Tidak ada kesenangan dari kata-tersesat, dan setiap orang ingin menghindar dari jalan yang menyesatkan. Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki arah tujuan, berkelana menyusuri jalan tanpa tahu di mana dirinya berada? Mungkin itulah yang akan disebut memberikan pengalaman.
Bukan, bukan pengalaman yang ingin didapatkan. Tapi keberuntungan yang pastinya ingin dinikmati menjadi sebuah proses menuju pribadi yang dicari. Lagi pula bukan hal yang penting tentang sebuah kepastian, sebab hidup penuh dengan hal yang tidak terduga.
Galigo pun merasakan yang demikian. Dari kejadian yang awalnya membawa dalam masalah, malah menjadi berkah dan mendapatkan tempat di sisi yang sepertinya menguntungkan. Kecuali bertemu dengan anak songong seperti Sandanu yang duduk di depannya. Mereka bersama Mutia mendapatkan sajian makan malam bersama ketua suku tanah Lampung.
Mereka pun mendapat baju ganti khas masyarakat Lampung yaitu baju tulang bawang. Pakaian tersebut berupa atasan putih berlengan panjang dengan bawahan celana berwarna sama untuk Sandanu dan Galigo. Selain itu, di bagian pinggang dililitkan sarung hingga sepanjang lutut didominasi warna merah dan emas.
Sementara itu, Mutia mengenakan kebaya berwarna putih yang terbuat dari bahan brokat berlengan pendek. Untuk bagian bawahnya, dia mengenakan sarung bermodel rok panjang yang coraknya sama seperti yang dikenakan Sandanu dan Galigo.
"Ini benar-benar lezat, aku baru makan masakan ikan seperti ini dan kerupuk kemplang," Sandanu lahap sekali.
"Itu namanya seruit, ikan bakar dengan sambal terasi dan tempoyak yang berasal dari fermentasi durian." Ketua suku berbaik hati menjelaskannya.
"Terima kasih, ini suatu kehormatan bagi kami bisa makan malam dengan ketua suku," kata Mutia.
Ketua suku tersenyum. Dan dengan berbaik hati, beliau memaafkan tiga anak muda yang tanpa sengaja menerobos dalam keraton. Berharap mereka bisa membantu putrinya yang mengurung diri agar bisa kembali ke jalan kehidupan yang sesungguhnya. Layaknya sebagai mahluk sosial yang berkumpul dan membutuhkan orang lain.
Selama makan malam Galigo tetap terdiam. Diperhatikannya sekeliling ruang makan. Di depannya adalah sebuah meja panjang berbentuk oval. Di ujung sisi lengkungan duduk ketua suku, sebelah kanan ada mutia dan sisi kirinya Sandanu dan dirinya sendiri.
Ruang makan terlihat lebih luas. Sebenarnya bukan hanya ada satu meja makan melainkan lebih dari lima buah dan di antara ruangan itu terdapat pilar-pilar kayu sebagai penyangga ruangan yang atapnya terlihat sangat tinggi. Banyak perabot guci-guci dari gerabah dan tanaman-tanaman sebagai penyegar udara.
"Sekarang kalian istirahat dan besok pagi bisa kalian coba untuk membujuk putriku!" kata ketua suku setelah usai makan malam.
"Ya, aku pasti bisa membujuk putri ketua suku untuk keluar dari paviliunnya," Sandanu yakin bahwa itu adalah tugas yang mudah.
Setelah makan malam, pelayan mengantarkan mereka ke tempat istirahat. Mutia mendapatkan ruang sendiri dan diantar oleh pelayan wanita, sedangkan Sandanu dan Galigo akan tinggal satu kamar malam itu.
***
Seorang pelayan pria mengantarkan mereka berdua. Dalam perjalanan yang diterangi sinar dari dian-dian yang menyala sepanjang teras membuat Sandanu memandang Galigo dengan kecurigaannya. Sejak tadi, anak itu tidak bicara dan kadang tersenyum misterius. Atau mungkin, dia memang orang jahat yang akan mencuri.
