Chereads / Satria Galuh / Chapter 3 - Tanah Aceh

Chapter 3 - Tanah Aceh

Menara Kubah Emas merupakan sebuah perpustakaan besar yang berada di tanah Aceh dan terletak di tengah kota yang memiliki akses masuk dari berbagai penjuru.

Di tempat ini tersimpan semua arsip dan literasi tanah Aceh dari turun-temurun, untuk menjaganya diperkerjakan anak-anak yatim piatu yang tidak memiliki tempat tinggal sekaligus sebagai tempat belajar bagi mereka. Sebagai tempat yang penting, ditunjuk seorang pemimpin perpustakaan oleh ketua suku dan yang menjabat saat itu adalah Syekh Sayuti Malik.

Syekh Sayuti Malik merupakan orang yang sangat dihormati karena pengetahuannya yang luas dan telah mengelilingi daratan Andalas sampai menyebrang ke daratan Javanica, meskipun ada satu yang tidak dipercayai orang mengenai dirinya bahwa beliau percaya tentang keberadaan negeri antah berantah bernama Galuh. Sebab itu, beliau pun tidak akan membicarakan negeri itu di tengah tatanan tanah Aceh yang baru sebagai tanah bagian negeri Tirta.

Banyak anak umur di bawah lima belas tahun yang tinggal di menara Kubah Emas dan terdapat dua remaja berumur di atasnya, mereka adalah Rakeyan Sandanu dan Cut Mutia. Kedua anak inilah yang paling Syekh Sayuti percayai untuk pengawasan teman-temannya.

"Kamu, tahu buku apa ini?" Sandanu memegang buku berlapis emas di sampulnya dengan gambar sebuah pulau yang besar. Buku yang sebelumnya ditemukan anak berumur tujuh tahunan dan diserahkan padanya.

Siang itu tidak banyak pengunjung yang datang ke menara Kubah Emas, mereka berdua berdiri di antara rak-rak buku yang menjulang tinggi sampai langit-langit yang tingginya lima ruas batang bambu. Keadaan sangat legang dan terlihat rapi, tanpa ada buku yang terletak miring atau bertindihan. Semua buku berdiri berjajar rapi.

Mutia mengambil buku itu dari tangan Sandanu. "Mungkin ini buku rahasia, lebih baik kita berikan pada guru," ujar Mutia.

"Jangan dulu, aku ingin melihatnya." Sandanu merebut kembali buku di tangan Mutia dan dia mulai membukanya.

Sebuah keajaiban terjadi saat buku itu terbuka. Cahaya terang keluar dari buku tersebut yang membuat mereka berdua tidak bisa melihat karena saking silaunya cahaya yang menerpa.

Seketika cahaya itu padam, mereka berdua berada di dimensi lain yang membawa mereka ke negeri antah berantah. Ketakjuban pun memukau mata mereka berdua yang tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Langit seolah terbuka sehingga ribuan bintang dan planet terlihat menakjubkan. Tidak bisa diketahui apa itu siang atau malam karena dunia yang mereka datangi sangat bercahaya indah yang membuat mata tidak bisa mengartikan keindahannya.

"Di mana kita ini?" tanya Sandanu.

Tiba-tiba ada seseorang yang meraih buku dari tangan Sandanu dan menutupnya. Seketika itu, bayangan mengenai negeri itu pun menghilang sebelum mereka berdua beranjak untuk melihat keindahan lainnya. Sandanu dan Mutia pun tercengang menyadari perubahan ruang dan waktu dengan berdirinya guru di hadapan mereka.

"Ini adalah kitab pusaka yang tidak boleh ada orang yang mengetahuinya karena bisa membawa petaka." Dengan tegasnya, Syekh Sayuti berdiri di depan muridnya yang telah lancang. "Dan jangan membuka buku ini di sembarang tempat."

"Maafkan kami, guru." Sandanu dan Mutia menyesal.

Syekh Sayuti yang berwibawa memaafkan kedua muridnya dan karena terlanjur mereka mengetahuinya, beliau pun memberitahukan hal yang sangat diimpikannya mengeni negeri Galuh.

Umur beliau sudah mendekati senja tapi jiwanya masih muda meskipun kerutan di wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa lelah dalam perjalanan hidup yang sudah dilaluinya. Mungkin sudah saatnya ada orang yang bisa diharapkan untuk meneruskan impiannya untuk menemukan negeri antah berantah itu.

"Hahahaha… tidak apa-apa." Syekh Sayuti menepuk bahu dua muridnya. "Karena kalian telah membuka kitab pusaka ini tanpa sepengetahuan saya, maka kalian harus berjanji."

"Baik guru, kami akan melakukan apa pun yang guru katakan," balas Sandanu.

