Awan putih yang melayang di langit tersapu oleh angin yang bertiup hingga menyibakkan mentari yang bersembunyi di baliknya. Cahayanya yang terang pagi itu menyirami alam dan sebuah taman yang penuh bunga warna-warni yang bermekaran. Lebah-lebah madu hilir mudik dari bunga ke bunga untuk mengumpulkan madu dari sarinya.
Pohon bunga-bunga yang indah itu mengitari sebuah kolam berisi ikan-ikan yang berenang di bawah daun teratai yang melebar di permukaan air. Di atas daun teratai berdiri seekor katak air, lalu katak itu meloncat untuk menyeberang. Di sisi kolam, ada bunglon yang berwarna kecoklatan karena bersembunyi di permukaan tanah. Saat melata ke sebuah batang pohon, warnanya berubah jadi hijau. Di pohon itu ada kepompong yang siap membelah dan keluar seekor kupu-kupu yang baru melihat dunia.
Dunia dengan alamnya menyambut kupu-kupu itu dan mengajaknya dengan keinginan kupu-kupu untuk melihat indahnya alam semesta. Secara perlahan, kupu-kupu itu membuka sayapnya yang basah dan mengepakkan sayapnya. Ia pun terbang dan melihat bunga-bunga bermekaran, juga merasakan hangatnya sinar matahari yang memeluknya dengan kasih sayang. Karena kupu-kupu itu tidak mengenal tempatnya, ia terbang untuk melihat sekeliling hingga membawanya mendekati sebuah jendela.
Sebuah jendela yang terbuka. Jendela yang terbuat dari kayu dan daunnya yang berhias kaca menyingkap. Saat melihat di dalam ruang yang tersembunyi di balik jendela, kupu-kupu itu berhenti. Ia mengamati seseorang yang terdiam duduk di tepi tempat tidurnya. Seorang putri yang cantik jelita dengan rambut emasnya yang bergelombang indah, menyisakan poni di depan wajah membuatnya terlihat manis karena ujung rambut emas itu hampir menutupi matanya yang memandang jauh ke awang-awang.
Kupu-kupu tidak tahu yang dialami oleh sang putri. Merasa tidak ingin mengganggu, kupu-kupu pun pergi. Meskipun kupu-kupu pergi, putri di dalam ruang di balik jendela masih terdiam. Hatinya berselimut kerinduan yang mendalam dan seolah ada penyesalan yang membuatnya merasa bersalah.
Hatinya bergumam, "kenapa kebahagiaan pun disalahkan?"
Dialah seorang putri yang mengurung diri. Sudah tiga tahun lamanya, dia tidak pernah meninggalkan paviliun tempatnya bersembunyi untuk menghindari sang kehidupan yang menurutnya penuh keegoisan. Tidak ada seseorang pun yang bisa memahami dirinya mengenai rasanya kehilangan dan mereka membiarkan sang putri tetap mengurung diri.
Paginya mulai bosan dan dia hilangkan kebosanan dengan membaca buku pengetahuan. Di saat waktu tertentu, akan ada yang datang. Mereka para pelayan yang menyiapkan makanannya dan mereka akan tetap menunggu sang putri di balik pintu kamarnya.
Tidak ada yang berani masuk tanpa panggilan dan waktu yang ditentukan hingga matahari mulai meredup di bagian barat. Dan sudah saatnya, putri keluar untuk membersihkan diri karena keringat membuat tubuhnya tidak enak dan kurang nyaman untuk menikmati tidur malam.
Maka pelayan pun menyiapkan keperluannya di kolam pemandian, mereka akan membiarkan putri berendam sepuasnya. Mereka sendiri akan menjaganya dari luar, sebab sang putri ingin menghindar dari wajah kehidupan dan mengurung dirinya yang bersalah. Mungkin itulah hukuman bagi dirinya yang mesti menghukum diri karena kesalahannya membuat dirinya kehilangan.
Dalam kolam pemandian yang begitu luas, dia bisa melihat langit mulai berwarna jingga dan burung-burung beterbangan di angkasa. Betapa bebasnya mereka bisa pergi ke mana pun yang diinginkan. Sang putri, ingin seperti burung-burung yang dilihatnya terbang.
Saat dirinya asik membayangkan kebebasan, tiba-tiba jatuh dari atas, sesuatu yang masuk dalam kolam pemandiannya. Mereka dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang datang mengganggu kehidupannya.
Ahhh…
Putri berteriak hingga mereka yang datang tiba-tiba ketakutan saat beberapa pengawal paviliun berkerumun. Tapi, mereka yang melihat tuan putrinya sedang mandi langsung keluar kembali.
"Bodoh, kalian masuk tanpa aku suruh." Tuan putri memarahi mereka.
Laki-laki berambut benhur tertawa melihat gadis payah yang mau ditolong tapi mengusir penolongnya. "Hai putri yang cantik, kami ke sini untuk menculik kamu. Tidakkah kamu takut?"
Putri itu memalingkan wajahnya. "Keluar kamu dari sini dan di depan pintu mereka akan menangkapmu!"
