Kave keluar ketika mobil berhenti di sebuah pelantaran rumah sederhana di pedesaan, suasana khas pedesaan yang tanpa dipenuhi asap kendaraan.
Seorang wanita tua berjalan dengan cepat memasuki halaman rumah, memeluknya dengan lembut. Kave terdiam dengan ini, apakah mereka saling mengenal?
"Tuhanku, kamu sudah segini besarnya?"ucap wanita tua dengan senyum terharunya.
"Ini nenek, Kaven,"ucap mamanya dengan lembut.
"Halo." Dari sekian banyaknya hal yang bisa di ucapkan, kata halo adalah satu satunya yang bisa Kave ucapkan di situasi saat ini.
"Kaven sehat kan? Nenek selalu ingin bertemu Kaven tapi Kaven tidak pernah mau bertemu,"ungkap wanita yang katanya neneknya ini dengan wajah sedih.
"Maaf." Lagi, hanya satu kata yang bisa ia ucapkan.
Beberapa tetangga terlihat melirik kemari, sepertinya mereka penasaran tentang apa yang terjadi disini.
Akhirnya mereka masuk ke dalam rumah, tidak besar namun tidak juga kecil. Tidak ada halaman luas yang bisa digunakan untuk bermain sepeda atau bahkan bermain bola seperti rumahnya. Tidak ada kolam renang, tidak ada televisi besar, tidak ada juga pekerja di rumahnya yang berseliweran melakukan pekerjaannya.
Kave dituntun menuju kamar, tidak ada lantai dua di rumah ini. Kamar ukuran 2x3 yang berisi satu kasur kecil, almari, dan meja belajar saja. Kamar mandi di rumahnya bahkan lebih besar dibanding kamar ini, tapi tidak apa apa, Kave harus sadar diri bukan?
"Maaf ya, kamar disini tidak sebesar kamar dirumah Kaven."
Kave menoleh pada mamanya, wanita itu seolah tahu apa yang dipikirkan oleh Kave yang hanya diam sambil menatap seluruh isi ruangan.
"Tidak masalah, terima kasih dan maaf jika merepotkan."
"Tidak merepotkan, Kaven adalah anak mama meskipun mama dan papa sudah bercerai sejak lama."
"Terima kasih, ma."
Asing, kata itu terasa asing di mulutnya. Kapan terakhir kali Kave memanggil wanita di depannya ini dengan sebutan mama? Ah bahkan dirinya saja sudah lupa saking lamanya itu terjadi.
"Kaven istirahat ya, nanti mama bangunkan ketika sudah malam. Mama kenalin sama anak-anak mama,"ucap wanita itu dengan senang setelah mendengar Kave memanggilnya mama.
Kave mengangguk, wanita itu keluar setelah memberi ucapan selamat beristirahat padanya. Kave mengunci pintu, merebahkan diri di kasur setelah membiarkan satu koper dan tas hitam yang berisi barang pentingnya tergeletak di pojokan kamar.
Kave tertidur, tidak senyenyak biasanya. Ruang yang masih asing ini tidak bisa membuatnya tertidur nyenyak. Duduk di kasur setelah bangun tidur, matanya menatap keseluruh ruangan kecil ini dengan seksama lagi.
Ah, tiba-tiba merindukan ayahnya yang biasanya jam segini baru saja kembali dari kantor. Eh, ngomong-ngomong pak tua itu apakah sudah mendarat? Melihat ponselnya yang belum menampilkan satupun notifikasi dari pak tua itu pertanda bahwa ayahnya masih berada di pesawat.
Kave keluar setelah menata isi koper ke dalam almari yang hanya berisi satu set seprai saja. Biasanya salah satu pekerja rumahnya yang akan menata hal ini, tapi kali ini ia harus menatanya sendiri.
Tidak buruk meskipun tidak se rapi biasanya. Keluar dengan membawa handuk, pakaian ganti dan perlengkapan mandi pribadinya. Menoleh kesana kemari mencari keberadaan kamar mandi di rumah ini.
"Kamu siapa?"
Suara asing menyapa telinganya, ada seorang laki-laki seumurannya dengan sarung kotak-kotak dan baju koko putih berdiri di belakangnya.
"Sorry, kamar mandi dimana ya?"tanya Kave tanpa berniat memperkenalkan dirinya.
"Di dekat dapur,"jawab pria itu.
"Lalu, dimana itu?"
