Sin Liong dan Ki Galih Prawira menepi ke pinggir jalan. Rombongan orang-orang berkuda nampak tergesa-gesa dengan melarikan kudanya kencang-kencang dari jauh. Selain tidak mau terkena debu, kedua orang ini tidak mau memancing perhatian yang tidak perlu.
Rombongan itu lewat dengan cepat. Sin Liong memandang dengan mata penuh pertanyaan kepada Ki Galih Prawira. Siapa mereka?
"Pasukan pengawal Istana Galuh Pakuan." Ki Galih Prawira menjawab ringkas.
Belum lama mereka melanjutkan perjalanan, pasukan berkuda yang lain juga lewat. Kali ini dipimpin oleh lelaki setengah baya yang terlihat gagah dengan baju serba hitam. Bukan seragam prajurit.
Kembali Sin Liong menatap Ki Galih Prawira.
"Regu pengawal istana juga. Namun yang memimpin mereka adalah Resi Galunggung. Salah satu tokoh sakti Pasundan." Sin Liong mengangguk mendengar jawaban Ki Galih Prawira.
Belum jauh juga mereka menyusuri jalan utama ini, muncul lagi pasukan berkuda yang lain. Dengan jumlah yang sama. Sekitar belasan orang. Lewat di samping Sin Liong dan Ki Galih Prawira.
"Pasukan pengawal istana juga. Dipimpin oleh Resi Papandayan. Tokoh berkemampuan tinggi yang setara dengan Resi Galunggung." Tanpa menunggu pertanyaan Sin Liong, Ki Galih Prawira menjelaskan.
"Wah! Wah! Tokoh-tokoh sakti memang sering memimpin pasukan Ki?"
Ki Galih Prawira menggeleng.
"Tidak. Itu yang membuatku bertanya-tanya ada apa. Jarang sekali mereka turun langsung memimpin pasukan kecuali ada hal-hal penting dan mendesak yang berhubungan dengan keselamatan kerajaan atau keluarga istana."
"Apakah masih ada orang-orang sakti lain yang aktif di kerajaan seperti mereka berdua Ki?"
Sin Liong bertanya sambil lalu. Hanya sedikit penasaran. Dunia di abad 14 ini sangat menarik baginya.
"Ada 2 lagi yang merupakan bagian dari Resi Opat Gunung. Resi Guntur dan Resi Pangrango. Aku tidak tahu apakah mereka turun gunung juga."
"Selain itu?" Sin Liong semakin penasaran.
"Ada lagi yang merupakan pendukung kuat Baginda Raja Lingga Buana. Orangnya sakti namun misterius dan jarang terlihat. Eyang Halimun namanya. Kepandaiannya tidak kalah dari Resi Opat Gunung." Ki Galih Prawira nampak berbinar saat bercerita tentang kehebatan orang-orang Galuh Pakuan.
"Tapi di antara semuanya, ada seorang maha sakti yang aku sendiri bahkan belum pernah melihat wujudnya. Resi Gunung Sagara. Tokoh tua penopang Kerajaan Galuh Pakuan yang luar biasa hebat ilmunya. Tokoh ini bahkan melindungi istana dengan kekuatan gaibnya. Tidak satupun sihir atau ilmu gaib yang bisa keluar maupun masuk di lingkungan istana."
Sin Liong berhenti berjalan. Wow! Ini tokoh puncaknya. Puluhan pertanyaan langsung antri di benak Sin Liong.
"Apakah Resi Gunung Sagara adalah yang terhebat di Tanah Jawa?"
"Tentu tidak. Tanah Jawa dipenuhi oleh orang-orang sakti. Namun Resi Gunung Sagara adalah salah satu yang jarang menemui tandingan. Mungkin kalau di Jawi Wetan beliau bisa disandingkan dengan kemampuan Resi Saloko Gading yang merupakan penasihat Raja Majapahit. Juga Nyai Wilis yang merupakan tokoh aneh karena tidak pernah mencampuri sedikitpun urusan kerajaan. Setahuku 3 orang itulah yang memiliki kepandaian tertinggi di Tanah Jawa."
