"Bi Sum mending pulang ke kampung saja, aku mau minggat dari rumah ini,"ucap Rahma sembari menangis tergugu.
"Boleh saja kita mengikuti keinginan hati, tapi jangan lupa melibatkan otak dalam mengambil keputusan,"nasihat Bi Sum.
"Tapi Bi, aku sudah terlanjur sakit hati. Dimas sudah berbohong. Aku sakit Bi ... sakit!"tangis Rahma pecah.
"Ingat bayi yang ada di dalam rahim, Neng. Jangan bertindak gegabah. Ini lah resiko jadi istri kedua. Selalu di nomer sekian kan. Neng kan sudah tau dari awal pernikahan, jelas Bi sum.
Rahma mengucap istigfhar pelan. Hatinya teramat sakit. Apakah ia egois ? Mungkin benar yang di katakan Dimas. Ia terpaksa melakukannya demi Papanya. Tapi sampai kapan? Haruskah ia memaafkan pria dari ayah bayinya itu? Haruskah?
"Dimas, permintaanku hanya satu jadilah laki- laki kedua dalam daftar nama laki-laki yang tak pernah menyakitiku setelah Abah,"batin Rahma.
"Bi, aku mau keluar sebentar, jaga rumah baik- baik, ya. Kalau Dimas mencariku, bilang saja aku nyari makan,"ucap Rahma seraya menyapu make-up lalu mengganti jubahnya dengan pakaian rumah.
"Aku janji tak akan melakukan hal yang akan merugikan diriku, aku janji,"ucap Rahma lagi.
"Ya, Neng. Hati- hati."
***
Sore harinya Dimas mendatangi kediaman Rahma. Ia mengumpat tak jelas setelah tau bahwa Rahma belum juga pulang.
"Kenapa diizinkan, Bi ... Mulai sekarang Bi Sum kupecat,"bentak Dimas.
Perempuan setengah baya itu tampak gemetar. Serasa jiwanya lepas dari raga. Dia baru tau kalau majikannya bisa sekasar itu.
Dimas berteriak nyaring, bagai orang frustasi.
Diteleponnya beberapa kali nomer ponsel Rahma tapi tak kunjung di angkat. Ia melangkah masuk ke kamar lalu merebahkan diri. Langit kamar terlihat temaram tanpa Rahma di sisinya.
"Jika aku selalu membuatmu kesal, maka berikanlah waktu untuk membahagiakanmu, walau hanya sebentar saja,"ucap Dimas sembari menulis pesan.
Tak ada balasan.
"Angkat teleponnya, Kamu di mana?"
"Maaf menggangu waktumu, hanya karena urusan rindu,'tulis Dimas lagi.
Dan masih tidak ada balasan.
Seminggu, sebulan, dua bulan, tiga bulan waktu berlalu. Dimas berusaha mencari Rahma ke semua tempat. Ke rumah Ibunya, Ia selalu memandangi ujung jembatan gantung berharap Rahma kembali dan meraih tangannya seperti dulu lalu ke kontrakan Lilis dan Danu.
Ke Kampus, ke warung bakso langganannya bahkan ke warnet tempat ia mengerjakan tugas. Mereka semua bilang tidak ada yang tahu. Apa ia pergi menjadi TKW ?
Setiap hari Dimas menelpon nomer Rahma tapi selalu di luar jangkauan. Dimas hampir gila dibuatnya. Ternyata kesalahan yang ia lakukan berakibat fatal.
"Kamu kenapa sih, Mas? Kok wajahnya murung gitu. Kayak orang nggak dikasih jatahaja?"tanya Yanti seraya meraih dagu suaminya.
"Rahma hilang dan ... dia hamil anakku,"jawab Dimas ketus.
"Maksudmu? Ja ... jadi kalian belum pisah? Terus selama ini kalian ... ? Apa ini Dimas ?" Aku akan bilang ke Papamu! gertak Yanti.
"Terserah. Laporkan saja,"jawab Dimas tak gentar.
Yanti berlari ke kamar pak Bayu seraya terisak.
"Argggh ... Tuhan bantu aku," keluh Dimas.
Kenapa Kau ciptakan skenario kehidupan yang begitu sulit. Kau maha mengetahui hatiku, aku sangat mencintai Rahma. Di mana ia sekarang? Tuhan, kumohon permudahlah ... permudahlah, rintih Dimas.
***
"Kalau mulesnya sudah teratur, bilang Bude ya, biar ta bawa ke puskesmas,"ucap Bude Lis.
"Iya, bude. Terimakasih,"ucap Rahma seraya menyuap oseng kangkung dan telur dadarnya.
"Dulu Abahmu suka sekali masakanmu, sekarang ia sudah tenang. Nggak batuk- batuk lagi,"ucap Bude Lis seraya memperbaiki selimut di punggung Rahma.
Rahma tersenyum tipis, kenangan tentang Abah kembali menyeruak. Air matanya mulai menggenang, cepat ia hapus ketika terdengar ucapan salam dari muridnya.
"Assalamualaikum,"ucap mereka serempak.
"Waalaikum salam, ... hari ini lesnya libur dulu, ya. Ibu Rahma lagi tak enak badan," sahut Bude Lis seraya membukakan pintu.
"Baik bude ... "jawab mereka bersamaan lalu pulang satu per satu.
Kandungan Rahma memasuki usiq 9 bulan. Selama ini ia tinggal di rumah Abah. Tempat ia semasa kecil bergembira ria dan tertawa. Walaupun rumah itu sudah tua tapi ia sangat menyayanginya, banyak kenangan tersimpan rapi di sana. Setiap harinya ia makan dari uang hasil les privat anak- anak desa. Lumayan lah ketimbang berdiam diri.
