Langit malam yang gelap bertaburan ribuan bintang kecil yang mendamaikan setiap mata yang memandang dan berkhayal ingin menggapainya. Dan cahaya yang paling indah bukan hanya di langit dan alam, tapi juga di dalam keraton Pagaruyung yang agung.
Lilin-lilin kecil menari di atas cawan dengan iringan gerak tangan gadis-gadis cantik bergaun limpapeh rumah nan gadang berwarna merah dalam pementasan tari lilin. Makna yang terkandung bukan hanya hiburan dan keindahan, tapi juga adalah lambang penerang kehidupan yang dengan pelannya menunjukkan jalan keluar dari kegelapan.
Ketua suku mengundang semua peserta sayembara jewel dan membuat pesta rakyat yang terbuka di keraton Pagaruyung. Semua orang tertawa dan berbagi cerita dengan bahagia saat melihat pertunjukkan tari randai yang bercerita tentang seorang satria yang berpetualang menjalani seni kehidupan.
"Aku pernah pergi ke negeri Sabda yang luar biasa indahnya, pada saat itu pamanku yang mengajaknya berlayar menyeberangi lautan...." Kalianda bercerita tentang pengalamannya dalam perkumpulannya bersama sesama jewel. Mereka duduk di sebuah meja besar di tengah pesta yang berlangsung.
Sandanu yang mendengarkan cerita teman barunya dari tanah Lampung terkesan hingga ingin pergi ke negeri itu. Hatinya seolah merindukan sesuatu yang sepertinya tidak dia sadari.
Sandanu senang berbincang dengan para jewel yang datang dari penjuru negeri Tirta dan saling berbagi pengalaman yang menarik, tapi dia merasa ada yang kurang karena lawannya bertarung di arena tidak kelihatan. Sandanu menoleh ke berbangai arah yang penuh keramaian tapi hatinya gusar. Dia ingat tentang Datuk Marunggul dan ingin bertemu dengan anak itu.
Mutia yang bahagia bisa berkenalan dengan banyak anak laki-laki dan mendengar ceritanya, tidak menyadari bahwa Sandanu meninggalkannya sendirian. Malam itu, Mutia memang terlihat cantik, mengenakan pakaian khas Minangkabau berwarna merah yang menambahkan hatinya ikut ceria. Banyak laki-laki ingin mengenal gadis periang itu.
"Jadi, kamu bukan seorang jewel?" tanya pemuda dari Nias bernama Fakho.
Mutia meringis sambil memegang bandul kalungnya. "Ya, aku tidak bisa mengendalikan batu akik ini."
"Sayang sekali, sepertinya itu batu akik yang bagus," sahut Kalianda. "Itu batu akik jenis apa?"
"Ini batu legenda, tapi aku tidak tahu mengenai batu ini. Ini pemberian dari orang tuaku." Mutia tetap tersenyum meskipun hatinya merindukan orang tuanya dan ada ketakutan yang terpendam saat mengingat mereka.
Tiba-tiba, seorang gadis Minangkabau datang mendekati Mutia. Dia berkulit langsat dilihat dari cahaya yang menerangi keraton. Rambut panjangnya berwarna kuning dikepang, diletakan di depan dada sebelah kanan dan bermahkota kain bersulam emas berbentuk tanduk kerbau dengan busana tikuluak tanduak. Saat berjalan senyumnya merekah bersahabat.
Gadis itu duduk menyingkirkan Kalianda dari samping Mutia. "Aku tahu apa batu akik yang kamu miliki dan aku yakin kamu pasti bisa mengendalikan batu itu dengan kekuatan yang sangat dahsyat."
Mutia kaget mendengar ucapan gadis Minangkabau itu. Dia segera menatapnya dan semua orang menatap gadis itu.
"Perkenalkan, ambo Tantejo Azra." Dia tersenyum manis.
Semua orang kaget mendengarnya dan anak laki-laki yang berada di sana langsung berdiri dan menjaga jarak. "Kau putri ketua suku," ucap pemuda yang berasal dari Minangkabau.
Putri Tantejo yang merasa sama seperti orang lain tidak sungkan untuk bergabung dan berbagi cerita. Dia memang berpenampilan sederhana, berparas murah hati dan lembut. Dan dengan lembutnya, dia memegang tangan Mutia yang hendak beralih untuk menjaga jarak dengannya.
"Kau indak perlu pergi, ambo kan menceritakan tentang legenda dari batu akik yang kau miliki," kata Putri Tantejo.
Mutia mengangguk dan semua orang ingin mendengar.