Mutia pun menambahkan. "Iya guru, meskipun kami harus dihukum."

"Baik-baik, hukuman kalian adalah carilah negeri Galuh sampai dapat dan tegakan keadilan bagi seluruh dunia. Di sana akan kalian ketahui rahasia kekuatan sastra dan penciptaan alam semesta!"

"?" Sandanu dan Mutia menatap gurunya.

"Meskipun orang menganggap bahwa negeri itu adalah khayalan atau mitos di dalam dongeng-dongeng, saya yakin negeri itu ada. Bukankah juga juga sudah melihatnya?"

Mereka berdua mengangguk. "Tapi, haruskah kami meninggalkan tanah Aceh?" tanya Sandanu.

"Bahkan kami berdua tidak pernah meninggalkan tanah Aceh sejak masuk menara Kubah Emas." Mutia mengingat, bahwa di tempat ini dirinya bertemu Sandanu dan setelah itu dia tidak pernah pergi dari menara Kubah Emas.

"Kalian, saya bebaskan dan pergilah dengan jiwa petualang, hanya kalian berdualah yang belum pergi dari tempat ini dari semua anak seangkatan."

Sandanu tidak ingin meninggalkan menara Kubah Emas meskipun sudah di atas lima belas tahun sebagai batas kelulusannya karena dia tidak tahu dari mana asalnya, sedangkan Mutia sudah tidak memiliki siapa-siapa kecuali keluarga di menara Kubah Emas.

"Guru." Mereka berdua memeluk gurunya.

***

Setelah kejadian hari itu, pagi-pagi di menara Kubah Emas terjadi kegaduhan. Anggota keamanan tanah Aceh mengepung menara Kubah Emas dan anak-anak dikumpulkan. Kekacauan itu membuat anak-anak ketakutan dan perpustakaan porak poranda. Buku-buka berserakan dan tidak ada yang berani merapikannya.

Anak-anak seperti menjadi tahanan dan dikumpulkan di halaman Kubah Emas yang membuat penduduk tanah Aceh tercengang menyaksikannya. Sandanu dan Mutia pun ada di kumpulan anak-anak yang dalam penjagaan ketat, sedangkan guru mereka berdiri di depan mereka semua.

Ketua suku tanah Aceh datang. "Syekh Sayuti Malik." Beliau menemui guru mereka.

"Lihatlah anak-anakku, di depan kalian yang kalian anggap sebagai guru terbaik, Syekh yang mengajarkan ilmu kepada keturunan tanah Aceh, ternyata seorang pengkhianat tanah Aceh." Ketua Suku bicara lantang sambil merentangkan tangan di depan anak-anak.

Matahari pagi mulai menghangatkan lapisan udara dan kicauan burung seolah bungkam melihat peristiwa di depan menara Kubah Emas. Penduduk pun ketakutan dengan melihat amarah ketua suku. Dialah ketua suku termuda yang diangkat setelah kedua orang tuanya meninggal dalam peristiwa yang memalukan.

Ketua suku muda tanah Aceh yang berparas tampan dan tinggi gagah dengan tubuh mudanya, berbalut pakaian kebesaran tanah Aceh. Baju jas leher tertutup dengan sulaman emas yang menghiasi kerahnya yang dilengkapi celana panjang berlipat sarung di pinggang. Bagian kepala memakai makutip yang dililit tangkulok atau kain tenun dari emas. Beliau memasang wajah marahnya di depan anak-anak yang tidak mengerti banyak urusan tanah negeri.

"Anda, Syekh Sayuti yang dimuliakan," ketua suku menatap guru di depan muridnya dengan tudingan salah besar. "Anda sudah menyembunyikan suatu peninggalan yang berharga, kenapa Anda menyembunyikan kitab pusaka ini dari penguasa tanah Aceh?"

Sandanu dan Mutia tercengang melihat buku bersampul emas ada di tangan ketua suku. Mereka tidak bisa memahami bagaimana buku itu bisa berpindah tangan.

"Ketua suku yang agung, bukankah negeri Galuh adalah negeri antah brantah dalam dongeng anak-anak, jika engkau tidak percaya bukalah!"

Ketua suku yang geram langsung membuka buku tersebut. Yang terjadi membuat Sandanu dan Mutia tidak percaya, karena buku itu tidak mengeluarkan cahaya dan menciptakan dimensi lain. Ternyata benar kata guru mereka: petunjuk diberikan hanya pada jiwa suci yang penuh iman.

"Sekarang engkau percaya tuanku?" Syekh Sayuti tersenyum ramah.

