Chereads / Satria Galuh / Chapter 5 - Keraton Pagaruyung

Chapter 5 - Keraton Pagaruyung

Dari dalam laut, cahaya matahari siap berpendar dan pertama kali yang bersinar adalah keraton Pagaruyung yang berdiri megah berlapis seni ukir di dindingnya yang penuh warna kilauan emas dan perak yang berdiri di atas bukit Tanjung Emas. Merupakan sebuah keraton yang dibangun dari kayu pohon besi terbesar di tanah Minangkabau yang direndam dalam air selama seribu malam hingga tahan terhadap goncangan dan terhadap perubahan cuaca. Motif dinding bergambar tumbuhan, binatang dan simbol kehidupan yang memberikan makna alam takambang menjadi guru.

Dan atapnya yang meruncing dari ijuk berlapis emas menjulang tinggi hingga menembus awan seakan keraton Pagaruyung menyangga langit tanah Minangkabau. Ada 360 buah atap gonjong di keraton Pagaruyung dan 99 buah gonjong tertinggi membentuk garis setengah lingkaran jika dilihat dari luar angkasa dan terlihat dari cakrawala cahayanya yang bersinar hingga tanah Mentawai pada sebuah pulau di tengah lautan.

Di dalam keraton, pilar-pilar kayu besar menjadi penyangga yang berlapis emas dan perak dengan ukiran seni tinggi. Dari tangga pintu masuk berlari seorang abdi untuk membawa kabar pada sang ketua suku dengan menaiki empat puluh anak tangga.

"Ampun yang diagungkan, hamba membawa berita bahwa sayembara jewel tahun ini siap dilaksanakan." Abdi bersimpu hormat di depan ketua suku.

Hari itu, ketua suku yang didampingi oleh istrinya mengenakan baju batabue yaitu baju kebesaran yang berupa baju kurung berwarna hitam yang dihiasi sulaman dari benang emas dengan bawahan berbentuk celana panjang. Sulaman emas di bajunya sendiri membentuk corak dan motif yang simetris. Selain itu, ketua suku pun mengenakan deta sebagai penutup kepala sebagai simbol kehormatannya dari kain hitam yang dililitkan.

Dan dari singgahnya sang ketua suku berdiri keluar untuk melihat hari bahagia yang beliau selenggarakan, selepas datang sang pengawal mengabarkan bahwa di arena pertandingan seluruh pemuda pengguna jewel sudah berkumpul untuk mengikuti sayembara. Para abdi keraton pun mengawal langkah agungnya menuju arena luas yang telah disiapkan untuk pertandingan para jewel.

Arena sayembara berada di bagian selatan keraton dekat dengan Tanjung Mamutih yang memakan waktu tidak sebentar. Karena itu, ketua suku menuju arena menggunakan kerbau putih sebagai tunggangan keagungannya.

"Hahaha…. Wahai anak-anakku, di sinilah kita hidup dalam damai dengan keteraturan alam yang mengajari cara kehidupan yang baik. Namun apa daya, kemasyhuran haruslah indah dan menjaga yang perlu dilestarikan dalam mempertahankan tanah Minangkabau. Karena itu kukumpulkan kalian untuk bukti bahwa tanah kita masih berada di dunia ini. Era batu akik, hahaha…."

Setelah memberikan sambutan sang ketua suku duduk untuk menyaksikan pertandungan yang akan segera dimulai. Bermacam-macam jamuan dihidangkan untuk menemani para tetamu, para penghulu yang datang diundang.

Penduduk tanah Minangkabau dari setiap penjuru berkumpul di bukit Tanjung Emas untuk menyaksikan moment berlangsungnya sayembara jewel terbaik tahun ini. Dari anak-anak hingga orang tua, siap menyaksikan aksi para anak muda yang gagah berani untuk unjuk kekuatannya. Peserta kali ini bukan hanya pemuda asal tanah Minangkabau namun dari beberapa tanah negeri yang ada di negeri Tirta.

Diawali dengan tiupan trompet, pertandingan dimulai. Dan orang yang berdiri pertama di tengah arena adalah sang penantang dari pemenang terbaik tahun sebelumnya, maka siapa pun yang maju siap untuk mengukur kemampuannya dengan jewel terbaik di Minangkabau.

"Inilah penantang yang menjadi sang jawara. Kiliran Jao dengan batu sungai dareh yang namanya dikagumkan oleh seluruh penduduk tanah Minangkabau….."