Sin Liong terperangah. Resi Saloko Gading? Wah! Dia pernah melihatnya sosoknya di abad 21! Pantas saja dia bisa manjing atas kehendaknya sendiri. Orangnya super sakti!
Tapi Sin Liong kemudian merenung. Resi itu tewas di tangan Puteri Merapi dan kawan-kawannya. Itu berarti kepandaian Puteri Merapi dan Mpu Candikala juga sangat tinggi. Sin Liong menggeleng-gelengkan kepala. Tugas mereka mengawal misi Citra sangat berat di sini.
Tanpa terasa perjalanan Sin Liong dan Ki Galih Prawira sampai di pinggir ibukota Galuh Pakuan. Hari telah beranjak siang. Setelah setengah harian berjalan, perut sudah terasa lapar. Saatnya santap siang.
Mereka mampir di sebuah warung yang cukup besar dan kelihatan enak karena ramai oleh pengunjung. Apalagi bau ikan bakar yang menguar sungguh mengundang selera makan.
Sin Liong dan Ki Galih Prawira memilih duduk di pojok. Belasan orang sedang duduk dan asik makan di sekitar mereka. Bahkan terlihat beberapa orang berseragam prajurit juga sedang makan sambil berbincang-bincang.
Sambil menunggu pesanan datang, Sin Liong dan Ki Galih Prawira memasang telinga lebar-lebar. Di warung seperti ini biasanya informasi akan mengalir deras. Orang-orang lebih mudah bercerita saat makan bersama teman-temannya.
"Tadi pagi beberapa regu pasukan pengawal istana keluar gerbang di pimpin oleh dua dari Resi Opat Gunung." Rupanya yang sedang berbincang sambil makan itu sekumpulan pasukan penjaga gerbang ibukota yang terletak tidak jauh dari warung ini. Ki Galih Prawira menyenggol siku Sin Liong. Memintanya menaruh perhatian lebih terhadap isi pembicaraan.
"Iya benar. Regu pasukan elit pengawal istana yang disebar untuk melakukan pencarian."
"Sungguh aneh! Istana yang berpenjagaan kuat seperti itu bisa diterobos oleh penyusup yang bisa merubah dirinya menjadi harimau."
Hah? Sin Liong lupa makanan di depannya sudah tersaji. Orang yang menjelma harimau? Sin Liong langsung teringat Raja.
"Menurut temanku yang menjadi pasukan penjaga Istana Keputrian, orang itu sangat lihai. Bisa menghadapi sekian banyak pasukan pengawal sekaligus Resi Galunggung dan Resi Papandayan. Setelah terdesak barulah dia merubah dirinya menjadi harimau yang membuat pasukan pengawal kocar-kacir dan terluka."
"Aku juga mendengar cerita itu. Tahukah kalian hal yang lebih aneh lagi?"
Suasana hening karena kawan-kawannya menunggu kelanjutan cerita prajurit itu.
"Tuan Putri seolah sengaja melarikan diri bersama harimau itu. Bukannya diculik!"
Terdengar dengung gumam kawan-kawannya yang terheran-heran.
Sin Liong betul- betul tidak peduli dengan makanan di depannya. Putri sengaja melarikan? Bersama harimau? Siapa lagi kalau bukan Citra dan Raja. Sin Liong tersenyum lebar. Mereka berdua rupanya sudah bertemu dan sekarang berada entah di mana bersama-sama.
Sembari menyuap makanan ke mulutnya, Ki Galih Prawira kembali menyenggol Sin Liong sambil berbisik.
"Ayo habiskan makananmu! Setelah ini kita masuk ibukota dan memikirkan cara bagaimana bertemu dengan orang penting kenalanmu itu."
Sin Liong menyuap makanannya cepat-cepat. Setelah itu menatap Ki Galih Prawira dengan mata berbinar.
"Kita tidak perlu masuk istana Ki. Orang penting yang aku ceritakan itu sekarang berada di luar sana bersama harimau jadi-jadian."
Ki Galih Prawira tidak jadi menyuapkan makanan terakhir ke mulutnya. Anak muda ini kelihatannya mulai tidak waras!