Kedasih melambaikan tangan dengan penuh rasa haru kepada saudari-saudari seperguruannya yang mengantar hingga pintu air terjun. Hari ini dia diminta turun dari padepokan oleh Nyai Halimun. Sudah saatnya, kata Nyai Halimun saat melepasnya pergi.
Meskipun Nyai Halimun hanya mengajarinya ilmu sihir hingga tingkat tertinggi, namun secara otomatis langkah Kedasih menjadi jauh lebih ringan, tidak mudah lelah, dan kepercayaan diri yang berlipat-lipat. Kedasih hanya mendapat satu petunjuk dari Nyai Halimun untuk pergi ke perbatasan Galuh Pakuan dengan Majapahit.
"Di sana kau akan tahu apa yang harus kau lakukan nak." Begitu pesan Nyai Halimun.
Di perjalanan, barulah Kedasih mendengar kabar-kabar yang beredar bahwa Galuh Pakuan dan Majapahit sedang siap berperang karena Putri Dyah Pitaloka yang dilamar oleh Maharaja Majapahit, hilang tanpa jejak.
Berarti Citra sekarang di mana? Apakah dia masih bersama Raja? Karena terakhir kali dia mendengar dari saudari seperguruannya bahwa bulan lalu Putri Dyah Pitaloka berkunjung ke batas luar wilayah Padepokan Sekar Halimun ditemani oleh seorang pemuda yang sakti. Siapa lagi kalau bukan Raja.
Tapi setelah itu dia tidak mendengar kabar mereka sama sekali. Juga kabar Sin Liong yang seolah lenyap ditelan bumi. Mungkin Nyai Halimun memerintahkan saudari-saudarinya agar tidak memberikan informasi apapun tentang dunia luar supaya tidak mengganggu konsentrasinya yang sedang giat belajar ilmu sihir dari Nyai Halimun.
Kedasih mencoba tidak berpikir banyak. Lebih baik dia cepat sampai di perbatasan. Di sana kau akan tahu apa yang harus kau lakukan nak. Pesan itu terus terngiang-ngiang di telinga Kedasih.
Satu hal yang sangat membahagiakan Kedasih adalah dia mendapatkan pengalaman langka hingga bisa masuk ke abad ke-14. Dia adalah dosen ilmu sejarah yang sangat antusias jika bicara tentang masa lalu dan kejadian-kejadian hebat di masa itu. Tak disangkanya sama sekali bahwa dia sekarang sedang menghirup udara Tanah Jawa yang bersih. Tanpa asap dan polusi sama sekali. Hutan-hutan belantarapun masih mudah dijumpai. Sungai-sungai yang mengalir, baik kecil maupun besar terlihat begitu jernih dan segar. Kesempatan langka yang sangat berharga bagi seorang yang berprofesi seperti Kedasih. Matipun aku tidak menyesal, batin Kedasih dengan penuh kebahagiaan.
Kedasih mendongak ke arah jalanan. Dia sedang di pinggir sungai kecil yang sangat bening. Kedasih kehausan dan minum langsung dari sungai.
Jalanan itu gaduh dengan suara genderang dan tambur yang dipukul bertalu-talu. Kedasih tertarik untuk melihat. Wanita ini naik ke pinggir jalan dan menyaksikan rombongan besar pasukan Galuh Pakuan yang mengular saking panjangnya, berjalan dengan gegap gempita. Pasukan berjumlah ratusan itu terdiri dari pasukan panah, pasukan tombak dan pasukan pedang. Di barisan paling belakang barulah berbaris dengan rapi pasukan berkuda.
Wah! Wah! Kedasih sangat takjub melihat pasukan besar itu sangat bersemangat. Meneriakkan yel-yel perang sambil diiringi oleh tambur dan genderang bernada cepat dan tinggi. Bukan main! Kebahagiaan Kedasih bertambah lagi. Bulu kuduknya merinding hebat. Ah, aku benar-benar beruntung!
Setelah rombongan besar pasukan itu lewat, Kedasih melanjutkan perjalanan. Wanita ini benar-benar menikmati setiap detik yang dilaluinya di dunia beratus tahun sebelumnya dari masa dia berasal. Wajahnya berbinar ceria dan mulutnya tak pernah lepas dari senyuman. Duh Gusti! Jika boleh memilih aku tidak ingin kembali ke masaku. Aku ingin selamanya berada di sini. Kedasih membatin disertai dengan keyakinan dan keinginan yang sangat kuat.