Orang yang disebutkan pun masuk lapangan. Sebuah tanah lapang luas di tengah arena dan penonton duduk mengelilingi dalam suatu bangunan tak beratap yang membentuk oval dengan lengkungan di sisi kanan-kiri lebih tinggi bagai tanduk kerbau. Bangunan megah ini berbeda dengan bangunan lain di komplek keraton karena terbuat dari beton yang dibangun ratusan tahun lalu pada masa imperium Malaynesia sebagai tempat hiburan petinggi imperium dengan acara gladiator.

Terlihat sang ketua suku berdiri di ujung tanduk kanan yang teratas, Kiliran Jao memberi hormat pada ketua suku dengan membungkukkan badannya. Untuk ujung tanduk sebelah kiri adalah tempat yang biasanya Kiliran Jao duduki sebagai pemenang.

Pemuda gagah berikat kepala yang menutupi rambutnya, dan tubuh tinggi kekar berbalut pakaian hitam siap mendapatkan tantangan. Dan penantang pertama datang jauh dari tanah Lampung pun memasuki arena.

Pemuda berkulit langsat dengan rambut cepak berwarna pirang datang dengan sambutan hebat dari para penonton. "Inilah Kalianda dengan batu anggur apinya." Pembawa acara memperkenalkan dirinya.

Pertandingan pun langsung dimulai. Senyuman tipis menghiasi bibirnya dengan wajah yang menunduk dan jari menggosok cincin batunya. "Batu anggur api bersinar, bola-bola api." Seketika udara di arena dipenuhi oleh bola-bola api yang menyala membuat Kiliran Jao kaget melihatnya seolah baru pertama melihat banyak bola api terbang memenuhi udara di atas kepalanya.

Kiliran Jao memundurkan langkah kakinya saat melihat Kalianda tersenyum menang melihat ekspresi Kiliran Jao, tapi pemuda Minangkabau itu belum menunjukkan kekuatannya.

"Hujan Api!" ucap Kalianda sambil menunjuk udara di atas yang penuh bola api dengan jari tangannya yang bercincin, dan batu anggur api berwarna oranye pun bersinar menunjukkan kekuatan.

Ketika bola-bola itu mulai jatuh, Kiliran Jao mengangkat lengan kanannya dan sebuah gelang batu bersinar. "Batu sungai dareh bersinar, PUSARAN AIR…." Teriaknya, dan di setiap bola api keluar pusaran air kecil yang memadamkan setiap bola api yang berukuran sebesar anggur.

Bola api serasa diremas oleh air yang berputar dan percikan menghiasi udara dengan kembang api yang membuat penonton bergemuruh tepuk tangan. Kalianda yang menyaksikan kehebatan Kiliran Jao menggertakan giginya.

Tidak kalah di sana, Kalianda mengucapkan mantra kembali. "Batu anggur api bersinar, tembakan api…" Kalianda berlari cepat memutari arena dengan menembakkan api pada Kiliran Jao melalui jarinya yang bercincin.

Dengan santainya, Kiliran Jao menghindari tembakan Kalianda. Sambil memejamkan mata, memusatkan aliran sastra, dia menggunakan teknik syairnya. "Dari kejernihan mata air sungai dareh, ARUS MEMATIKAN." Kiliran Jao mengangkat lengannya dan dari batu sungai dareh keluar arus air yang semakin jauh semakin besar hingga Kalianda tidak bisa menghindarinya dan dia jatuh dengan tubuh basah dan kehabisan nafas karena terbawa arus sungai maha dahsyat.

Pertandingan pertama pun dimenangkan Kiliran Jao dan lawan selanjutnya pun datang mencoba untuk menaklukkan kekuatannya. Kali ini, pemuda berasal dari tanah Mentawai yang datang mengendalikan batu suliki. Dan pertandingan dua elemen air pun berlangsung.

Pemuda dari tanah Mentawai menunjukkan kemampuannya menciptakan ombak dan dirinya berselancar di antara deburan ombak untuk menyerang Kiliran Jao. Begitu pula pemuda tanah Minangkabau tersebut menciptakan arus air yang lebih kencang hingga pertunjukan mereka membuat banyak penonton tegang.

Arena sayembara yang cukup luas di mana sekelilingnya diberi tembok penghalang dan sedikit cekungan yang memisahkan barisan penonton, terlihat arena itu dipenuhi air yang terlihat seperti air tawar dan air laut yang saling bergesekan sebagai dua kekuatan berbeda. []