Citra buru-buru melambaikan tangan. Apalagi semua orang kemudian membungkuk hormat mengikuti sikap Ki Kamandara.
"Tidak usah sungkan Paman. Aku hanya minta bantuan Paman agar bisa menemukan seorang teman dari jauh yang tersesat. Kemungkinan besarnya dia berada di Padepokan Sekar Halimun."
Ki Kamandara mengangguk.
"Baiklah Tuan Putri. Saya sendiri yang akan mengantar Tuan Putri langsung ke Padepokan Sekar Halimun."
----
Di Padepokan Sekar Halimun, Kedasih duduk berhadapan dengan Nyai Halimun. Mereka sedang menikmati teh sore. Kedasih sangat dimanjakan di sini. Semenjak kedatangannya yang mengejutkan beberapa hari yang lalu, Nyai Halimun malah mengajarkan beberapa hal yang sama sekali tidak disangka oleh Kedasih sendiri.
Wanita dari abad ke-21 itu diajari ilmu-ilmu sihir. Nyai Halimun tahu tidak mungkin mengajari Kedasih ilmu kanuragan dalam waktu singkat. Nenek sakti itu sengaja mempersiapkan Kedasih dalam waktu singkat agar bisa menjalani takdirnya membantu Putri Dyah Pitaloka yang berusaha merubah takdirnya.
Sambil menyesap teh hangat yang terasa sangat nikmat di tempat sedingin ini, tempat ini memang selalu dingin karena kabut abadi yang menyelimuti seluruh ngarai tempat padepokan berada, Kedasih teringat ucapan Nyai Halimun saat mereka bertemu pertama kalinya beberapa hari yang lalu.
"Aku mengenalimu dari ramalan nak. Hanya 2 orang di Tanah Jawa ini yang mempercayainya meskipun ada beberapa yang mengetahuinya."
"Ramalan Nyai? Ramalan apa?"
"Ramalan yang menyebutkan bahwa ada sebuah masa di mana dimensi waktu akan terbuka dan menghembuskan beberapa orang ke sini untuk menemui takdir. Ramalan memang tidak menyebutkan siapa saja tapi cukup jelas menyatakan bahwa ini berkaitan dengan sebuah peristiwa luar biasa besar. Peristiwa besar apa aku tidak tahu."
"Kenapa Nyai yakin aku adalah bagian dari ramalan itu?" Kedasih penasaran. Semuanya terjadi bukan karena kebetulan. Tapi memang bagian dari puzzle yang harus diselesaikan.
"Aku yakin nak. Tidak ada satupun orang di masa ini yang mengenakan baju seperti yang kau kenakan. Itu sudah cukup menjadi bukti bagiku."
"Nyai bilang hanya 2 orang yang mempercayai ramalan tentang takdir itu. Siapa lagi selain Nyai yang mempercayainya?"
"Suamiku. Eyang Halimun." Kedasih hampir terjengkang ke belakang. Eyang Halimun yang pernah membuatnya tidak tidur beberapa hari karena memikirkan teka-tekinya yang ternyata hanya guyonan Citra?
"Eyang Halimun dari Gunung Salak?"
"Eh! Kau mengenalnya?" Gantian Nyai Halimun yang terperangah heran.
Kedasih dengan terus terang menceritakan secara ringkas bagaimana dia mengenal Eyang Halimun. Nyai Halimun mengangguk-angguk serius.
"Tidak heran. Semuanya memang saling berhubungan. Karena itu nak, tinggallah untuk beberapa saat di sini. Aku akan mengajarimu bekal agar kau bisa membantu Tuan Putri Dyah Pitaloka."
Kedasih mengangguk dengan hormat. Tentu saja dia mau. Lagipula dia tidak bisa kemana-mana. Pergi dari tempat ini tanpa bantuan, mustahil bisa dilakukannya.
