Tentu saja Nyai Wilis bukanlah lawan Panglima Narendra yang hanya bertindak nekat demi nyawa Resi Pangrango. Panglima ini bukanlah orang sembarangan. Murid terpandai di Padepokan Leungeun Maut yang sangat terkenal dan menjadi prajurit Galuh Pakuan yang sangat tangguh sebelum akhirnya diangkat menjadi seorang Panglima Besar.
Senjata andalan Panglima Narendra adalah pedang. Kelihaiannya inilah yang dipakai untuk menyerang Nyai Wilis yang berlompatan menghindar dengan lincah. Nyai Wilis bisa saja menurunkan tangan maut seketika kepada panglima yang gagah ini. Tapi tugasnya bukan ini. Mata Nyai Wilis melirik kesana kemari sambil terus berlompatan menghindar. Sudut matanya menangkap sebuah bayangan masuk ke arena pertempuran dan langsung menghantam Panglima Narendra dengan pukulan maut.
Kedasih membelalakkan mata. Puteri Merapi!
Bayangan yang meluncurkan pukulan ganas dan mematikan terhadap Panglima Narendra memang benar adalah Puteri Merapi. Namun penampilannya yang biasa rapi dan cantik manis berubah seratus delapan puluh derajat. Rambutnya panjang awut-awutan dan dibiarkan tergerai hingga pantat. Wajahnya yang sebagian hancur tertutupi oleh rambut awut-awutan itu. Kakinya terpincang-pincang akibat luka yang tidak bisa disembuhkan akibat jatuh ke Sungai Cipamali tempo hari ketika dihajar pukulan maut Raja. Puteri Merapi menjelma menjadi Putri Kuntilanak saking seramnya.
Panglima Narendra bertahan sebisanya dari serangan berbahaya Puteri Merapi. Tubuhnya sudah sangat kelelahan dan dalam kondisi terluka sehingga apa yang bisa dilakukannya adalah melompat kesana kemari berusaha menghindari serangan kalap Puteri Merapi. Nyai Wilis melompat mundur. Dia tidak mau melakukan pengeroyokan. Lagipula memang momen inilah yang ditunggu-tunggunya agar tugasnya bisa ditunaikan.
Kedasih tidak bisa lagi menahan diri melihat Puteri Merapi menyerang Panglima Narendra yang tinggal menunggu waktu saja untuk terkena pukulan maut Puteri dari Merapi yang mengerikan itu. Kedasih melompat keluar dan berlari sekencangnya sambil merapal mantra-mantra yang dipelajarinya dari Nyai Halimun.
Suara gemuruh dahsyat kilat dan petir menyertai Kedasih yang berdiri di depan Panglima Narendra dan Resi Pangrango yang duduk bersila tak berdaya. Wanita dosen ilmu sejarah itu terus merapal mantra-mantra langka. Mendung pekat langsung menyelimuti sore hari di pinggiran Sungai Cipamali. Petir terus bersahutan seakan memperingatkan Puteri Merapi agar membatalkan niatnya menjatuhkan tangan maut.
Puteri Merapi tertawa panjang persis Kuntilanak. Telunjuknya menuding Kedasih dengan pandangan garang dan mengancam.
"Kau! Kau! Kau akan mati hari ini agar kawanmu yang bernama Raja itu berkabung seumur hidupnya!" Tanpa basa basi lagi Puteri Merapi melakukan hal yang sama. Merapal mantra-mantra hitam yang luar biasa. Puteri Merapi memang dikenal sebagai ahli sihir tingkat tinggi.
Mendung hitam semakin tebal menyelimuti palagan. Panglima Narendra memandang ternganga melihat wanita penolongnya itu adalah ahli sihir tingkat tinggi yang tidak dikenalnya sama sekali. Dia akan berterimakasih nanti. Panglima ini juga berdoa agar penolongnya itu bisa memenangkan pertarungan melawan kuntilanak haus darah itu.
Pertempuran yang terjadi kali ini adalah pertempuran sihir tingkat tinggi. Kedasih sudah menyamai tingkatan Puteri Merapi dalam waktu singkat karena diperkuat dengan ritual Candra Mawa.
Petir menyambar-nyambar hebat. Meledak-ledak di sekitar arena pertempuran. Panglima Narendra terpaksa mundur jauh sambil memapah Resi Pangrango. Sedangkan Nyai Wilis hanya mundur beberapa langkah sambil menyaksikan pertarungan sihir ini dengan hati trenyuh.