Setelah setengah hari berjalan santai dan sempat bermalam di sebuah gubuk kecil pinggir jalan yang memang sering dipakai tempat menginap para pengembara, Kedasih melanjutkan perjalanan lagi menjelang fajar. Dia ingin tiba di perbatasan tepat di pagi hari. Ingin menikmati suasana Sungai Besar Cipamali yang sangat kesohor itu.
Belum lama Kedasih berjalan, terdengar suara sorak sorai ramai dan genderang tambur bertalu-talu di kejauhan. Kedasih mempercepat langkahnya. Dia menduga sedang terjadi sesuatu yang hebat di perbatasan.
Benar saja. Sedang terjadi pertempuran dahsyat antara pasukan Majapahit melawan pasukan Galuh Pakuan di depan markas perbatasan Kerajaan Galuh Pakuan. Kedasih semakin mempercepat langkahnya. Jantungnya berdegup kencang. Dia menjadi saksi mata sebuah peperangan besar antar kerajaan yang sering dibacanya di buku-buku sejarah.
Rupanya pagi tadi sebelum fajar merekah, pasukan Majapahit menyeberang diam-diam dalam gelombang penyerbuan yang besar. Berhasil menaklukkan ratusan penjaga perbatasan di pinggir Sungai Cipamali lalu merangsek maju hingga halaman markas perbatasan yang sangat luas ini.
Pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Panglima Haryo Sembodo datang berduyun-duyun dalam jumlah tak habis-habis. Mengalir deras ke arena pertempuran karena tempat penyeberangan sudah dikuasai sepenuhnya.
Pasukan Galuh Pakuan bertahan dengan hebat di markas perbatasan. Hujan anak panah tanpa henti menghujani pasukan Majapahit yang berusaha melindungi diri mereka menggunakan tameng-tameng yang mereka bawa. Tak urung puluhan pasukan Majapahit terkapar dan bergeletakan di mana-mana. Tewas terpanggang anak panah tajam pasukan Galuh Pakuan.
Namun karena jumlahnya sangat besar, ibaratnya 1 orang prajurit yang tewas digantikan langsung oleh 5 orang. Lama kelamaan pasukan Galuh Pakuan kehabisan anak panah. Mereka telah berhasil menewaskan ratusan orang, tapi sekarang tidak ada pilihan lain selain bertempur menggunakan tombak dan pedang.
Jerit kesakitan dan teriakan perang membahana di arena pertempuran. Pertarungan masal terjadi. Ribuan pasukan Majapahit melawan ribuan pasukan Galuh Pakuan. Sementara di tempat penyeberangan ribuan lagi pasukan Majapahit mengalir masuk.
Kedasih tercengang. Jantungnya bukan lagi berdebar-debar namun berdetak kencang seperti seorang pelari jarak pendek yang mengeluarkan seluruh tenaganya agar cepat sampai tempat finish.
Matanya terpaku pada arena pertempuran yang melibatkan hanya beberapa orang di lapangan sebelah kanan. Dekat dengan tempatnya menyaksikan.
Resi Galunggung berhadapan dengan Pendekar Santi Aji menyuguhkan pertarungan tingkat tinggi yang luar biasa cepat dan sulit diikuti mata biasa. Kedasih bisa karena dia sekarang adalah ahli sihir yang luar biasa.
Resi Papandayan bertarung melawan Mpu Rakha Bumi yang bertempur dengan mengandalkan Gada Wesi Kuningnya. Keduanya punya tenaga dan hawa sakti yang setara sehingga pertarungan terjadi dengan alot dan berimbang.
Tidak jauh dari tempat itu, Kedasih melihat pertarungan yang juga sangat luar biasa cepat. Mpu Guntur melawan Resi Amarta. Kedua tokoh yang sama-sama bertubuh kecil itu melesat kesana kemari dengan kecepatan tinggi dan saling bertukar pukulan yang menimbulkan suara bersiut menakutkan.
Mpu Pangrango nampak sedang melayani serangan-serangan yang terlihat sangat lemah dari seorang wanita sangat tua yang nampak ringkih. Nenek itu menggunakan sebatang tongkat kecil yang tadi membantunya berjalan. Kedasih bergidik bukan main. Meskipun terlihat ringkih dan serangannya terlihat ringan, namun angin pukulan nenek itu luar biasa dahsyat. Mpu Pangrango sendiri tidak berani beradu tenaga dan hawa sakti karena tahu tenaganya masih kalah dari lawannya yang tiada lain Nyai Wilis.
--*****