Sesampainya di kamar istirahat, Sandanu langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ada dua ranjang di ruangan itu dan sebuah dian kecil menyala di atas meja sebagai penerang. Tidak begitu luas ruangan yang mereka tinggali, ada lemari kecil di pojok ruangan yang berseberangan dengan pintu. Dinding berwarna kuning dan terdapat motif yang hampir sama dengan banyak bangunan dalam keraton, lengkungan daun muda tumbuhan paku.
Sandanu yang menaruh rasa penasaran dengan anak yang masih duduk di atas ranjangnya, tanpa ada yang dilakukan. Dia mulai bertanya, "Sebenarnya kamu siapa?"
"Maksudmu?" Galigo menjawab tanpa menoleh pada Sandanu.
Sandanu masih berbaring dan tangannya digunakan sebagai bantalan. "Aku sudah bertemu dengan banyak orang, tapi tidak dengan orang sepertimu. Kamu misterius."
"Misterius?" Galigo tersenyum kecil. Kata itu membuat dirinya geli.
"Ya, seperti orang yang berniat jahat. Jika itu tidak salah sih."
Galigo berdiri. "Itu benar."
Sandanu mempertajam pandangannya. Anak itu berjalan dan keluar dari ruang istirahat. Sandanu menganggat tubuhnya dan akan mengikuti Galigo pergi.
"Batu sissi' naga bersinar." Cahaya keluar dari gelang batu berwarna coklat tapi cahayanya tidak menyebar sebab ditutup telapak tangannya yang lain. "Tubuh meringan." Galigo berjalan dengan tubuh ringan tanpa mengeluarkan bunyi meskipun langkahnya cepat.
Sandanu yang mencoba mengikutinya pun kehilangan jejak. Suasana keraton malam itu sangat sepi. Di langit malam, bintang bertaburan dan bulan sabit nampak redup tertutup awan. Bayang-bayang pohon paku tiang yang tumbuh sepanjang sisi bangunan bergoyang oleh angin. Suara germicik air di kolam pun sangat ritmis bersama suara burung hantu yang menggema entah dari mana.
"Ke mana perginya anak itu?" Sandanu melangkah mencari Galigo.
Galigo tersenyum misterius di belakang Sandanu. Dia bersembunyi dan tidak diketahui saat Sandanu berjalan di dekatnya. Langkah Galigo pun tidak terdengar dan dia berjalan seperti udara yang sangat ringan.
Dan tujuannya, Galigo dengan rasa beruntungnya bisa masuk keraton ketua suku dan ini merupakan pertama kalinya masuk sebuah keraton. Keberuntungan yang akan memberinya banyak harta. Galigo adalah pencuri.
Dia tahu ke mana tempat yang harus ditujunya, tidak lain adalah lumbung, tempat penimbunan harta. Anak yang mengikutinya pun tidak mengetahui keberadaannya dan penjaga bisa dia amankan dengan mantranya. "Batu sissi' naga bersinar, udara melelapkan." Maka seisi keraton semuanya tertidur.
Keadaan semakin sepi seolah tidak ada kehidupan di keraton itu. Galigo yakin, anak yang mengikutinya pun ikut terlelap dan tubuhnya ambruk di tengah jalan. Saatnya rencana pencurian dimulai, dan kabur dengan hasil curian yang memuaskan. Tapi ternyata tidak semudah dugaannya. Saat Galigo akan memasuki lumbung, dia kepergok seseorang. Punggungnya ditepuk dari belakang.
"Apa yang akan kamu lakukan?" Sandanu sudah berdiri di belakangnya.
Galigo kaget melihatnya. "Kamu, bagaimana bisa kamu mengikutiku?"
"Ternyata kamu memang pencuri dan membuat mantra penidur ke semua orang," Sandanu geram padanya. "Tidak akan aku biarkan kamu melakukannya."