"Sewaktu ambo kecil, bundo sering berdongeng tentang putri duyung…." Putri Tantejo bercerita melalui mantra cermin kehidupan dari batu mutiara daun talas yang menunjukan gambaran seperti film yang tercipta melalui daya imajinasinya melalui medium genangan air di atas meja.
***
Dalam bawah lautan ada kehidupan yang sangat indah dan dipenuhi ikan-ikan yang dengan bebas berenang kian kemari. Dan suatu hari seorang pemuda memancing di tengah lautan dengan perahu layarnya. Dari pagi hingga malam, pemuda itu sama sekali tidak mendapatkan ikan dan keesokan harinya pun sama. Akhirnya dengan kesalnya, pemuda itu mencebur ke dalam laut dan melihat istana yang indah. Dalam istana itu ada seorang putri yang cantik dan bermain dengan ikan-ikan. Putri itu memiliki ekor seperti ikan.
Pemuda itu mendekat. "Hai siapa dikau yang sangat cantik di dalam lautan."
"Daku adalah putri duyung, anak tunggal dari raja laut," jawab sang putri.
Melihat kecantikan putri duyung dari ras kuno yang hidup di perairan laut dalam, pemuda itu tidak peduli dengan perbedaan dunianya dan dia jatuh cinta. Maka, setiap beberapa sekali dia pergi ke dalam lautan dan suatu saat putri duyung yang menemuinya di pantai.
Putri duyung pun menyukai pemuda baik itu yang berjanji tidak akan memakan ikan sebagai wujud kesetiannya. Namun pertemuan mereka ketahui penduduk negeri manusia dan diculiklah putri duyung oleh masyarakatnya.
Istana laut yang mendengar berita itu marah dan dia menerjangkan ombak pada seluruh negeri hingga negeri itu tenggelam. Putri duyung yang kehilangan pemuda itu menangis dan tangisannya mengguncang seluruh lautan hingga gunung-gunung laut meletus. Raja laut khawatir dan meminta pada dewa untuk menghidupkan pemuda yang dicintai putrinya itu. Dewa mengabulkannya dengan syarat bahwa istana bawah laut menjadi kekuasannya dan lenyaplah negeri bawah laut hanya menyisahkan sang putri duyung.
Putri duyung yang melihat pemuda itu dan negerinya kembali, sangat bahagia tanpa mengetahui bahwa negerinya sendiri telah menjadi batu karang. Saat dia kembali dan melihat yang terjadi, maka dia kembali ke permukaan laut dan melihat pemuda yang dicintainya bersama gadis manusia.
Putri duyung pun bersedih sambil duduk di atas batu karang. Air matanya yang jatuh menjadi mutiara dan karena dia tidak kembali ke dalam laut, maka tubuhnya menghilang seperti buih.
"Begitulah cerita tentang batu mutiara air mata duyung. Ambo ingin sekali menemukan batu itu, tapi kau yang memilikinya." Putri Tantejo mengakhiri cerita dan gambaran film yang muncul dari genangan air di atas meja menghilang. "Itu adalah batu dari ketulusan cinta yang tanpa pamrih dari hati yang murni."
"Wah hebat, kau memiliki batu legenda yang sangat langka dan cerita itu begitu menyentuh," kata Kalianda.
"Terima kasih tuan Putri, saya baru mengetahui legenda di balik batu akik ini." Mutia menggenggam batu kalungnya.
Mutia pun senang mendengarnya dan dia juga bercerita bahwa dalam perjalanannya menuju tanah Minangkabau dihadang orang Bunian yang menyesatkannya berhari-hari. "Tapi saya tidak melihat seperti apa orang Bunian itu, hanya Sandanu saja yang melihat sosoknya."
Putri Tantejo pun terkejut. "Orang Minangkabau percaya bahwa siapa yang bisa melihat sosok orang Bunian maka dia akan mendapatkan amanat dan juga keberuntungan." Masyarakat Minangkabau tahu bahwa orang Bunian merupakan ras kuno yang keberadaannya masih ada mendiami sekitar hutan bukit barisan.
"Wah Sandanu benar-benar beruntung, tapi ke mana perginya dia?" sahut Kalianda menengok segala arah.
Mutia pun baru sadar bahwa Sandanu tidak berada di sampingnya. Anak laki-laki itu telah pergi meninggalkan dirinya. Ke manakah Sandanu?
