Chereads / Satria Galuh / Chapter 4 - Aliran Sastra

Chapter 4 - Aliran Sastra

Mendengar riwayat hidup sahabatnya dari muridnya langsung membuat Datuk Marunggul sedih berurai air mata. Suratan takdir telah bercerita, mau bagaimana lagi semua sudah terjadi? Kini hanya tinggal kenangan mulai mendayung memenuhi bayangan Datuk Marunggul mengenai sahabatnya.

Sejak pertama bertemu pada masa terjadinya awal revolusi negeri Tirta, sebagai orang yang berbeda tanah negeri, Datuk Marunggul menyerang Syekh Sayuti. Pertarungan itu terjadi sehari semalam namun tidak juga ada yang kalah. Mereka sama-sama memiliki kekuatan penyembuhan yang membuat tetap bugar setiap kali dapat serangan dan akhirnya sepakat bahwa mereka akan berhenti bertarung.

Dari kejadian itu, mereka bersama berkelana untuk mencari keadilan di dunia. Sangat takjub sampai tertawa terpingkal-pingkal, Datuk Marunggul tidak percaya bahwa teman barunya berkelana mencari negeri antah berantah yang sudah dia dengar sejak kecil sebagai dongeng sebelum tidur.

Kini pun terulang di umurnya yang senja. Bertemu dua anak muda yang sama gila dan ternyata murid dari sahabatnya untuk mencari negeri Galuh.

"Hahaa…" Datuk Marunggul tertawa mengingat banyak keseruan saat bersama Syekh Sayuti. "Ternyato dia mangkat lebih dulu, tapi perjuangannyo tak berakhir, sedangkan ambo..." Beliau kembali bersedih.

Beberapa kali Datuk Marunggul tertawa kemudian bersedih lagi, membuat dua anak muda di depannya yang mengenang dalam kesedihan menjadi terheran. Kakek tua di depannya cepat sekali mengubah ekspresi wajahnya tanpa jeda dengan kedataran.

"Kakek, baik-baik saja kan?" tanya Sandanu.

Datuk Marunggul terdiam dari sedu sedannya. Kemudian tertawa lagi, hahaha…. Dan bersedih lagi. huhuhu….

Sandanu dan Mutia pun hanya bisa terpengkur menunggu orang tua di depannya bisa menyadari keadaan mereka yang sesungguhnya mulai bosan memperhatikan dirinya. Kebosanan itu menghilangkan rasa sedih dalam bayang kenangan gurunya sampai mereka tertidur hingga tidak menyadari senja mulai merajut di ufuk barat.

Sebuah guyuran air pun membangunkan mereka. "Nak bangun, ayolah bantu kakek menyirami tanaman." Datuk Marunggul sudah lebih baik dari sebelumnya.

Kedua anak itu bangun dengan kebingungan sambil mengucek matanya perlahan. Terpaksa mereka pun mengikuti perintahnya. "Baik Kek."

***

Keceriaan tercipta di wajah mereka yang kehilangan lelahnya. Ini pertama kalinya mereka bermain air dengan tumbuhan, biasanya dulu bermain dengan lembaran buku saat berada di menara Kubah Emas.

Mereka menyirami tanaman, sedangkan Datuk Marunggul menyiapkan air dari sumber air di kolam. Jika air di dalam tempat penyiram habis, mereka kembali mendekati Datuk Marunggul yang menyidukkan air dengan santai.

"Batu apa yang kakek kendalikan?" tanya Sandanu saat mereka minum teh setelah selesai menyiram tanaman.

Mereka duduk di batang pohon yang masih berakar dan begitu besarnya pohon itu, bisa memuat tiga orang duduk di atas batangnya yang telah terpotong datar. Ramuan teh yang masih hangat pun menemani suasana santai dengan cahaya meredup yang indah penuh guratan mega mendung di langit senja. Burung-burung bernyanyi damai dan binatang melatah merayap santai seperti kadal dan bunglon.

"Ini batu mustika akar," Datuk Marunggul memperlihatkan batu akiknya. "Dan inilah yang akan ambo berikan untuk kalian."

Datuk Marunggul mengucapkan mantra. "Batu mustika akar bersinar, ramuan kesehatan." Seketika sinar terang kehijauan datang dari batu akik yang Datuk Marunggul kendalikan dan dari ujung jari yang terselip cincin batunya, muncul tetes air yang dicelupkan pada dua cangkir milik tamunya.

"Minumlah, ramuan ini akan menyehatkan kalian dalam perjalanan!"

"Terima kasih Kakek!" Sandanu dan Mutia langsung meminumnya.