"Oh ya! Kalau begitu lakukanlah, tidak akan ada orang yang bagun dari mantraku. Kecuali, entah bagaimana kamu bisa?" Galigo tersenyum sinis.
Sandanu memang tidak tahu penyebab bagaimana dirinya bisa lolos dari mantra penidur Galigo. Tapi, dia juga tidak tahu caranya membangunkan semua prajurit keraton. "Sialan…" Sandanu langsung menyerangnya.
Mereka pun bertengkar dan pertengkaran berjalan ke tengah halaman di bawah langit malam yang bertaburan bintang. Kegaduhan mereka tidak ada yang mendengarnya, karena memang semua orang tertidur, kecuali dia yang mengurung di dalam paviliun.
***
Merasakan keanehan di malam itu, Way Gambas bangun dari ranjangnya. Dia berdiri mengamati luar jendela. Langit begitu tenang dan udara serasa selaras dengan ketenangan itu. Tidak terdengar suara baik itu orang yang berbincang-bincang, atau langkah kaki para prajurit keraton yang berjaga di malam hari.
Ada yang aneh. Way Gambas beranjak keluar dari kamarnya dengan menggunakan piama berbulu domba yang hangat. Didapatkan bahwa penjaga tertidur di luar ruangannya. Mencoba dia bangunkan, tapi mereka sangat lelap seakan tidak sadar. Ada hal buruk yang telah terjadi. Rasa khawatir pun hadir membawanya ingin mencari tahu yang sebenarnya telah terjadi.
Selama tiga tahun lamanya, malam itu Way Gambas keluar dari paviliunnya untuk memastikan bahwa ada kejadian buruk di keraton. Dia berkeliling dengan berjalan kaki hingga melihat cahaya bersinar. Cahaya batu akik dan ada pertarungan dari asal cahaya itu. Segera, dia ke arah cahaya tersebut.
Benar apa yang sudah dia khawatirkan. Kedua anak itu masih di keraton dan mereka membuat bahaya keraton malam ini. Tapi bagaimana mereka bisa bebas, bukankah seharusnya hakim sudah memberikan hukuman dan mereka harus dipenjara? Way Gambas tidak tahu keputusan ayahnya untuk memberikan hukuman yang jauh bermanfaat bagi dirinya.
"Hentikan, apa yang kalian lakukan?" Way Gambas menggentikan mereka.
"Kamu, bagaimana kamu bisa berada di luar?" Sandanu menatap putri yang katanya selalu mengurung diri. "Jangan-jangan kamu juga tidak mempan dengan mantra penidur dari pencuri itu."
"Pencuri?" Way Gambas menatap Galigo.
Galigo mencoba melarikan diri, tapi Sandanu meraih tangannya dan mencegah dirinya kabur.
"Kenapa kalian dibebaskan?" Way Gambas mendekati mereka.
Sandanu meringkus tangan Galigo. Anak itu sama sekali tidak bicara, hanya berusaha melepaskan diri. Semuanya menjadi sangat kacau dan berantakan. Rencananya gagal total, terlebih lagi putri pun tidak mempan oleh mantranya.
Putri yang jelita menajamkan matanya untuk mengamati orang di depannya. "Jadi kamu yang membuat semua orang tertidur, bahkan ayahku pun terkena oleh mantramu, sebenarnya siapa kamu?" Way Gambas penasaran dengan Galigo.
Galigo memalingkan wajahnya dan dia sama sekali tidak peduli. Sandanu melepaskan tangannya dan dia merapikan diri. Sepertinya Sandanu merasakan kejanggalan juga pada dirinya. Siapa dia?
Galigo merasa bingung untuk menjawab siapa dirinya. Tidak ada jati diri yang melekat bagi orang yang tidak tahu arah tujuan hidupnya. Tidak mengerti arti perjuangan dan semua mengambang seperti udara.
