Raja dan Citra sampai juga di tempat tujuan. Di depan mereka Sungai Cipamali mengalir dengan tenang. Citra tidak minta mereka menyeberang. Terlalu berbahaya. Di seberang sana termasuk wilayah Kerajaan Majapahit. Mereka hanya akan menelusuri pinggiran sungai yang banyak dihuni penduduk untuk mencari informasi.
Mereka sedang berada tak jauh dari tempat penyeberangan orang di mana banyak perahu kecil yang hilir mudik mengangkut penumpang dari arah Majapahit ke Galuh Pakuan dan sebaliknya. Terlihat keributan yang memancing orang-orang berdatangan di pelabuhan yang cukup ramai itu.
Seorang bertubuh tambun dengan baju mewah dan perhiasan mahal nampak bertolak pinggang di hadapan seorang tukang perahu yang sudah tua dengan tubuh kurus.
"Kau terlambat! Aku sudah memesan jauh-jauh hari agar kau menjemputku di sini tapi kau sama sekali tak terlihat. Aku menunggumu setengah harian di sini! Apa kau pikir kau bisa seenaknya kepada orang yang memiliki perahumu itu?!"
Orang tua itu dengan bibir bergetar dan muka pucat mencoba mengemukakan alasannya.
"Mohon maaf Tuan. Saya sedang tidak enak badan. Saya suruh anak saya untuk menggantikan tapi dia tidak kuat mendayung karena masih kecil Tuan. Mohon maaf sekali lagi. Saya tidak akan mengulangi."
Raja sudah hendak maju mendamprat orang tambun yang jumawa itu saat Citra mendadak menarik lengannya menjauh.
"Jangan ikut campur Raja! Ada seseorang yang cukup mencurigakan berada di antara para penonton. Aku rasanya mengenal lelaki tampan dan gagah di sebelah sana."
Raja mengerutkan keningnya. Matanya mencari-cari arah tatap mata Citra. Memang ada seorang lelaki berumur empat puluhan yang gagah dan tampan berdiri tidak jauh dari sumber keributan sambil terus melihat ke kanan dan kiri.
"Siapa dia?" Raja bertanya penasaran.
Citra berusaha menyembunyikan tubuhnya di balik Raja lalu berbisik di belakang pemuda itu.
"Itu Pendekar Santi Aji. Seorang tokoh besar Majapahit. Aku mengenalnya dengan baik. Demikian juga dia mengenaliku dengan baik juga."
Raja tidak mau bertanya kenapa sampai Citra saling kenal dengan seorang tokoh Majapahit. Perhatiannya tertuju pada orang tambun yang memegang rotan dan mulai memukuli tukang perahu yang gemetar ketakutan.
Pukulan pertama mengenai punggung tukang perahu sehingga lelaki tua itu mengeluh kesakitan. Namun pukulan kedua yang kemungkinan akan membuat tukang perahu pingsan, tidak mengenai sasaran karena sesosok bayangan berkelebat datang dan menangkis pukulan itu dengan tenang. Pendekar Santi Aji merebut rotan dari tangan si orang tambun. Dari mulutnya terdengar gerutuan pelan namun jelas terdengar oleh semua yang ada di situ.
"Tidak selayaknya kau memukul tubuh orang sekurus itu. Ada baiknya kau memukuli dirimu sendiri yang kelebihan daging." Sambil berkata Pendekar Santi Aji menyerahkan rotan ke orang tambun yang dengan beringas melanjutkan pukulan keras, ke pahanya sendiri. Terdengar jerit kesakitan berulang-ulang saat orang tambun itu terus memukuli dirinya sendiri tanpa sadar. Sebuah sihir yang cukup kuat telah mempengaruhi si orang tambun sehingga tanpa sadar memukuli dirinya sendiri.
"Cukup!" Pendekar Santi Aji merebut rotan dan menjentikkan jemarinya di muka si orang tambun yang langsung tersadar dan mengaduh-aduh kesakitan memegangi pahanya yang bengkak.
"Pendekar Santi Aji! Berani-beraninya kau menginjakkan kaki di wilayah Galuh Pakuan tanpa izin!" terdengar teriakan garang disusul dengan kemunculan beberapa orang prajurit Galuh Pakuan dipimpin oleh seorang panglima muda yang dari sorot matanya tampak pemberani.
Pendekar Santi Aji mendengus pelan.
"Aku boleh menginjakkan kakiku ke tanah siapa saja. Tak seorangpun yang berhak melarangku pergi kemana saja. Termasuk kalian prajurit-prajurit sombong!"
Panglima muda bernama Manggala itu membentak marah.
"Aku berhak melarangmu! Kau orang Majapahit tak tahu adat ikut campur urusan orang di Tanah Pasundan!"