"Ramuan kesehatan itu akan menstabilkan aliran sastra bagi seorang jewel," ujar Datuk Marunggul.

Sastra adalah jenis kekuatan yang bersemayam dalam tubuh seorang jewel yang memberikan kekuatan untuk mengendalikan batu akik. Tanpa adanya sastra, maka seseorang tidak bisa menggendalikan batu akik. Sastra ini pula yang akan menyesuaikan tubuh pengendali dengan kekuatan batu akiknya.

Kemudian ada mantra yang sempat diucapkan Datuk Marunggul. Mantra adalah kekuatan sastra yang menjadi teknik yang umum dikuasi oleh seorang jewel. Jadi, setelah tubuh manusia memiliki aliran sastra yang stabil, dia bisa menggendalikan batu akik dengan menggunakan mantra yang tercipta oleh aliran sastra yang memberikan perintah terhadap sistem syaraf di otak sehingga manusia bisa mengucapkan mantra seperti janis batu yang digunakannya.

"Aku merasakan aliran sastraku menjadi besar dan stabil, kekuatanku menjadi tambah banyak." Sandanu bersemangat tinggi.

Datuk Marunggul senang melihat Sandanu yang bersemangat dan anak itu berdiri dari duduknya untuk memperlihatkan kekuatan pengendalian batu akik yang Sandanu kuasai dari gurunya.

"Batu mustika siliwangi bersinar," jari tangannya menggosok batu akik yang melingkar sebagai cincin dan cahaya putih bersinar. "Harimau putih….." Sosok bayangan besar harimau putih keluar melalui melalui medium sastra yang terbentuk sebagai gerbang dimensi, harimau itu pun mengaum keras hingga pohon-pohon bergoyang.

AUWMMM…..

Dengan bangganya Sandanu telah menunjukkan kekuatan pengendalian batu akik yang dikuasainya dan Datuk Marunggul tertawa puas. Tapi, Mutia hanya terdiam dengan senyuman tipis. Dia merasa dirinya tidaklah hebat dan payah, memiliki batu akik tapi tidak bisa mengendalikannya.

"Inilah yang akan ambo berikan padamu," Datuk Marunggul menepuk bahu Mutia. "Ambo tahu, guru kau pasti indak memberitahukan pada kau bahwa kau memiliki aliran sastra dalam tubuh kau itu."

"Aliran sastra dalam tubuhku?" Mutia terkejut.

Dia menyadari, selama di menara Kubah Emas Mutia tidak pernah berlatih memusatkan aliran sastra dan gurunya pun tidak memberitahukan bahwa dalam tubuhnya ada aliran sastra. Hanya Sandanu yang selalu berlatih dan bercerita betapa kuat dirinya dan akan menjaga Mutia meskipun Mutia tidak memiliki aliran sastra.

Mendengar Mutia memiliki aliran sastra, Sandanu langsung mendekat ingin tahu. "Kamu memiliki aliran sastra?"

"Ya, Mutia memiliki aliran sastra tapi keadaannya membeku," ujar Datuk Marunggul. "Pasti kau memiliki beban yang berat dalam hati kau, indak usah bercerita jika kau indak ingin membuka luka kau itu."

Mutia tahu maksud Datuk Marunggul. Dirinya merasa ketakutan dengan kejadian yang menimpa kedua orang tuanya. Karena mengeluarkan semua kemampuan pengendalian batu akik, mereka harus mengorbankan jiwanya hingga kini Mutia tidak memiliki keluarga.

Ya, luka itu sangat besar berada di hatinya dan dia tidak sanggup bercerita pada siapa pun termasuk Sandanu. Sandanu pun hanya diam dan duduk di sampung Datuk Marunggul yang lain.

"Tapi, jika kau bisa melupakan peristiwa buruk dalam hidup kau dan mempercayai kekuatan kau, suatu saat nanti kau bisa mengendalikan batu akik yang kau miliki Nak!"

"Aku tidak tahu ini batu apa." Mutia mengenang pemberian dari orang tuanya, sekaligus peninggalan mereka yang satu-satunya Mutia miliki sekarang.

"Kau pernah dengar batu legenda? Itu adalah jenis batu yang kau miliki, mutiara air mata duyung." Datuk Marunggul bisa mengetahui nama batu akik itu dari aliran sastra yang beliau rasakan ketika mengamati batu akik tersebut.

"Batu legenda?" Sandanu kaget mendengarnya.

"Mutiara air mata duyung?" Mutia seperti baru mendengar nama batu yang dimilikinya.

