Kedasih terus mengamati jalannya pertempuran yang sangat dahsyat itu. Matanya nyaris tak berkedip terutama saat melihat pertandingan yang sangat berimbang sehingga seru bukan main antara Resi Galunggung melawan Pendekar Santi Aji, Resi Papandayan melawan Mpu Rakha Bumi, Resi Guntur melawan Resi Amarta.
Sementara pertarungan antara Resi Pangrango melawan Nyai Wilis mulai berjalan berat sebelah. Satu dari Resi Opat Gunung yang sangat kesohor itu terdesak hebat. Meskipun serangan-serangan yang dilancarkan oleh Nyai Wilis seolah biasa saja tapi hawa sakti yang terkandung di dalamnya membuat Resi Pangrango selalu terhuyung-huyung nyaris jatuh.
Kedasih berdebar. Jika sampai Resi hebat itu bisa dijatuhkan oleh Nyai Wilis, keseimbangan pertarungan akan sangat berubah. Kedasih bisa melihat dengan jelas pasukan Majapahit terus saja mengalir masuk arena pertempuran. Tenaga-tenaga baru yang belum kelelahan maju menggantikan teman-teman mereka yang tewas atau terluka. Hal ini membuat pasukan Galuh Pakuan menjadi kewalahan. Benteng memang belum ditembus tapi nampaknya itu tak lama lagi. Apalagi ketika rombongan berikutnya pasukan Majapahit yang masuk membawa kereta yang berisikan alat dobrak berupa kayu bulat berukuran raksasa.
Dalam ketakjubannya, Kedasih menjadi miris hatinya. Di manapun pertempuran terjadi selalu saja ada korban jiwa yang jatuh secara sia-sia. Para prajurit yang hanya menuruti perintah itu mungkin malah tidak tahu permasalahan yang sebenarnya apa sehingga perang yang setiap saat bisa merenggut hidup mereka dari keluarganya terjadi. Namun mereka tetap maju menyabung nyawa atas nama kesetiaan dan pengabdian.
Menjelang siang, keseimbangan pertempuran berubah total. Pasukan Galuh Pakuan yang tersisa masuk ke dalam benteng. Meninggalkan ratusan mayat teman-teman mereka di luar. Malam nanti mereka bisa mengambil mayat dan menarik yang terluka. Sudah menjadi kesepakatan tidak tertulis bagi sebuah peperangan besar antar kerajaan bahwa malam hari dipergunakan sebagai jeda pertempuran. Agar berkesempatan untuk beristirahat, mengatur ulang strategi dan merawat yang terluka serta menguburkan yang tewas di medan laga.
Panglima Narendra yang juga dalam kondisi terluka, memerintahkan pasukan bertahan habis-habisan mempertahankan benteng sambil menunggu datangnya bala bantuan. Pertempuran antara 2 pasukan besar itu berhenti dengan masuknya seluruh pasukan Galuh Pakuan ke dalam benteng. Panglima Haryo Sembodo tidak mau bertindak ceroboh melanjutkan pertempuran dengan mencoba mendobrak pintu benteng. Biarlah pasukannya istirahat dulu sebelum melanjutkan upaya penaklukan menjelang sore nanti.
Pasukan boleh jeda bertempur, tapi para tokoh sakti di kedua belah pihak enggan untuk berhenti. Bagi mereka, membela tanah air dan kerajaannya jauh lebih penting dibanding rasa lelah dan kemungkinan kalah. Ini masalah harga diri orang-orang sakti.
Bahkan Resi Pangrango sendiri meskipun sudah terluka cukup parah tetap saja melanjutkan perlawanan terhadap Nyai Wilis. Tubuhnya sudah cukup gemetar karena nyaris kehabisan tenaga. Tapi resi perkasa itu terus bertahan dan coba menggempur balik Nyai Wilis. Nyai Wilis sebenarnya juga sudah kelelahan. Meskipun menang tenaga, pengalaman dan hawa sakti, namun pendekar wanita tua ini telah berada pada usia senja. Tenaganya cepat habis dan hawa sakti yang telah dikeluarkannya hanya pulih secara perlahan.
