Chereads / Derita Istri Yang Di Madu / Chapter 7 - Bab 7. Jembatan Gantung 2

Chapter 7 - Bab 7. Jembatan Gantung 2

Hampir sebulan Dimas mengajak Rahma kabur dari kota dan tinggal bersama Ibu kandungnya.

Apakah mereka semakim dekat? Tidak.

Apakah Rahma luluh akan perhatian Dimas? Belum. Tapi Rahma justru dekat dengan Ibunya Dimas.

Subuh itu, Ibunya Dimas mengajak Rahma ke mesjid. Ini sudah kali ketiga mereka bergandengan tangan sambil melewati jembatan gantung untuk mengikuti pengajian.

Banyak pelajaran yang dipetik Rahma tentang kehidupan akhirat. Bahkan Rahma mulai mengenakan kerudung walaupun tak selebar Ibu mertuanya. Pengajian selesai pukul 7 pagi, terlihat banyak jamaah keluar dari pintu-pintu masjid.

"Nak Rahma pulang duluan saja, Ibu mau buang hajat sebentar,"ucapnya sembari menuruni tangga yang terbuat dari tanah menuju jamban.

"I... iya, Bu."

Sebenarnya Rahma ragu apakah Ia berani melewati jembatan gantung itu sendirian. Rahma melangkah gontai, kakinya basah terkena embun rerumputan. Berselang 15 menit ia sampai di depan jembatan menuju rumah. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. Rahma mencoba melangkahkan kaki kanannya perlahan.

Tiba-tiba terdengar seseorang menyapa dari belakang.

"Perlu bantuan?"

Suara seseorang yang sangat dikenal. Cinta pertama yang tak pernah dilupakan.

"Da ... Danu ? Koq kamu bisa ada di sini?"tanya Rahma gelagapan.

Ia pun membalikkan tubuh menghadap Danu. Perasaannya tak dapat digambarkan, antara sedih, terkejut dan deg-degan. Ia menundukan pandangan, menatap kakinya yang agak gemetar.

"Rumah orangtuaku tak jauh dari sini. Sebenarnya aku dan Dimas itu teman waktu SMP,"ucap Danu sambil tersenyum.

Nampak Danu berjalan tertatih, kecelakaan kemarin sepertinya membuat kaki Danu tak berfungsi seperti sedia kala. Penampilannya dengan peci, baju koko berwarna coklat tua dan sarung membuat Rahma pangling.

"Apakah Danu sudah berubah?"batin Rahma.

Rahma terpenjara dengan pikirannya sendiri, kemungkinan setiap manusia bisa berubah selalu ada, hanya saja Rahma sangsi. Kekecewaan terhadap Danu sudah menutup mata hatinya.

"Apa yang kamu pikirkan? Wah, sekarang kamu udah berjilbab,ya,"ucap Danu seraya ingin mengelus kepala Rahma.

Rahma reflek menepis tangan Danu.

"Jangan coba untuk menyentuhku lagi!" ucap Rahma.

"Maaf, aku tak bermaksud begitu,"ucap Danu dengan mata memelas.

Mata itu, Rahma tak tahan menolak pesonanya. Ingin ia memeluk pria di depan itu dan bertanya keadaanya. Ingin berbicara banyak tentang yang baru saja dilaluinya. Apa? Mengapa ? Tak dapat dipungkiri rasa cinta itu masih ada. Tuhan, mengapa serumit ini ingin melupakannya. Ini terasa bagai hukuman baginya.

"Aku baik-baik saja, urus saja Yanti. Kalian cocok untuk hidup bersama,"ucap Rahma tanpa berpikir panjang dan membuang muka.

Air sungai di bawah jembatan lebih menarik dari pada melihat wajah Danu yang memelas.

"Maafkan aku, Sayang. Aku khilaf. Aku berjanji tak akan mengulanginya lagi, please. Aku ingin kita balikan kayak dulu lagi,"ucap Danu seraya meraih tangan Rahma.

"Wow, setelah semua yang kulalui, kau meminta kita untuk bersama lagi? Aku tak segampang itu, Nu. Kamu gak tau malu! Aku bukan Rahma yang dulu bisa kau permainkan. Pergi sana!"ucap Rahma sembari tersenyum.

"Tapi, aku benar-benar menyayangimu. Dan aku baru sadar ternyata kau mencintaiku dengan tulus. Lepaskan Dimas ! Kau tidak mencintainya kan?!"ucap Danu berbicara agak keras.

Rahma terdiam. Sejenak ia berpikir, Dimas selalu ada di saat Rahma membutuhkan. Belum ada rasa cinta. Hanya hadirnya Dimas membuatnya nyaman.

"Aku mencintainya. Jadi berhenti mengusik kehidupanku!"

