Dimas menarik nafas panjang dan mengembuskan pelan, lalu merebahkan diri di samping Rahma.
Dipandangi lekat wajah itu. Sedikit gugup menghampiri. Sudah lumayan lama ia tak menyentuh perempuan.
"Jangan takut. Aku tak akan melakukannya bila kau tak mengizinkan,"ucap Dimas seraya menyibak rambut yang menutupi kening Rahma.
Perlahan wajahnya semakin mendekat.
Lalu Dimas memberi sentuhan di kening Rahma. Lama.
Hangat nafas bergemuruh. Lalu ia meraih badan perempuan itu dan menenggelamkannya di pelukan.
"Aku tidak bisa bernafas, lepaskan,"ucap Rahma menggeser tangan Dimas.
Dimas tak kunjung melepaskan rengkuhannya, ia malah memindahkan tubuh Rahma ke atas badan atletisnya. Sekarang posisi Rahma tepat di atas tubuh Dimas.
Rahma hampir berteriak dibuatnya.
"Turunkan aku,"ucap Rahma sambil memukul dada bidang di depan matanya itu.
Dengan cepat Dimas meraih kedua tangan yang tak bisa diam itu. Lalu menjepitkan dikedua lengannya.
"Diamlah, aku sudah mulai mengantuk, ucap Dimas.
Rahma mengangguk, tak lama kemudian terdengar dengkuran halus dari mulut suaminya. Iya ... suaminya.
Rahma tak bisa tidur. Ia mendongak dan memandangi wajah Dimas. Lalu beringsut untuk bangkit, kini jari telunjuknya bermain-main di wajah itu.
Entah, sejak kapan aku mulai menghawatirkanmu.
Telunjuknya berhenti tepat di ujung hidung, lalu ia menjawilnya pelan.
Aku akan berusaha memperbaiki keadaan, melupakan Danu dan mencoba meraih tanganmu.
Rahma tersenyum. Lalu turun dari ranjang dan memilih mengambil wudhu. Dua rakaat dilakukannya dengan khusuk. Di sujud terakhirnya, ia menangis hebat.
Ingat akan dosa, ke angkuhan hatinya.
"Tuhan, Engkau lah dzat yang dapat membolak- balikan hati, tolonglah hambamu ini,"ucap Rahma penuh derai air mata.
Sejenak ia terkenang akan Abah yang telah meninggalkannya, pilu rasanya hati ini.
Suatu saat aku akan menyusulmu, semua makhluk hidup pasti akan mati.
Rahma terlarut dalam kesedihan hingga ia tertidur di atas sajadahnya sampai waktu subuh.Adzan subuh berkumandang. Rahma menggeliat malas, matanya terbuka pelan.
"Dimas ? Kok, aku bisa ada di sini."
Rahma terkejut saat didapatinya tidur satu selimut dengan Dimas. Bajunya setengah terbuka hingga dada. Ada sebuah tanda merah di lehernya.
"Dimas,bangun! Dimas ! kata Rahma sembari mengguncangkan tubuh suaminya.
Dimas membuka mata dengan malasnya.
"Ada apa?"ucap Dimas seraya bangun dan menyingkap selimut.
"Ini apa? Kapan kau melakukannya?"tanya Rahma menunjuk lehernya.
"Maaf, wajahmu di saat tidur sangat menggangguku, entah kenapa kau sangat menggoda,"ucap Dimas menutup mukanya dengan lima jarinya.
Rahma tersipu malu. Ia mengambil handuk dan berlalu pergi ke kamar mandi.
Sebenarnya tak ada yang terjadi, hanya saja Dimas tak tahan untuk melewatkan leher jenjang Rahma. Hanya sebuah sentuhan, sebuah tanda she is mine.
***
Jam menunjukan angka 10 pagi. Rahma sedang sibuk memetik bayam di kebun belakang rumah. Tak jauh dari Rahma berdiri, Ibunya Dimas sedang memetik sayuran lainnya.
"Tumben memetik bayam pakai syal ? Lagian di sini panas,"ucap Dimas menggoda Rahma.
Entah dari mana datangnya pria itu yang tiba-tiba saja sudah berdiri di dekatnya.
"Awas kau, kau menyebalkan!"ucap Rahma sembari melemparkan genggaman bayam di tangannya.
"Aw ...,"teriak Dimas seraya menutup sebelah matanya. Tanah yang masih menempel di akar sayuran bayam masuk ke matanya membuat ia kelilipan.
"Rasain, habisnya kamu jahil,"ucap Rahma sembari berdiri menjauh.
"Aw... perih!"teriak Dimas lagi seakan serius.