Selama ini, dirinya sebagai pencuri dan sejujurnya hasil curian itu pun tidak dia nikmati sendiri. Dia mencuri dari orang kaya untuk orang miskin, dia hanya tidak ingin melihat orang bernasib menderita karena dunia tidak adil. Orang miskin selalu tidak memiliki hak layak dalam hidupnya.
"Kamu tidak perlu tahu siapa aku." Galigo akan pergi dari keraton.
Dia merasa takut saat ada orang yang bertanya, 'siapa' pada dirinya. Ketakutan itu membuatnya tidak berdaya, ada rasa sakit tanpa luka dan sakit itu menjalar pada tubuhnya. Seperti digerogoti hingga tidak lagi ada kekuatan yang membuatnya bisa bertahan, kecuali menghidar.
Sandanu memang curiga sejak awal. Senyumannya yang misterius, tatapan matanya yang menyembunyikan sesuatu, memang ada hal yang ingin Sandanu ketahui dari Galigo. Tapi apa yang harus dirinya lakukan, seperti ada rasa kasihan padanya. Tapi juga, anak itu memang sudah berniat jahat dan melakukan kesalahan.
"Tunggu!" Way Gambas mencegah Galigo. Tangannya terangkat ke depan. "Kamu tidak bisa pergi begitu saja."
Tiba-tiba putri yang selama ini mengurung dirinya melakukan sesuatu yang tak terduga. "Kehendak dari dalam hati, menjalar menuju niat suci, dalam menghilangkan rasa sepi, semua keraguan akan pergi," Way Gambas saling menggenggamkan telapak tangannya di depan dada hingga muncul cahaya yang terang. "Batu mutiara embun pagi, kumohon bangunkan mereka dari dalam mimpi."
Way Gambas menganggat tangannya, cahaya berpendar di udara bersama munculnya lirik sastra dalam bentuk aksara kaganga yang melingkar bagaikan piringan melayang di udara dan menyebar di seluruh keraton. Lalu, jatuh tetesan embun dan semua orang terbangun. Keributan terjadi membuat orang bertanya-tanya. Galigo pun tercengang melihat kekuatan pengendalian batu akik yang bisa menggagalkan mantranya. Dan yang dilakukan itu bukanlah mantra.
"Penjaga, tangkap orang itu," teriak putri Way Gambas.
Pengawal yang baru bangun pun kebingungan, tapi mereka bisa meringkus Galigo yang merasa dirinya tidak bisa menghindar. Sandanu sendiri masih memperhatikan tuan putri yang terlihat kelelahan setelah melakukan teknik mengendalian batu akik yang berbeda dan luar biasa, dia yakin itu bukanlah mantra.
"Kamu, apa yang terjadi?" Sandanu mendekati tuan putri.
Way Gambas merasa kehilangan tenaganya, tubuhnya sangat lemas dan dia tidak lagi bisa bertahan. "Aku…." Tubuhnya pun terjatuh pingsan.
"Tolong!" Sandanu berteriak sambil mengangkat Way Gambas. "Tunjukkan padaku paviliun putri dan panggil tabib sekarang juga"
Seorang penjaga keraton berlari. "Baik, ikuti saya." Dan lainnya ada yang mencari tabib.
Sandanu berlari untuk membawanya dan khawatir terjadi sesuatu pada putri sebab dia melihat pengendalian batu akik yang aneh. Di tangan Way Gambas yang bersinar terlihat batu merekah dan pecah saat tangannya menghamburkan ke udara. Seorang jewel bisa mati jika batu akik yang dimilikinya pecah. Sandanu pun melihat tidak ada batu akik pada putri saat dirinya mendekati Way Gambas.
Galigo pun tercengang melihat kepanikan yang terjadi. Ini adalah kesalahan dirinya hingga ada orang yang mengorbankan nyawanya untuk menggagalkan mantra penidur yang dia lakukan, padahal mantra itu akan leyap jika matahari terbit nanti. Galigo ingin melihat keadaan putri itu, tapi penjaga keraton membawanya ke penjara. []