Laki-laki itu menunjuk pintu plastik berwarna biru yang terlihat dari sini, di samping pintu itu ada sebuah pintu kayu yang terbuka sedikit.
Kave tidak menjawab, hanya mengangguk kemudian berlalu pergi menuju arah yang dituju.
Melakukan ritual mandi menggunakan gayung bulat berwarna hijau muda. Ia selesai dengan cepat, yah selesai seperti waktu normalnya ketika mandi.
Kave keluar dari kamar mandi hanya dengan celana pendek dan kaos saja, rambutnya masih basah sehingga membasahi kerah kaos. Memasuki kamar yang ia tempati untuk menyisir rambut dan memakai parfum yang biasa ia pakai.
Ia masih memikirkan tentang pakaian kotornya, apa yang harus ia lakukan jika biasanya ia akan meninggalkan semuanya di keranjang pakaian kotor di kamar mandinya?
Ketukan di pintu yang terbuka membuatnya menoleh, menemukan mamanya dengan senyum manis di wajah.
"Kaven sudah mandi? Pakaian kotornya tinggalin saja biar di cuci besok. Sekarang makan, ya?"
Kave menganguk, menaruh sisir dan mengikuti mamanya menuju meja makan. Beberapa makanan rumahan tersajikan diatas meja, tidak sebanyak yang biasanya namun ini tidak sedikit juga. Sayur kangkung, ikan goreng, dan sambal bawang, yah Kave kan bukan pemilih dalam makan, ia juga tidak memiliki alergi terhadap sesuatu.
"Kaven, makan yang banyak ya. Maaf kalau cuma makanan sederhana,"ucap neneknya dengan lembut.
Kave menoleh, mengangguk dan mengucapkan bahwa ini bukan masalah dan menyuruh mereka berhenti meminta maaf tentang sesuatu yang berbeda dengan apa yang ia lakukan dirumahnya.
Makan dibuka dengan doa yang dipimpin suami mamanya, Kave memiliki doa yang berbeda dari orang rumah ini memilih berdoa sendiri. Ah, jika dilihat ada seorang yang asing di matanya. Mamanya, suami mamanya, nenek, laki-laki yang tadi menunjukkan letak kamar mandi padanya dan satu gadis seumurannya dengan kerudung sebagai tambahan.
Heh, menarik.
Acara makan sudah selesai, Kave masih duduk di kursi kayu dengan bingung. Apa yang harus ia lakukan setelah ini? Kembali ke kamar dan memainkan ponsel? Atau tetap duduk diam disini seperti pengangguran?
"Kamu sudah berkenalan sama anak ibu, mas?"ucap suami mamanya membuka obrolan sunyi di meja makan ini.
"Belum, Yah. Tapi tadi sudah ketemu kok,"jawab laki-laki tadi.
Jika dilihat kembali, ada yang aneh dengan wajahnya. Beberapa lebam biru dan luka sobek di sudut bibirnya yang baru saja Kave sadari. Apakah anak ini termasuk anak berandalan? Tapi wajahnya seperti wajah anak cupu apalagi dengan kacamata kotak berlensa tebal.
Korban pembullyan, ah?
"Ini anaknya ibu, anak kandungnya. Nak Kaven, ini anaknya om namanya Andika terus yang cewek tadi kembarannya, namanya Cyra."
Kave menoleh, mengangguk dan mengulurkan tangannya seraya berkata, "gue Kalaven, gue akan senang jika lo panggil gue Kave."
Sudah dikatakan bukan? Ia tidak suka dengan panggilan Kaven.
Uluran tangannya di sambut, tangannya sedikit kasar, dingin, dan terasa kaku.
"Andika,"ucapnya dengan pelan.
"Oke, nice to meet you, Andika,"ucap Kave sok ramah. Yah, ia kan harus tinggal disini selama satu tahun tentu saja harus bersikap ramah bukan? Minimal tahu diri lah, hehe.
"Loh, sudah kenalan ternyata. Baru mau ibu kenalin, Cyra sini kenalan sama anaknya ibu."
Gadis yang dipanggil Cyra tadi mengangguk ke arahnya, memperkenalkan dirinya tanpa menerima uluran tangan dari Kave sama sekali.
"Maaf, aku sudah wudhu, mau sholat isya,"jawab gadis itu dengan lembut.
Kave menarik tangannya kemudian mengangguk paham, ah, ternyata mereka berbeda hehe.