Ketua suku memang belum pernah melihat buku itu sebelumnya dan tidak tahu misteri yang tersembunyi. Hanya dengan nafsu akan kekuasaan, beliau mencoba untuk congkak dengan memiliki buku itu, tapi sesungguhnya hatinya itu tidak bisa membohongi terhadap kesucian buku yang menyimpan keajaiban baginya. Hanya orang yang terpilih dan mendapat petunjuk. Karena itulah dihadapan banyak orang, ketua suku menelan rasa malu yang mendalam.

"Anda telah membuatku malu di depan semuanya." Ketua suku menudingnya bersalah. "Penjarakan Syekh Sayuti di lantai neraka."

Ketua suku yang membuat keputusan itu langsung menjebloskan Syekh Sayuti ke lantai neraka pagi itu. Semua orang yang mendengarnya pun tercengang, begitu juga anak-anak yang menganggap gurunya adalah orang tua sebagai teladan, menjerit-tangis tak rela. Tapi ucapan ketua suku adalah hukum yang harus dipatuhi, tidak ada yang sanggup menyanggah ataupun melawannya.

Sebelum beliau dibawa pergi oleh anggota pertahanan, Syekh Sayuti minta izin untuk dipertemukan dengan dua muridnya dan memberikan mereka salam perpisahan. Sandanu dan Mutia tidak terima dengan perlakuan terhadap gurunya. Mereka berjanji akan menemukan negeri itu dan menegakan keadilan di dunia.

Sang guru pun berbisik dengan bahasa yang tidak Sandanu pahami. Meskipun tidak memahami kalimat yang gurunya bisikan, Sandanu akan terus mengingatnya untuk menemukan identitas jati diri sendiri. "Galuh galeuhna galih."

Setelah itu, ketua suku pun membakar buku bersampul emas di depan menara Kubah Emas yang disaksikan banyak penduduk tanah Aceh, sekaligus penutupan menara Kubah Emas untuk umum. Buku itu beliau dapatkan dari anak laki-laki yang pertama kali menemukannya di bawah rak setelah mengobrak-abrik menara Kubah Emas dan menakan anak-anak.

Ketua suku mencoba percaya karena negeri Galuh yang dianggap berjaya bisa mewujud di tanah Aceh dengan buku itu dan dirinya bisa menjadi raja seperti gelar pemimpin sebelum perang dunia kedua yang mengubah setatusnya menjadi tanah negeri dengan pemimpin sebagai ketua suku, juga kalah takluk oleh tanah Melayu yang membangun salah satu lima negeri besar pasca perang dunia kedua berakhir. Dan tanah Aceh menjadi bagian dari negeri Tirta.

Lantai neraka adalah penjara bawah tanah dan bagi tahanannya tidak diberikan makanan dan pengawasan. Syekh Sayuti hanya terduduk diam di antara tulang belulang yang tidak mengeluarkan bau busuk, tapi jiwa suci yang telah penuh penyesalan. Beliau pun merenungi segala kesalahan hingga tubuhnya tidak lagi bergerak. Tidak akan ada orang yang bisa keluar dari penjara lantai neraka dan dikabarkan beberapa hari kemudian bahwa Syekh Sayuti pun mangkat (wafat).

Penduduk tanah Aceh mendapat berita itu dari pengawas penjara dan berita itu tersebar hingga didengar Sandanu dan Mutia. Mereka yang tidak bisa melihat kepergian gurunya membuat sebuah kubur kosong dengan nama guru mereka di sebuah bukit.

Sore hari dengan ditemani angin yang menggoyangkan rumput-rumput hingga bersujud, mereka berpamitan kepada sang guru untuk melakukan perjalanan jauh ke negeri antah berantah dengan keyakinan bahwa pencariannya tidak akan sia-sia.

"Kami akan kembali ke depan guru di sini setelah perjalanan kami berakhir." Sandanu berdiri tegak dengan menahan air mata.

Dia mengingat semua yang menjadi pesan dari gurunya. Sandanu akan menemukan negeri Galuh dan selamanya menjaga Mutia. Sandanu pun menatap punggung Mutia, dia tahu perasaan gadis itu.

Mutia menangis tersimpu di atas tanah makam kosong buatan mereka untuk mengenang jasa gurunya. Dia pun meletakkan seikat bunga sebagai hadiah untuk mengharumkan jiwa guru di alam keabadian. "Ulôn (saya) akan selalu berdoa untuk guru. Dalam perjalanan, akan ulôn hadirkan guru dalam hati ulôn."

Bersama mengguratnya mega mendung di cakrawala barat dan burung-burung walet yang menghiasi langit dengan warna merahnya, Rakeyan Sandanu dan Cut Mutia memulai langkah perjalanan panjangnya untuk menemukan negeri antah berantah, negeri Galuh yang mereka yakini ada di suatu tempat di dunia ini. []