Anak laki-laki satu lagi sudah keluar kolam. Dia membuka bajunya dan memeras bajunya yang basah. Tubuhnya yang putih bersinar terkena cahaya senja. Begitu indah dan gagah anak itu.
"Maaf, aku tidak bermaksud…!" Pemuda itu tersenyum hingga mata sipitnya terpejam. Tangan kanannya menggaruk rambutnya yang berwarna kecoklatan dan sangat lebat hingga telinganya tidak terlihat sebagian atasnya.
Dengan keadaan anak gadis yang jatuh dari langit, dia menutup mukanya karena merasa malu. "Kamu itu cepat pakai bajumu…" Mutia mencipratkan air ke anak itu.
Putri masih memalingkan wajahnya dan tidak sudi melihat mereka. Sandanu dan Mutia mulai keluar dari kolam. Dari sisi penasarannya, putri melirik mereka yang terlihat sebaya dengan dirinya. Ada yang menarik dengan mereka.
"Kenapa mereka jatuh dari langit?" Suara putri tidak terdengar oleh siapa pun, sementara sang putri memikirkan mereka yang jatuh dari langit dan kemungkinan akan menculiknya, ternyata mereka malah bertengkar.
"Semua ini salahmu," Sandanu menunjuk anak berambut kecoklatan. "Kalau saja kamu tidak muncul tiba-tiba dari depan, Malin tidak akan jatuh," bentak Sandanu.
Sambil memakai bajunya, si lawan bicara menyahuti. "Apa kamu bilang? Kerbaumu yang tidak tahu aturan. Seharusnya kan kerbau jalannya di darat, bukan di udara." Anak itu tidak mau kalah, dia yakin mahluk yang dinaiki dua anak itu adalah seekor kerbau.
"Malin itu bukan kerbau biasa, dia teman kami dan dia adalah roh batu akik yang terbebaskan."
"Oh, jadi kamu seorang jewel, kalau begitu bertarunglah denganku," kata pemuda yang memakai celana hitam panjang dengan kain tenun terlilit berwarna abu-abu. Baju putih berlengan panjangnya dia kenakan untuk menutupi tubuhnya yang berotot sambil mengangkat kepalanya. "Yang kalah adalah yang salah."
Sandanu ngotot. "Ok, ayo kita bertarung!"
Mutia yang berdiri di belakangnya terdiam, hanya mengeringkan rambutnya dan mencoba memeras pakaiannya yang basah sedikit demi sedikit karena tidak mungkin dia membuka bajunya. Meskipun basah, selendangnya dia gunakan untuk menutupi tubuh bagian atasnya.
Dia mencoba memperhatikan kolam pemandian yang besar dan berkeliling taman bunga yang indah. Beberapa pilar kayu berdiri menyangga sisi teras yang mengelilingi kolam berbentuk segi lima dan tamannya. Dinding bangunan yang ada berlapis kuningan, dan memang terbuat dari kayu yang berlapis kuningan. Banyak motif hiasan yang terukir di dinding ataupun pilarnya, berbentuk lengkungan seperti daun muda tumbuhan paku. Dan ada gambar naga yang melingkar di pilar.
"Ini bagus sekali, seperti pemandian putri istana." Mmm… Mutia berpikir, sepertinya dirinya belum pernah masuk pemandian di istana.
Di sisi Mutia yang kagum memperhatikan sekitar, Sandanu dan entah anak dari mana mulai bertarung. Sandanu menunjukkan batu akik yang melingkar di jari tangannya, sedangkan lawannya memperlihatkan batu akik berwarna kecoklatan dengan corak seperti sisik yang melingkar di lengan tangan kiri.
"Batu mustika siliwangi bersinar…" Batu Sandanu memancarkan sinar.
Lawannya pun membaca mantra yang membuat batunya bersinar. "Batu sissi' naga bersinar…"
Belum selesai mereka mengucapkan mantra, putri yang mereka lupakan berteriak. "Hentikan…." Dia masih merendam di dalam kolam karena tidak memakai baju.
Sandanu dan lawannya berhenti, mereka menoleh pada putri yang hanya terlihat kepala sampai sebatas setengah dadanya.
"Pengawal tangkap mereka…" Putri berteriak dan kemudian menenggelamkan diri.
Selanjutnya, pengawal datang dan menangkap mereka bertiga. Begitu banyak pengawal yang masuk hingga mereka yang mencoba memberontak tidak bisa meloloskan diri. Akhirnya mereka dibawa ke mentri penghakiman.
***
Hakim keraton berdiri di tempat tertinggi dalam ruangan. Seorang pria tua berbadan gemuk dan memakai penutup kepala bulat berwarna hitam putih. Matanya berkantong besar hingga terlihat bola mata akan keluar.
Perajurit keamanan berbaris di belakang tersangka yang bersimpu menghadap hakim dengan tangan terikat ke belakang. Waktu itu adalah petang hari dan langit masih terlihat mega mendungnya.
"Siapa kalian?" tanya hakim terhadap tersangka.
Sandanu dan Mutia memperkenalkan dirinya yang datang dari Aceh dan akan pergi ke negeri Sabda, sedangkan pemuda berambut kecoklatan masih terdiam.