"Iya indak salah lagi, kau memiliki batu yang langka, Nak." Datuk Marunggul tersenyum.

Sandanu senang mendengarnya. "Waw keren, kamu bisa lebih hebat dari diriku. Aku memiliki jenis batu mustika."

"Kehebatan dari pengendalian batu akik bukan dari jenis batunyo, tapi dari peningkatan aliran sastra, Nak. Apa Syekh Sayuti tidak memberitahukannyo?"

Sandanu menggeleng. Dia hanya tahu tentang sastra hingga menciptakan mantra untuk mengendalikan batu akik. Tentang batu legenda, dia dengar dari wanita di tanah Karo yang bercerita padanya saat mendapat tumpangan menyusuri sungai menggunakan rakit. Wanita itu pun berujar mencari batu legenda yang ternyata dimiliki mutia. Gurunya memang hanya menegaskan pada pencarian jati diri yang sejati yang sama sekali sulit untuk Sandanu pahami. Penuh teori dan filosofi.

Huff… Datuk Marunggul menghembuskan nafasnya. Beliau pun memberitahukan tentang jenis batu.

"Yang pertamo adalah batu mulia, jenis batu ini banyak dimiliki oleh para jewel dan tercipta dari proses kejadian alam. Keduo adalah batu mustika, jenis batu yang tercipta dari proses kehalusan roh. Dan ketigo adalah jenis yang langka, batu legenda yang tercipta dari sebuah legenda."

"Kemudian tentang tingkatan sastra. Tingkat pengendalian batu akik yang pertamo adalah mantra dan setiap mantra memiliki kekuatan berbeda, bagaimano menurut aliran sastra pengendali dan batu yang dikendalikannyo. Keduo adalah syair, merupakan teknik pengendalian batu akik yang memiliki kemampuan lebih tinggi dan terakhir adalah Khodam."

"Apa itu khodam?" tanya Sandanu penasaran karena Datuk Marunggul tidak memberitahukannya.

"Ambo sendiri indah tau, belum pernah ambo bertemu dengan seorang jewel dengan tingkat sastra khodam." Datuk Marunggul tersenyum sekalipun dalam hatinya dia sudah punya anggapan mengenai kekuatan khodam namun tidak yakin untuk memberitahu mereka berdua.

"Jadi, itu adalah teknik rahasia." Sandanu menyimpulkannya sendiri.

"Bukan, masih ado teknik rahasia yang hanya dikuasi oleh orang-orang tertentu."

"Wah!" Sandanu kaget mendengar penjelasan mengenai pengendalian batu akik yang ternyata masih banyak hal yang belum diketahuinya.

"Lalu, bagaimana denganku Kek?" Mutia angkat bicara.

"Kau bisa mengendalikan batu mutiara air mata duyung jika hati kau biso yakin dan percayo dengan kekuatan kau, kau harus mengalahkan ketakutan yang bersemayan dalam hati kau. Hanya itu yang bisa ambo beritahukan pada kau."

Matahari telah sempurna tenggelam. Bunyi orong-orong menandakan malam akan datang dan kunang-kunang mulai bersinar memberikan cahaya temaram yang indah. Dan mereka berpamitan untuk pergi.

Datuk Marunggul tidak bisa memberikan banyak bekal tapi ramuan kesehatan yang telah diberikannya akan menjaga tubuh mereka dari luka dan gangguan kesehatan. Beliau sendiri tidak bisa menunjukkan jalan menuju negeri Galuh yang mereka cari. Jadi, sampai sini pertemuan mereka.

"Oh iya, di hari merah besok ada sayembara jewel di keraton Pagaruyung yang diselenggarakan oleh ketua suku Minangkabau setiap akhir tahun, jika kalian memenangkan sayembara beliau akan mengabulkan permintaan kalian yang masuk akal."

Keraton merupakan pusat pemerintahan di suatu tanah negeri, sekaligus sebagai kediaman ketua suku yang memimpinnya. Kemudian, mengenai nama-nama hari, diambil berdasarkan urutan cahaya pelangi. Hari merah adalah hitungan hari pertama yang juga menjadi hari libur bagi para pekerja umum.

"Sip, terima kasih Kakek," teriak Sandanu. "Aku akan memenangkan Sayembara itu."

Sebelum mereka pergi, Datuk Marunggul membisikan sesuatu pada Sandanu yang tidak Mutia ketahui. Tetapi, beliau juga memberikan bekal kepada Mutia sebanyak satu ronce yaitu seikat uang benggol yang berjumlah sepuluh keping untuk perjalanan mereka. []