Nyai Wilis kagum sekali kepada lawan yang dihadapinya. Dia tahu siapa Resi Opat Gunung. Dia tidak pernah bertempur melawan satupun dari mereka, namun mengenal mereka dengan baik karena nama besar Resi Opat Gunung sudah tersebar di seantero Tanah Jawa.
Nyai Wilis tahu bahwa jika dia tidak segera mengalahkan Resi Pangrango hingga sore hari, tenaganya akan benar-benar habis dan dia berada dalam bahaya. Tapi mengalahkan resi ini tanpa membunuhnya adalah hal yang cukup berat. Nyai Wilis mengambil keputusan cepat. Dengan berat hati dia akan menghabisi Resi Pangrango karena ini merupakan cara satu-satunya agar tugasnya terlaksana. Di dalam hatinya, Nyai Wilis menangis terisak-isak.
Di arena pertempuran yang lain, keadaan yang sebelumnya seimbang sudah pula berubah. Resi Galunggung beberapa kali terkena pukulan Pendekar Santi Aji meskipun dia sendiri juga sempat menyarangkan satu dua pukulan ke tubuh pendekar sakti Majapahit itu. Resi tua tangguh itu terdesak hebat. Hanya tinggal menunggu waktu saja sampai resi ini tumbang dikalahkan. Kedasih sudah menduga bahwa Resi Galunggung akan kalah dalam hitungan tak sampai beberapa kejapan mata. Benar saja, sebuah pukulan telak dari tangan Pendekar Santi Aji mendarat keras di dadanya. Resi Galunggung terjatuh. Memuntahkan darah segar berkali-kali kemudian meregang nyawa dengan bangga karena mempertahankan tanah yang dicintainya.
Berbeda dengan rekannya yang telah tewas, Resi Papandayan justru berhasil mendesak hebat Mpu Rakha Bumi. Mpu andalan Majapahit yang beberapa waktu lalu bertempur melawan Raja dan terluka parah itu, hanya bisa mengelak. Apalagi Gada Wesi Kuning sudah sejak tadi terlempar dari tangannya akibat pukulan dahsyat Resi Papandayan. Diiringi suara teriakan mengguntur keras, Kedasih melihat tubuh Mpu Rakha Bumi melayang ke udara dengan nyawa melayang setelah Resi Papandayan berhasil mengirimkan pukulan beruntun yang semuanya telak mengenai perut, dada dan leher Mpu sakti itu.
Kedasih mulai merasakan basah di sudut matanya. Peperangan mengerikan ini membuatnya sedih tidak terkira.
Tidak jauh dari tempat tewasnya Mpu Rakha Bumi, Resi Guntur dan Resi Amarta saling beradu pukulan pamungkas. Keduanya sudah sangat kelelahan dan memutuskan mengadu nyawa dalam sekali adu pukulan. Terdengar suara menggelegar ketika kedua resi sakti itu masing-masing terlempar ke belakang. Resi Guntur terbatuk-batuk dan dari hidung dan mulutnya mengalir darah kental yang cukup deras. Resi ini terluka sangat parah. Nafasnya tersengal-sengal. Resi Papandayan yang masih berada di arena pertempuran segera menyambar tubuh Resi Guntur dan membawanya masuk ke dalam benteng yang segera ditutup dengan cepat setelah sang resi masuk.
Di lain pihak, Resi Amarta tidak jauh berbeda keadaannya. Resi ini juga terluka sangat parah yang membahayakan jiwanya. Pendekar Santi Aji cepat-cepat membawanya pergi agar segera bisa diobati. Di garis belakang, tabib kerajaan selalu bersiaga dan berjaga-jaga.
Arena pertempuran menjadi lengang. Hanya tersisa pertempuran tak seimbang namun masih berlangsung antara Resi Pangrango melawan Nyai Wilis. Saat yang paling menentukan pun tiba. Nyai Wilis bersiap mengirimkan pukulan terakhir yang mematikan ketika tiba-tiba saja berkelebat bayangan yang muncul dari dalam benteng. Panglima Narendra menyerang Nyai Wilis dengan membabi buta demi melindungi Resi Pangrango yang berdiri dengan lunglai namun tetap memasang kuda-kuda dengan gagah.
-******