Untungnya sayur tak harus membeli, tinggal petik di ladang Bude Lis. Sayang, kuliahnya tak bisa dilanjutkan karena ia enggan bertemu Dimas.
Apakah Dimas tak mencarinya hingga ke rumah Abah? Mungkin dia lupa. Mungkin dia terlalu sibuk. Karena itulah keinginan Pa Bayu. Dimas melupakan Rahma dan mula menjalankan cabang usahanya.
Rahma membuka ponsel yang selama ini diabaikannya. Satu per satu pesan masuk. Denting demi denting.
Batin Rahma tersayat. Tak dapat di pungkiri, ia rindu.
***
"Mau ke mana, Bi. Ini tengah malam ?"tanya Lilis ketika melihat Danu yang bergegas mengambil kunci mobil beserta jaket.
"Pak Bayu, beliau minta antar ke rumah sakit. Kamu di rumah saja. Sepertinya ini darurat,"ucap Danu seraya mencium kening istrinya.
⁰
"Kerjaan mulu yang di perhatiin, aku kapan ? Lagian ini tengah malam, Bi. Mending tidur dalam pelukanku,"rayu Lilis. Ia paham benar kelemahan suaminya.
Danu menatap Lilis lama, lalu meraih tubuh sintal itu dalam rengkuhannya.
"Masih banyak waktu, Ummi... besok takkan ku sia-siakan tawaranmu tadi,"ucap Danu sambil mengusap rambut Lilis perlahan.
Menghirup aroma tubuhnya hingga ia merasa Lilis adalah jodoh pilihan Tuhan yang memang tercipta untuknya.
Nikmatnya pengantin baru. Maunya nempel ke mana saja. Ingin berduaan, yang lain hanya dianggap patok kayu pembatas tanah.
***
Penyakit asma Pak Bayu seketika kumat setelah mendengar pernyataan dari Yanti perihal Dimas yang belum menceraikan Rahma, ia kesulitan bernafas hingga harus dirawat di UGD.
Terlebih setelah tau kalau Rahma hamil. Tak habis pikir di buatnya, tapi seharusnya pak Bayu sadar buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya, kecuali buah itu jatuh dan hanyut terbawa arus.
***
Danu menggosok- gosokkan kedua telapak tangannya, benar yang di katakan Lilis. Mending tidur di pelukannya agar hangat ketimbang menunggu Pak Bayu yang belum juga siuman. Siti dan Yanti tertidur pulas dekat Pak Bayu. Tampak bekas air mata di ujung pelupuk mata mereka, seperti habis menangis.
Pandangan Danu beralih kepada pasien yang baru masuk. Sejenak ia tertegun, perempuan itu datang sendiri dengan menggunakan ojek online. Perut yang besar membuat jalannya sedikit tertatih, di tangan kanannya membawa sebuah tas besar yang berisi perlengkapan bayi terlihat dari kain gurita yang menyembul keluar, sepertinya ia tergesa-gesa hingga bawaannya berantakan.
"Rahma ! Ka ... kamu kah itu?"ucap Danu ditengah hening ruangan.
Rahma tampak berbeda dia terlihat pucat dan bertambah gendut. Namanya juga Ibu hamil.
"Sus, saya mau melahirkan. Ini surat keterangan tidak mampu dari kelurahan beserta data pribadi saya,"ucap Rahma tanpa menghiraukan Danu.
"Biar aku bantu,"ucap Danu seraya meraih tas besar di samping Rahma.
"Nggak usah, Nu. Makasih banyak."
"Ke mana saja kamu selama ini? Dimas mencarimu,"ucap Danu.
"Aku di rumah Abah,"jawab Rahma sembari merebahkan diri di atas bed pasien.
Dua orang suster datang menghampiri Rahma. Salah satunya memasangkan cairan infus dan yang satunya memeriksa jalan lahir.
"Sudah bukaan 5. Maaf bapak, siapanya Ibu ini?"tanya suster yang memakai kerudung biru menatap tajam ke arah Danu.
"Saya suaminya, Sus. Tolong lakukan yang terbaik untuk bayi kami, semua biaya akan ku tanggung jadi tidak perlu memakai SKTM,"ucap Danu lancar.
Rahma hanya dapat membuang napas pelan. Memang ia tak dapat berbuat banyak karena sakit yang mulai teratur.
"Terima kasih,"ucap Rahma pelan
***
"Mas, sekarang Rahma sedang berada di ruang bersalin. Di rumah sakit Medika. Datanglah, ia sangat membutuhkanmu."
Pesan singkat Danu untuk Dimas ketika ia berada di tempat tongkrongannya. Secepat kilat ia menyetir mobil menuju rumah sakit yang disebutkan Danu. Rindunya menggebu. Tuhan, inikah jawaban dari doaku selama ini?
Sesampai di pelataran rumah sakit betapa terkejutnya ia disambut Yanti dan Ibu tirinya yang menangis tersedu-sedu.
"Dim, Papa meninggal,"ucap Yanti terisak.
"Apa ? Papa meninggal?" teriak Dimas histeris. Ia lupa akan tujuan awalnya.
"Kenapa, ada apa ini? Kenapa tak ada yang mengabariku bahwa papa masuk rumah sakit?"
"Kabar ? Berpuluh puluh kali aku menelponmu tapi tak diangkat. Semua gara- gara perempuan sial itu," oceh Yanti berang.
"Maksudmu Rahma?"
"Iya. Gara-gara perempuan itu, Asma Papa kambuh dan sekarang harus mati sia-sia,"jawab Yanti lagi.
Dimas seketika langsung teringat Rahma. Ia memanggil nama istrinya itu berkali-kali lalu bergegas berlari menuju ruang bersalin. Membuat Yanti bengong dan langsung jatuh pingsan.
Rahma atau papa? hanya Dimas yang tau tentang hatinya.