Malam yang sangat mendebarkan bagi Kedasih tiba. Sejak sore semua persiapan ritual telah dilakukan. Ini malam purnama. Saat yang paling tepat untuk menyerap kekuatan bumi dan langit. Semua anak murid Sekar Halimun membicarakan upacara gaib yang sangat jarang terjadi ini. Seingat mereka yang telah paling lama berada di Padepokan, ini kali kedua ritual gaib ini dilakukan.
Dulu pernah ada. Murid tertua dari Nyai Halimun menjalani upacara Candra Mawa yang sama. Saat itu semua ritual berhasil dilaksanakan. Namun ketika purnama mencapai puncaknya, murid itu kejang-kejang tidak kuat menerima limpahan kekuatan purnama. Tak berselang lama murid tersebut meninggal dunia. Karena itulah ritual itu tidak pernah diadakan lagi oleh Nyai Halimun sampai betul-betul ada murid yang sanggup menerima kekuatan sebesar itu. Nyai datuk sihir itu sedikit memaksakan diri menjalankan ritual bagi Kedasih karena mengejar waktu atas ramalan yang disampaikan Eyang Halimun.
Sebelum Padepokan Sekar Halimun berdiri, ritual ini sesungguhnya sudah lama ada. Nyai Halimun pernah bercerita dari sekian kali ritual yang pernah dilakukan. Hanya dirinya yang masih hidup hingga usia setua sekarang. Lainnya tewas tak berapa lama sejak ritual dilakukan. Ritual ini memang sangat berbahaya. Sampai orang-orang menyebut ritual ini selalu meminta nyawa orang yang menjalaninya.
Kedasih duduk bersimpuh di hadapan Nyai Halimun yang sedang menyiramkan air dari mata air Pengasihan ke sekujur tubuhnya. Setelah itu tiga belas jenis kembang yang tumbuh di Ngarai Halimun dihamburkan di kepala Kedasih. Nyai Halimun tak henti-henti merapal mantra-mantra menggunakan bahasa yang dikenali Kedasih sebagai Bahasa Jawi Kuno.
Suasana mistis menguar dengan kuat begitu Nyai Halimun selesai merapal mantra. Angin berhenti bertiup. Hawa luar biasa dingin menyergap tubuh Kedasih yang basah kuyup. Dari atas kepalanya mengepul uap tipis yang menimbulkan aroma aneh. Aroma yang belum pernah dibaui oleh Kedasih. Bukan bunga, bukan bangkai, bukan dupa. Bukan aroma yang biasa ada.
Nyai Halimun bersimpuh di depan Kedasih sambil memegang kedua tangan wanita itu erat-erat. Aliran hawa hangat menjalar masuk ke setiap pori-pori kulit Kedasih. Terasa nyaman. Karena rasa dingin mulai menyerangnya dengan sangat hebat. Tulang-tulangnya terasa nyilu. Kepalanya seperti dibungkus es tebal, dan nafasnya tersendat-sendat karena rongga dadanya menyempit cepat.
Setelah yakin hawa hangat itu membantu mengurangi penderitaan Kedasih, Nyai Halimun melepaskan pegangannya. Sebentar lagi puncak purnama. Dia tidak boleh bersentuhan dengan Kedasih karena bisa berbahaya bagi keduanya.
Tepat tengah malam, purnama sampai pada peraduan tertingginya. Cahayanya yang putih keperakan menyelimuti seluruh tubuh Kedasih untuk beberapa saat. Kedasih menggigil keras. Giginya gemeletukan dan sekujur tubuhnya gemetaran. Uap yang keluar tidak hanya dari kepalanya. Kali ini semua pori-pori tubuhnya juga mengeluarkan uap putih yang makin lama makin menebal. Kedasih seperti sedang di dalam sauna namun dengan suhu yang sangat berlebihan.
Beberapa kali terdengar rintih kesakitan Kedasih. Nyai Halimun membiarkan karena memang dia tidak bisa apa-apa. Sampai purnama itu turun dari puncaknya barulah dia bisa menolong Kedasih dengan cara menghentikan ritual. Masih beberapa menit lagi. Kedasih mulai berkelojotan. Gadis itu sekarat. Nyai Halimun mendesah panjang. Seharusnya dia tidak memaksa diri. Tapi semuanya sudah terlanjur. Tubuh Kedasih nampak kaku diam. Nyai Halimun mulai diselimuti rasa penyesalan.
