Seminggu sudah Dimas di kota. Tak ada kabar berita tentangnya. Nomor ponselnya pun tak aktif. Entah apa yang dilakukan suaminya itu. Apakah semuanya berjalan dengan lancar ? Entah lah. Rahma hanya bisa berpikiran positif.
"Jemur pakaian itu yang rapi, Nak. Celana khusus celana, baju ya baju,"ucap Ibu Dimas tatkala Rahma menjemur pakaian.
"I ... iya, Bu."
"Kalau bikin teh, gulanya jangan lupa ditutup. Yang rapat,ya."
"I ... iya, Bu.'
"Kamu itu berbeda sama Yanti. Dulu awal menikah, dia sering mencucikan pakaian Ibu, sampai celana dalam,"ucap Ibu lagi dilain waktu.
"Andai Ibu tahu bagaimana kelakuan Yanti sekarang, mungkin ibu tak akan memujinya seperti itu,"batin Rahma
"Kamu itu agak pemalas ya, nyapu halaman depan rumah aja nggak pernah."
"Bukan malas, Bu. Aku tak mau jadi budak pohon ketapang yang tak pernah berhenti menjatuhkan daunnya, potong saja coba!"batin Rahma.
Ia tak berani menjawab.
Rahma baru sadar, selama Dimas tak ada sikap ibunya agak sedikit berubah. Ucapan beliau kasar. Mungkin hanya perasaannya atau itukah sifat asli Ibunya? Maklum ia lama tak berjumpa dengan ibu. Apa khabar ibunya di luar negeri? Tiba-tiba saja ia merindukannya.
Memang, Rahma seorang perempuan yang mudah lupa alias sembrono.
Banyak tugas rumah yang terbengkalai. Mungkin saja niat Ibu baik, agar Rahma menjadi istri yang cocok untuk Dimas. Hanya saja makan hati padahal ia hanya rindu Dimas.
"Dimas, bawalah aku pergi dari sini."
"Dimas, aku rindu."
Suara hati Rahma yang selama ini tak mungkin ia ungkapkan.
***
Pagi itu selepas shalat subuh, Rahma mengikuti pengajian seperti biasanya. Kali ini Ibu tak ikut karena berhalangan. Ia sudah berani melewati jembatan gantung itu sendirian.
Hujan deras mengguyur lebat ketika kaki Rahma melangkah ke sebuah pos ronda. Ujung gamisnya basah dan berlumpur. Setelah pengajian selesai ia berniat membelikan kue untuk ibu di sebuah warung yang tak jauh dari masjid. Tapi hujan menghentikan langkahnya.
Sesosok laki- laki pincang setengah berlari menghampirinya. Dibalik hujan ia sudah bisa mengenal orang itu. Kini mereka berdiri sejajar.
Pria itu nampak mengibaskan rambutnya yang basah lalu memasang pecinya kembali. Temaram lampu pos ronda dan awan yang mendung membuat sosok itu mengungkit kenangan.
"Ya Tuhan, ampuni aku,"desis Rahma pelan.
"Ada apa? Apa kamu ingat pondok pematang sawah?"tanya pria itu sambil memiringkan kepalanya.
"Lupakan, itu dosa terindah yang pernah aku lakukan,"ucapnya lagi.
Rahma tak bergeming, pandangannya kini beralih ke ujung gamisnya. Tundukan pandanganmu. Rahma! perintah hati kecilnya. Ia tak begitu paham. Mengapa mantan bisa sangat mempesona.
"Bagaimana kabarmu? Kuharap kau baik- baik saja."
"Aku ... baik- baik saja. Apakah kau tau kalau Yanti hamil ? tanya Rahma mengalihkan pembicaraan.
"Tidak mungkin, Yanti kan mandul. Itu hanya akal- akal an dia saja,"ucap pria itu dengan senyum sinis.
"Terus apa tujuan Yanti mengajak Dimas ke kota? Kamu pasti tau sesuatu kan? Danu, Please. Ceritain semuanya!"ucap Rahma mengiba.
Sesaat tatapan mereka beradu, dengan cepat Rahma mengalihkan pandangannya.