Kata itu meluncur begitu saja dari mulut ranum Rahma.

"Apa enaknya jadi istri kedua? Bersamaku kau akan menjadi satu-satunya,"ucap Danu meyakinkan.

"Cih, mending jadi istri kedua tapi di nomor satukan. Daripada jadi satu-satunya tapi selalu di duakan,"jawab Rahma sinis.

Danu terpengkur. Ternyata Rahma tak mau menerimanya lagi, walaupun kali ini dia benar- benar serius mengutarakan niatnya ingin bersama kembali.

"Lepaskan Dimas, dan menikahlah denganku,"ucap Danu sembari berlutut memohon.

Hati Rahma mulai tersentuh. Itulah keinginannya selama ini. Menikah dengan orang yang dia cintai. Tapi mengapa hatinya berkata seakan Danu akan mempermainkan hidupnya lagi

"Kamu terlambat, Nu. Apakah kau tak mendengar bahwa dia mencintaiku?" ucap Dimas setengah berteriak dari ujung jembatan.

Rupanya Dimas memperhatikan dua sejoli ini sedari tadi. Dia merasa harus ikut campur ketika Danu mulai berlutut.

Rahma menoleh kearah asal suara. Jembatan mulai bergoyang mengiringi langkah Dimas. Hingga sekarang Dimas berdiri tegak di depan Rahma lalu mengulurkan tangan.

"Ayo, kita pulang. Sepertinya hari mau hujan,"ucap Dimas.

Rahma mengangguk dan meraih tangan Dimas, meninggalkan Danu yang berlutut menangis tertahan.

"Tuhan, semoga ini yang terbaik."

***

Setelah menutup pintu, Dimas menarik Rahma ke kamar.

"Lepaskan tanganku!"ucap Rahma kasar.

"Tidak akan, sebelum kau bilang mencintaiku sekali lagi,"ucap Dimas.

"A ... aku hanya berbohong. Demi menghindari Danu,"jawab Rahma tergagap.

"0oh, jujur kau telah membuatku kecewa,"ucap Dimas seraya melepaskan genggaman tangannya.

Dimas meraih jaket di dinding lalu keluar dan membanting pintu dengan keras.

"Maafkan aku, Mas.!"

***

Hari mulai sore. Dimas tak kunjung datang. Rahma mulai gelisah takut sesuatu terjadi dengan Dimas.

Rahma mondar- mandir di depan jembatan, lalu menjinjitkan kakinya. Memandang ke arah seberang. Baru kali ini dia segelisah ini menantikan kepulangan Dimas. Ibu hanya geleng- geleng meliat tingkah menantunya.

"Dimas pasti pulang, Nak. Paling dia main sama teman-temannya,"ucap Ibu.

"Main kok lama sih, Bu."

"Paling ke tempat Danu, di ujung desa dekat masjid,"ucap Ibu santai.

Mata Rahma terbelalak dan dia mulai panik. Rahma berlari ke dalam rumah, menaiki tangga dan masuk ke kamar. Meraih ponsel lalu mencoba menghubungi Dimas.

Tidak diangkat. Dimatikan!

"Dimas, kamu di mana?"

Malam tiba, tapi Dimas tak kunjung datang. Hujan mulai turun dengan lebatnya. Lampu pun padam. Rahma terduduk lesu di ruang tamu berteman lilin di meja. Hingga ia tertidur. Beberapa kali Ibu dan Nabila membangunkannya dan menyuruh tidur ke kamar tapi ia menolaknya.

"Ingin di sini saja. Menunggu Dimas pulang."

***

Dimas mengangkat tubuh Rahma dan ingin meletakkannya ke pembaringan. Beberapa anak tangga terlewati. Rambutnya yang basah menetes ke kelopak mata Rahma.

Rahma mengerjap dan berusaha membuka mata.

"Turunkan aku,"ucap Rahma setengah sadar.

"Sebentar lagi sampai Diamlah."

Rahma menurut, degup jantung Dimas mulai dirasakannya. Dada bidang itu mendadak terasa hangat. Apa ini ? Apakah dia mulai menyukai Dimas

"Kemana saja kamu seharian?"tanya Rahma tak sabar.

"Sejak kapan kau mulai memperhatikanku?" tanya Dimas balik.

"Sejak tadi sore,"ucap Rahma.

Dimas tersenyum lalu membuka pintu perlahan dan kembali menutupnya rapat.

Diletakannya Rahma diranjang, tapi Rahma malah melingkarkan tangannya di leher Dimas dan membenamkan wajahnya di dada pria itu.

"Jangan memancingku,"ucap Dimas.

"Aku tak memancingmu, sebenarnya aku takut kehilanganmu,"ucap Rahma jujur. Air matanya mulai menetes.

"Bolehkah aku menyentuh mu?"

Rahma mengangguk.