"jawab Kave tanpa berpikir panjang.
Ia tidak memiliki keinginan untuk mencicipi makanan disini setelah melihat ramainya orang-orang disini.
Cyra mengangguk, mengambil pesanan Kave dan keluar setelah membayarnya.
Kave berjalan mengikuti Cyra menuju luar untuk menunggu temannya, beberapa murid masih memperhatikannya dengan penasaran.
"Berapa?"
"Lima ribu, kamu bisa ganti nanti saja kok."
Kave mengangguk, ia juga tidak memiliki uang receh sama sekali.
"Cyra udah lama nunggu?"tanya salah satu orang yang tadi ke kantin bersama.
"Enggak kok, siapa saja yang belum datang?"tanya Cyra.
"Enis, Andika, Witri, sama Ajeng aja kok."
Kave tidak perduli dengan obrolan keduanya, ia menunduk untuk membuka lolipop rasa coklat sebelum memasukkan ke dalam mulutnya.
"Kamu Kalaven kan? Salam kenal ya, aku Dini."
Kave mengangguk, membalas uluran tangan gadis yang bernama Dini seraya berkata, "Kave."
Mereka kembali ke kelas setelah berkenalan satu persatu, Kave menyambutnya dengan ramah. Hanya kedok karena ia bukanlah orang yang ramah pada orang asing.