***
Hilir mudik di antara kerumunan dan dengan tajam mata menyusuri ruang untuk menemukan seseorang. Wajahnya begitu tak sabar untuk melihat apa yang terjadi dengan orang yang menghilang dalam keramaian sedang dia sering dibicarakan sebagai yang dibanggakan. Tapi, mengapa pula saat dirinya tak menjadi bahan perbincangan tidak ada orang pun yang peduli padanya? Sandanu tidak bisa bertanya pada orang yang hanya mementingkan kesenangan untuk dirinya sendiri.
Langkahnya dipercepat dan dia menuju ruang yang terlihat gelap. Sinar redup memperlihatkan sosok berdiri depan jendela menghadap ke luar, langit malam. Dengan pakaian gelap yang menutupi tubuh Sandanu dan kain tenun songket berwarna biru yang menghiasi pinggang hingga lututnya, dia mendekati orang berpakaian sama gelap tapi dengan kain songket berwarna hijau muda.
"Untuk apa kamu sembunyi di sini? Apa malu karena akhirnya selama tiga tahun tak terkalahkan menjadi yang kedua?" Sandanu meringis depan Kiliran Jao yang menatap padanya.
Kiliran Jao sama sekali tidak menduga kedatangan Sandanu. Siapa dirinya yang menjadi nomor dua? Hanya anak yatim piatu yang hidup di pinggiran jalan sebagai pencuri kelas teri, sempat tertangkap dan dibuang di tengah hutan. Pada akhirnya seorang guru mengangkatnya menjadi murid.
Orang lain tidak akan peduli padanya. Meskipun berjuang untuk dapat pujian, orang hanya membicarakan kehebatan yang dimiliki, bukan kemanusiaannya yang ada karena dirinya tetap merasa bagaikan sampah. Di tanah Minangkabau yang damai dan tentram, sejujurnya dalam hati setiap orang masih menyimpan banyak keluhan.
"Dan untuk apa kau ke sini?" ucap Kiliran Jao sinis.
Sandanu tertawa sambil merangkul bahu Kiliran Jao. "Waw indah, pantas saja kamu berdiri betah di sini melihat langit malam yang penuh bintang." Sandanu melihat wajah Kiliran Jao yang kaku. "Apa kamu berharap ada bintang jatuh untuk mengabulkan harapanmu?"
"Indak usah basa-basi, ada yang akan kau sampaikan kan?"
"Ya, benar." Sandanu melepaskan rangkulannya dan menumpukan kedua lengan di jendela. "Tentang gurumu, pulanglah! Dia menunggumu di rumah. Hanya kamu yang diharapkan untuk menemani masa senjanya sebab anaknya sibuk mengurus rumah makan Padang yang harus tetap berjalan."
Tanpa Sandanu sadari, air mata berlinang di pipi Kiliran Jao. Dia sudah lama tidak melihat kakek itu dan mengapa kakek itu mengharapkan kepulangannya. "Dasar payah!" Suara Kiliran Jao bercampur isakan.
Sandanu kaget dengan gumaman yang keluar dari rekan di sampingnya. "Kamu menangis? Kalau begitu aku tidak akan mengganggumu."
Kiliran Jao melihat bayangan Sandanu yang berkelebat meninggalkan dirinya. Hatinya terasa sakit diingatkan oleh orang lain tentang gurunya, sedangkan dirinya selalu mengabaikan kata hati yang selalu datang untuk menasehati.
Tidak ada yang lebih dari kekesalan bahwa dirinya ingin hidup mandiri dan tidak ingin menyusahkan kakek itu, gurunya yang dia tinggalkan pergi. Semuanya terjadi begitu saja, karena mendengar anak tunggal Datuk Marunggul yang merasa cemburu pada dirinya yang lebih diperhatikan dari anak sendiri. Kiliran Jao merasa bahwa sudah saatnya meninggalkan gurunya agar anaknya tidak cemburu pada dirinya. Tapi mengapa malam ini dia mendengar suara dari jauh yang merindukannya dan menantikannya pulang?
Sekarang, Kiliran Jao tidak peduli karena dia tahu gurunya sangat merindukan dan menanti dirinya pulang. Dia senang mendengar hal itu. Dia berpikir, gurunya tidak akan mematuhi isi suratnya dan ternyata memang sudah saatnya Kiliran Jao yang menemui gurunya sendiri dan membuatnya bangga memiliki murid terbaik.
"Terima kasih Sandanu, aku akan menemui guru."
Dari belakang tubuh Kiliran Jao, Sandanu tersenyum sambil mengangguk. Dia masuk ke kerumunan pesta yang tidak berhenti penuh canda dan tawa kebahagiaan hingga perginya malam dan ayam berkokok memberitahukan bahwa laskar cahaya fazar menyingsing di ufuk timur. []