Rahma menoleh lalu datang mendekati Dimas. khawatir tergurat jelas di wajahnya. Takut Dimas tak sekedar bercanda.
"Yang mana yang sakit ? Sini, aku tiupkan," ucap Rahma sembari berjingkit.
"Di sini,"ucap Dimas menunjuk mata sebelah kanan sambil menundukkan badannya agar setara dengan Rahma.
Mata mereka saling bertemu. Angin berhembus perlahan membawa perasaan damai. Jarak mereka semakin dekat.
"Ehem ... ehem."
Suara dehem dari seorang perempuan membuyarkan konsentrasi, refleks mereka menoleh kearah asal suara.
"Yanti ? Kenapa kamu ada di sini ?"tanya Dimas setelah mengetahui wanita itu berada tepat di tengah mereka.
Yanti nampak pucat, dengan dress selutut biru muda dan jaket berwarna senada. Rambutnya digelung rapi.
"Aku hamil, aku yakin ini anakmu,"ucap Yanti datar.
"Kamu lupa minum obat atau apa? Kapan terakhir kita tidur seranjang?"tanya Dimas ragu dengan nada sangsi
"Baiklah kalau kamu tidak percaya, sebaiknya kamu ikut aku ke kota, aku akan membuktikan kalau bayi ini benar- benar darah dagingmu!"ucap Yanti setengah berteriak.
Tak berselang lama, wajah Yanti semakin pucat dan akhirnya Yanti pingsan, beruntung Dimas masih sempat meraih tubuh langsing itu lalu memapahnya ke ruang tamu dan meletakkannya di sofa.
Rahma terdiam mematung, tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Mencoba memahami keadaan. Apa yang sedang terjadi ? Yanti hamil anaknya Dimas ? Atau Danu ?
Apa ini semua karma ? Disaat dia memulai ingin serius memperbaiki hubungannya, tapi ada saja yang menghalanginya.
Tuhan, permudahlah.
Rahma melangkah kaki gontai menuju ruang tamu. Dilihatnya Dimas mengoleskan minyak kayu putih di hidung lalu beralih ke keningnya Yanti.
"Tolong, buatkan teh hangat untuk Yanti, please,"ucap Dimas.
"Baiklah,"ucap Rahma dengan wajah setengan di paksakan untuk tersenyum lalu berlalu ke dapur.
Rahma membuat secangkir teh hangat lalu meletakkannya di meja ruang tamu. Tak tahan melihat perhatian Dimas ke Yanti. Ia memilih pergi ke kamar.
Di kamar Rahma menutup pintu rapat, napasnya mulai menderu. Dadanya sesak, air matanya jatuh tak terbendung. Ia menjatuhkan diri dan terduduk lesu bersandar di daun pintu.
Tok ... Tok
Terdengar pintu diketuk pelan.
"Rahma, aku yakin kau mendengarkan ku! Aku tidak mencintainya,"ucap Dimas dari balik pintu.
Rahma, buka pintunya. Aku mohon, ucap Dimas lagi.
Akankan Rahma luluh? Disaat hatinya sudah mulai terbiasa akan hadirnya Dimas, datanglah Yanti dan mengacaukan segalanya. Dengan pengakuannya yang tak terduga. Terus, apa artiya dia selama ini. Sedangkan Rahma tak pernah di sentuhnya. Dia memang tak berhak sepenuhnya akan kasih sayang Dimas. Tapi setidaknya biarkan bahagia itu menghampiri Rahma walau hanya sebentar.
"Rahma, buka pintunya. Aku mohon,"ucap Dimas lagi.
"Rahma, buka pintunya, please!"ucap Dimas setengah mengiba. Kini air matanya mulai luruh.
Krieet ... bunyi pintu berderit.
Pintu dibuka perlahan oleh Rahma, dengan pandangan tertunduk, ia tak mampu memandang wajah pria itu, mencoba menguatkan hatinya yang tersayat tapi tak berdarah.
"Pergilah ke kota. Selesaikan masalahmu,"ucap Rahma pelan.
"Kumohon, percayalah. Bayi yang ada di rahimnya itu bukan anakku, tatap aku!"
"Lihatlah mataku lebih dalam,"ucap Dimas seraya meraih dagu Rahma.
Rahma tak berani membuka mata, air matanya semakin deras. Ia menangis tergugu. Sekian detik kemudian, Dimas merangkum bibir ranum itu. Sedetik... dua detik hingga ia tak sadar itu adalah sentuhan pertama yang Dimas lakukan di bibir Rahma.
"Tunggu aku. Aku pasti kembali untukmu,"ucap Dimas sembari merengkuh tubuh Rahma.
Selanjutnya lebih seru loh. Jangan lupa vote dan bintangnya.