Semua orang yang menyaksikan, termasuk prajurit Galuh Pakuan dari atas benteng dan prajurit Majapahit yang berada di pinggir sungai, ngeri melihat petir itu semakin meraksasa dan menghantam tanah dan pepohonan di sekitar arena pertempuran. Tanah dan pohon-pohon langsung terbakar hangus. Menimbulkan bau sangit yang sangat menyengat.
Kedasih baru kali ini bertempur dalam pertarungan yang sesungguhnya menggunakan ilmu yang baru dipelajarinya. Tapi dia tahu harus berbuat apa. Termasuk membagi serangannya ke arah Nyai Wilis yang tersenyum gembira dari tempatnya menonton.
Pertempuran yang mungkin akan dilanjutkan esok hari akan menjadi tidak seimbang jika Nyai Wilis dan Puteri Merapi ini masih hidup. Kedasih tahu dia harus menghabisi mereka berdua. Wanita ini juga tahu bahwa Nyai Wilis tidak akan balas menyerang. Entah mengapa, Kedasih seolah berubah menjadi seorang yang tahu persis apa yang harus dilakukannya dan apa yang akan terjadi kepada dirinya.
Pertarungan sihir itu terus berlangsung dengan dahsyat. Mendung hitam dan petir itu adalah mendung dan petir yang sesungguhnya. Kedasih dan Puteri Merapi sama-sama mengundang kedatangan mendung dan petir itu untuk menghabisi lawannya.
Meskipun ilmu sihir Kedasih sudah disempurnakan oleh ritual Candra Mawa, namun yang dihadapinya ini adalah seorang ahli sihir hitam yang sudah mendarah daging sejak kecil. Puteri Merapi menambah kekuatan sihirnya. Petir yang menyambar Kedasih semakin banyak dibanding petir yang coba menghantam tubuh Puteri Merapi. Tak lama lagi pertahanan Kedasih akan jebol dan petir Puteri Merapi dipastikan akan menghantam tubuhnya. Nyai Wilis mengangkat kedua tangannya ke atas.
Angin prahara yang luar biasa dahsyat datang menderu-deru menutupi seluruh arena pertempuran. Pemandangan yang tak bisa dipercaya. Di antara angin yang berputar dahsyat itu terlihat petir menyambar-nyambar ke segala arah di tengah arena.
Nyai Wilis sejatinya sedang menolong Kedasih yang terdesak dan berusaha mengacaukan perhatian Puteri Merapi dengan mendatangkan badai prahara. Nyai Wilis tidak hanya menguasai ilmu kanuragan yang luar biasa tinggi, namun juga memiliki kemampuan sihir yang bahkan lebih tinggi dibanding Puteri Merapi atau Puteri Calon Arang sekalipun.
Sebuah ledakan maha dahsyat terjadi. Badai prahara itu menghilang dengan cepat. Membawa serta mendung hitam mengerikan yang menyelimuti tempat itu. Kilat dan petir juga sudah berhenti. Yang tersisa di tengah arena pertempuran adalah 3 sosok tubuh yang tergeletak tak berdaya. Pertempuran itu berakhir sampyuh.
Terdengar jeritan melengking tinggi yang menyayat hati berbarengan dengan suara kaki kuda yang berderap cepat. Citra, Raja dan Sin Liong secara bersamaan melompat dari kuda dan mengerubungi tubuh Kedasih yang kejang-kejang hampir kehabisan nafas.
"Kedasih! Kedasiiiiiiiiiiiiih! Jangan mati! Jangan tinggalkan akuuuuuuu!!" teriakan itu keluar dari mulut Citra yang memangku tubuh Kedasih sambil beruraian air mata. Raja dan Sin Liong berkaca-kaca matanya. Ini hal yang tidak bisa mereka terima. Wanita yang selama ini mendampingi dan menemani mereka dengan setia, mengorbankan segalanya, harus tewas mengenaskan tanpa mereka bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya.
Menggunakan sisa-sisa tenaganya yang terakhir, Kedasih mengelus pipi Citra dengan gerakan lemah.
"Jangan tangisi kebahagiaanku Tuan Putri Dyah Pitaloka. Aku…aku bahagia bisa menggenapkan takdir yang akan ditulis untukmu. Aku …aku bahagia menjadi bagian dari sejarah yang merupakan jalan hidupku. Aku…aku bahagia bisa mati di tanah ini. Di zaman ini. Aku…aku bahagia Putri. Tersenyumlah untukku." Citra tidak bisa menbendung lagi ledakan tangisnya. Airmatanya membanjiri wajah dan pipi Kedasih yang perlahan-lahan menutup matanya setelah melihat Citra tersenyum di antara tangisannya.
--*******