"Dan kamu?" tanya hakim.
"Aku datang dari negeri Dirga dan hendak menuju tanah Melayu, namaku Andi Galigo." Pemuda itu menatap hakim dengan tegas.
"Negeri Dirga?" Sandanu menoleh pada Galigo. "Berarti kamu terbang menyeberangi lautan. Itu hebat." Dia kagum pada anak yang sebelumnya menjadi lawannya. "Boleh kamu ceritakan?"
"Sandanu," Mutia memperingatkannya yang tidak tahu menyesuaikan diri.
Sandanu meringis sambil menatap hakim. "Maaf hakim agung. Sebenarnya kami tidak bermaksud menculik putri tanah Lampung, ini semua hanya kecelakaan."
Hakim merasa geram dengan tingkah Sandanu dan dia ingin segera menjatuhi hukuman untuknya. Tapi sebelum niatnya terwujud, datang sosok yang jauh dihormati dari depan pintu pengadilan yang terbuka, ketua suku sebagai hakim tertinggi.
Hahah…. Suara ketua suku menggelegar dari arah pintu pengadilan. Semua pengawal memberikan jalan dan ketua suku mendekati para tersangka. Dia bertubuh tinggi gagah dan berkumis. Baju kebesarannya membuatnya tampak lebih agung dan bijaksana.
Pakaian adat pepadun berupa baju lengan panjang berwarna putih yang dipadukan dengan celana panjang hitam. Kemudian di luarnya, dibalut dengan sarung tumpal yaitu kain sarung khas Lampung yang ditenun menggunakan benang emas. Sarung ini dipakai menutup celana dari pinggang hingga lutut. Kemudian, di luar sarung, diikat sesapuran atau sehelai kain putih dengan rumbai tinggi. Bagian bahu dilingkari dengan selendang bujur sangkat atau khikat akhir dan memakai kopiah emas berujim sebagai mahkota kepala.
"Siapa yang akan pergi ke tanah Melayu?" tanya ketua suku.
Sandanu dan Mutia menatap Galigo. Ketua suku pun bertanya pada anak itu. "Benarkah kamu?"
Galigo mengangguk.
"Lalu kalian berdua akan ke mana?"
"Negeri Sabda, tapi sebenarnya hanya keliling dunia. Kami juga belum pernah ke tanah Melayu, jadi kami pun akan pergi ke sana." Sandanu tersenyum. Dia mengira, orang yang akan pergi ke tanah Melayu akan dibebaskan.
Mutia hanya meringis tidak tahu pikiran Sandanu. Hanya mengangguk setuju saat ketua suku menatapnya.
"Maaf yang mulia, tapi mereka telah menerobos keraton." Hakim bersanggah.
"Kami hanya tidak sengaja ko," sahut Sandanu dengan wajah polosnya.
Hahaha… ketua suku tertawa, "Ya, kalian memang tidak sengaja. Saya bisa memahami hal itu, tapi kalian tetap akan saya hukum."
"Tapi ketua suku?" Sandanu dan Mutia memohon ampun.
Galigo masih diam menunduk.
Ketua suku tersenyum. Dia mengetahui tentang putrinya yang mengurung diri. Sudah banyak hal untuk membujuk putrinya keluar, semuanya sia-sia. Dan tidak ada yang berani memasuki paviliunnya termasuk dirinya sendiri, ayah kandung.
Mengingat, mereka bertiga bisa memasuki paviliun Siger. Maka mereka harus bisa membujuk putrinya keluar dari tempat mengurungnya itu. "Hukuman kalian bertiga adalah, mengajak putriku Way Gambas untuk pergi bersama kalian ke tanah Melayu. Di sana akan diadakan pesta pantai oleh ratu negeri ini, ratu Kandis."
Ha! Semua orang tercengang mendengar keputusan ketua suku yang tidak sesuai dengan kitab Kuntara Raja Niti, tapi mau bagaimana lagi? Yang berbicara adalah ketua suku, pemimpin di tanah negeri ini.
"Hahaha… itu mudah, aku pasti bisa mengajaknya dan membuatnya bersenang-senang di tanah Melayu." Sandanu yakin hukuman itu adalah hukuman paling mudah yang pernah dia terima.
Mutia masih menimbangkan hukuman itu. Dia ingat wajah putri saat di kolam pemandian. Mutia tidak yakin bahwa akan mudah membujuk orang seperti itu. "Kenapa ketua suku meminta kami mengajak putri pergi ke tanah Melayu?"
Galigo pun merasa ada benarnya dan menurutnya itu adalah hal yang koyol bagi ketua suku memberikan hukuman bagi orang yang menerobos keratonnya. Mengingat, ini adalah keraton tertinggi pemerintahan tanah Lampung, bukan sekedar kastil keluarga ketua suku.
"Lakukanlah, kalian pasti akan menemukan jawaban itu." Ketua suku melangkahkan kaki, meninggalkan mereka.
Sandanu langsung berdiri dan memandang kepergian ketua suku. "Aku siap menerima hukumannya." []