Raja melihat 2 buah perahu menyeberang dengan tergesa-gesa. Di dalamnya berdiri 4 orang kekar berseragam prajurit Majapahit. Raja menyaksikan kericuhan ini dengan benak dipenuhi pertanyaan. Jika bibit sengketa kecil seperti ini seringkali muncul di perbatasan, dan dia melihatnya seperti itu, lalu permasalahan kecil mudah memercikkan api yang membakar perselisihan, kenapa sampai tidak timbul sebuah peperangan besar di antara Majapahit dan Galuh Pakuan?
Hal ini mungkin karena kepemimpinan di masing-masing pihak yang berusaha keras untuk menahan diri. Biarlah terjadi bentrokan kecil di lapangan. Paling penting adalah tidak ada yang sampai terbunuh.
Tapi bentrokan kecil ini melibatkan seorang tokoh besar Majapahit. Raja khawatir perselisihan ini bisa meluas dan membesar. Pemuda ini melirik Citra yang sedang fokus memperhatikan jalannya pertengkaran. Apalagi 2 perahu dari Majapahit itu sudah mendarat dan kini 4 prajurit Majapahit berdiri di belakang Pendekar Santi Aji sambil memegang hulu pedang masing-masing. Siap bertarung.
Panglima Manggala punya dukungan anak buah lebih banyak. Pos jaga penyeberangan di sisi Galuh Pakuan memang terisi setidaknya 2 regu yang sekarang semuanya berdiri di belakang sang panglima dengan sikap siaga.
Raja terperanjat saat Citra setengah berlari ke depan hendak melerai. Buru-buru Raja menyambar lengan gadis itu dan menariknya mundur.
"Raja, lepaskan! Aku harus melerai mereka. Tidak semestinya mereka berkorban nyawa untuk hal sekecil itu."
Raja tetap menggenggam lengan Citra. Membalikkan tubuh gadis dan menatapnya lurus.
"Aku tidak keberatan sama sekali kau melakukan hal itu. Tapi apakah kau ingat kita ini sedang menjadi buronan kedua pihak?"
Citra menghela nafas berulang-ulang. Dia tidak tega jika sampai terjadi bentrokan dan orang-orang mati karena itu. Tapi Raja benar. Kedoknya akan terbongkar dan mereka akan terpapar bahaya. Begitu keberadaan mereka diketahui oleh Majapahit dan Galuh Pakuan, tak perlu waktu lama mereka akan diburu habis-habisan.
"Biar aku yang melerainya untukmu. Mereka toh tidak mengenalku." Raja mencoba menentramkan hati Citra. Gadis itu mengangguk. Perkelahian memang harus dicegah.
Raja memberi isyarat agar Citra berdiam di warung yang sekarang ditinggalkan oleh pemiliknya karena sudah keluar menonton keramaian.
Suasana panas itu tak lama lagi pasti akan meledak menjadi pertarungan jika ada yang mendahului menyerang. Pendekar Santi Aji berdiri gagah dengan 4 orang prajurit perbatasan Majapahit di hulu pedang masing-masing. Sedangkan Panglima Manggala siaga tempur dengan 2 lusin prajurit di belakangnya.
Penyebab perkara, si orang tambun yang tadi berbuat semena-mena terhadap tukang perahu menjadi semakin jumawa. Dia bertolak pinggang sambil tersenyum-senyum kecil. Orang-orang melihatnya dengan sebal. Mentang-mentang dibela oleh pasukan pengawal perbatasan Galuh Pakuan, orang kejam ini malah semakin bersikap tidak sepantasnya.
Orang-orang bersorak sorai ketika tanpa diketahui sebabnya, orang tambun itu terhuyung-huyung hebat ke arah sungai sehingga tanpa bisa dicegah lagi tercebur ke sungai dengan percikan besar dan suara keras. Raja yang berada di antara orang bersorak ramai, tersenyum geli. Dia tadi mengerahkan tenaga diam-diam untuk membuat kapok orang tambun jumawa itu untuk mengalihkan perhatian para pasukan yang siap bertempur.
Semua mata memandang kejadian aneh dan lucu itu termasuk orang-orang yang sedang bersitegang. Raja berbalik ke belakang dengan perasaan lega karena melihat tensi ketegangan menurun drastis karena semua orang melihat kejadian lucu orang tambun yang kejam itu menggapai-gapai berenang ke pinggir.
Namun langkahnya terhenti seketika karena sambaran angin yang sangat kuat mengarah ke tubuhnya. Raja mengelak dengan sigap. Di hadapannya berdiri Pendekar Santi Aji yang memandangnya dengan penuh selidik.
-**