"Dimas mau di kawinkan lagi dengan Siti, dan Yanti di tugaskan Pak Bayu membawa Dimas pulang. Aku tau semuanya tapi aku enggan untuk ikut campur. Aku memilih berhenti membayang- bayangi kehidupan kalian. Aku akan hidup dengan caraku. Tanpamu, tanpa Yanti, tanpa orang tuaku. Doakan aku. Maafkan aku selama ini yang egois. Tapi percayalah, aku benar benar menyukaimu. Setelah rentang waktu yang berpacu, masalah yang beruntun. Aku sadar akan kebodohan ku melewatkan cintamu, hingga kini aku tak dapat lagi melihat rasa itu, ia sudah sirna di matamu,"ucap Danu tanpa jeda.
Rahma melongo, keterkejutannya akan kata- kata yang dilontarkan Danu membuatnya bingung. Ya, ia juga lambat dalam mencerna kata. Entah apa yang telah merasuki cinta pertamanya itu. Andai di awal Danu berbicara seperti itu, mungkin sekarang nasib Rahma tidak seperti ini.
***
"Apakah kau ingat perkataan ustadz tadi, kalau ada dua insan manusia berduaan maka yang ketiga adalah setan, tapi jangan takut aku akan pergi."
"Hujan sudah reda, aku duluan,"ucap Danu sembari berlalu.
Rahma memandangi kepergian Danu yang hanya terlihat punggungnya saja, kini semakin menjauh lenyap di perempatan gang.
"Dasar Danu, sudah setengah jam di sini baru mikir yang ketiga setan,"batin Rahma.
Pikiran Rahma kembali berkecamuk, apakah Danu membalas ku? karena tak menerima cintanya waktu itu. Dan Dimas. Di mana dia? Sumpah, ini menyebalkan.
***
Sekantong kresek kue khas jajanan pasar berada di tangan Rahma. Dengan langkah gontai ia menuju rumah. Ia meniti jembatan dengan hati- hati . Ditaruhnya kue itu di meja lalu ia berlalu ke kamar.
Rahma mengambil tas besar, meraih semua pakaiannya lalu memasukannya dengan paksa. Tersisa sebuah syal, matanya menatap nanar. Teringat akan leher merahnya.
"Mengapa menjadi seperti ini?"
Lagi-lagi air mata itu tak terbendung. Sakit.
Sebuah pelukan hangat dari belakang. Di jemari manisnya terselip cincin yang sama dengan di pakai Rahma.
"Kamu mau ke mana?" tanya pria itu
"Aku mau menyusul Ibu, jadi tenaga kerja keluar negeri. Aku hampir mati kebosanan di sini! Apa aku sengaja di buang agak tak menggangu kamu dan Yanti ?"tanya Rahma ketus.
"Yakin?"
"Setidaknya aku akan mencari pria bule kaya yang mau menikahi ku. Tanpa jadi yang kedua, tanpa di permainkan!"jawab Rahma tegas sembari memasukkan bajunya kembali kedalam tas.
"Ni mulut kalau ngomong ati- ati, ya. Mau kena gigit lagi?"ucap Dimas seraya memutar tubuh Rahma lalu menyeka air matanya.
"Bagai mana dengan Siti ? Yanti ? Kamu jahat ! Mana ponselmu? Kenapa tidak menghubungiku ? Aku benci kamu. Benci!"ucap Rahma sembari menjambak rambut Dimas.
"Sudah puas?"
"Belum, ceritakan padaku apa yang terjadi ? Aku ... kangen kamu,"ucap Rahma lirih.
Ujung hidung mereka bersentuhan. Dimas berusaha mengangkat tubuh Rahma ke ranjang.
"Bolehkah aku menyentuhmu? benar- benar menyentuhmu?"
"Jawab dulu pertanyaan ku, Mas. Di mana Siti ? Apakah kau menikahinya?"tanya Rahma penasaran.
"Di mana kau tau tentang semua itu, pasti Danu kan?"
"I ... iya."
"Kapan kau bertemu dengannya ?"
"Apa saja yang kalian bicarakan, apakah kau disentuhnya ?"tanya Dimas bertubi-tubi.
"Tidak, hanya berbincang sedikit. Ia teman sepengajian ku," jawab Rahma jujur.
Dimas terdiam, mendengar kata pengajian membuat ia berpikir. Apakah Danu telah berubah? Apakah posisiku terancam?
Musnah sudah hasrat ingin bercumbu.
Penasaran nggak apa yang sudah di lakukan Dimas di kota hingga ia bisa kembali ke desa dan menemui Rahma? Nantikan bab selanjutnya. Jangan lupa dukung tulisanku dan buat ke rak buku kalian dan jangan lupa vote ya. Terimakasih.