Puncak purnama lewat. Nyai Halimun buru-buru merapal mantra menyudahi upacara. Tubuh Kedasih yang tadi bersimpuh dalam posisi tegak, langsung terguling. Nyai Halimun menangkap tubuh yang sangat dingin itu dan langsung menyalurkan hawa sakti kembali. Nyai Halimun sangat berharap tindakannya belum terlalu terlambat. Karena tubuh Kedasih sudah sedingin dan sekaku mayat.
Nyai Halimun berkaca-kaca saking terharunya. Kedasih mulai membuka matanya meski dengan sangat berat. Seolah ada bandul seberat batu gunung memberati matanya. Tubuhnya remuk redam. Kedasih sangat kelelahan. Tapi ada sesuatu yang berbeda dari dirinya sekarang. Dia merasa kepalanya sangat ringan. Dadanya sangat longgar sehingga udara yang dihirupnya terasa sangat nyaman.
Kedasih telah melewati saat-saat kritis. Wanita itu berhasil menjalani sebuah ritual langka yang sangat berbahaya. Ilmu sihir yang dipelajarinya dari Nyai Halimun sempurna secara dadakan. Kedasih menjelma menjadi seorang wanita yang tiada duanya.
Nyai Halimun bergetar hatinya. Eyang Halimun benar. Wanita dari puluhan abad ke depan ini siap menjalankan perannya yang sangat penting. Tak lama lagi.
-----
Raja, Citra dan Sin Liong kembali ke timur melalui jalur pantai utara. Mereka mengejar waktu. Tidak ingin berlama-lama di perjalanan. Jarak ke perbatasan sangat jauh sehingga diputuskan untuk membeli kuda.
Ketiganya berkuda dengan kecepatan tinggi. Hanya berhenti saat beristirahat makan dan minum bagi mereka dan kuda-kudanya. Setelah itu melanjutkan perjalanan siang dan malam. Tidurpun hanya dilakukan sebentar karena mereka tahu kudapun butuh tidur. Dalam sehari semalam mereka sudah menjauhi ibukota Galuh Pakuan dan mendekati setengah perjalanan menuju perbatasan.
Di sepanjang jalan yang dilalui saat berhenti makan di warung-warung. Santer tersiar kabar bahwa perbatasan sedang sangat genting. Situasi memanas dengan cepat. Apalagi ketika orang-orang Majapahit tahu bahwa orang-orang Galuh Pakuan belum ada tanda-tanda menemukan Putri Dyah Pitaloka. Bahkan dikabarkan putri kerajaan itu menghilang di Ujung Kulon.
Perbatasan dipenuhi oleh pasukan bersenjata lengkap kedua kerajaan yang sedang bertikai. Sepanjang pinggiran Sungai Cipamali berdiri banyak sekali tenda-tenda di kedua sisinya. Patroli diadakan siang malam. Khawatir jika ada serangan mendadak atau penyusupan.
Panglima Narendra juga berada di perbatasan. Memimpin langsung pasukan besar Galuh Pakuan. Panglima ini kemana-mana selalu didampingi oleh Resi Opat Gunung. Menjaganya secara ketat dari serangan tokoh-tokoh sakti Majapahit yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi. Mereka tidak mau Panglima Besar mereka terluka atau tewas sebelum perang meletus. Panglima Narendra sangat diandalkan untuk mengatur strategi dan gerak pasukan besar.
Di sisi sungai yang lain, Mahapatih Gajah Mada mewakilkan kepada Panglima Haryo Sembodo untuk memimpin pasukan di perbatasan. Mahapatih besar ini memilih berada di Pesanggarahan Bubat memantau situasi bersama Putri Calon Arang. Kekuatan pasukan Galuh Pakuan tidak sebesar Majapahit sehingga Mahapatih Gajah Mada tidak khawatir sama sekali.
Apalagi pasukan Majapahit diperkuat oleh banyak tokoh sakti. Pendekar Santi Aji, Mpu Rakha Bumi, Resi Amarta, dan yang lainnya. Satu hal yang sangat menenangkan Mahapatih Gajah Mada adalah Nyai Wilis berhasil dibujuk untuk turun ke perbatasan. Tidak ada yang tahu alasan nenek sakti itu sampai mau campur tangan urusan kerajaan yang selama ini sangat dihindarinya. Hanya Nyai Wilis seoranglah yang tahu persis alasan sebenarnya.
--****