Begitulah akhirnya Kedasih diperkenalkan dan diajari bagaimana menggunakan ilmu sihir. Nyai Halimun mengajarinya bukan setiap hari. Tapi setiap saat! Di luar waktu makan dan tidur.
-----
Ki Kamandara menunjuk air terjun raksasa di bawah mereka sambil berkata.
"Padepokan Sekar Halimun tersembunyi di dalam sana Tuan Putri. Jalan satu-satunya hanya melewati belakang air terjun besar ini. Hanya aku laki-laki yang pernah ke sana selain Eyang Halimun."
Citra menatap Raja. Bagaimana caranya bisa ke belakang air terjun sebesar itu tanpa terhempas air yang meluncur deras itu?
Raja melihat sekeliling dengan teliti. Matanya terantuk pada suluran akar yang banyak terdapat di tebing tempat mereka berdiri. Sebuah suara berkemeresak mencurigakan datang dari semak di samping. Raja bersiaga. Muncul seorang lelaki muda kekar yang langsung memberi hormat kepada Ki Kamandara.
Ini lelaki yang dilihatnya mengendap-endap dan berlari cepat saat mereka berada di Padepokan Lembah Ciremai. Raja membatin.
"Saya sudah memberi kabar ke Ngarai Halimun, Ketua. Pesan sudah tersampaikan."
Ki Kamandara mengangguk. Melambaikan tangan kepada anggotanya agar pulang ke Padepokan Lembah Ciremai. Setelah anak muda itu pergi, Ki Kamandara membungkuk hormat.
"Mohon ampun Tuan Putri. Sekar Halimun sudah tahu bahwa akan kedatangan tamu. Mereka hanya tidak tahu jika Tuan Putri lah yang datang berkunjung. Hamba tidak bisa mengantar masuk hingga ke dalam karena hanya dengan seizin Nyai Halimun saja saya bisa melakukannya." Ki Kamandara berhenti sebentar sebelum melanjutkan.
"Lagipula lorong bercabang di dalam goa di belakang air terjun ini berubah setiap harinya dan hanya orang-orang Sekar Halimun yang mengetahui perubahannya. Jika kita masuk lorong yang salah, tidak hanya kita tidak sampai tujuan, namun bisa-bisa kita tersesat selamanya di perut Gunung Ciremai."
Wah! Raja menggaruk hidungnya. Tempat ini sungguh aneh luar biasa. Pantas untuk menjadi tempat sebuah perkumpulan yang sangat misterius.
"Jadi apa yang mesti kita lakukan Ki?" Citra mengerutkan alisnya.
"Jangan khawatir Tuan Putri. Mereka pasti sudah mengetahui kedatangan kita ini. Jika Nyai Halimun berkenan, kita akan dibawa masuk. Tapi jika tidak, pasti ada utusan yang menyampaikan pesannya kepada kita."
Belum juga kering bibir Ki Kamandara, terlihat dua sosok tubuh bergelantungan pada sulur-sulur pohon. Mendaki tebing dengan lincah. Lalu mendarat dengan mulus di hadapan mereka.
Dua wanita muda itu mengangguk kepada Ki Kamandara dan membungkuk hormat di hadapan Citra.
"Tuan Putri, Nyai Halimun memohon maaf belum bisa menerima Tuan Putri di Ngarai Halimun saat ini. Beliau hanya memberikan pesan ini kepada Tuan Putri." Wanita itu mengangsurkan sehelai daun lontar yang berisikan pesan tersebut.
Raja yang hendak bertanya di mana Kedasih, mengurungkan niatnya. Citra membuka helai daun lontar dan membaca pesan dengan suara lantang.
Mohon ampun saat ini saya belum bisa menerima kunjungan Tuan Putri. Di kesempatan lain kita pasti bertemu. Saya sedang mempersiapkan Kedasih sebagai bagian dari peran saya mengawal ramalan takdir.
Citra mengangguk kepada Raja. Isyarat bahwa semuanya baik-baik saja. Lalu berterimakasih kepada kedua wanita utusan Nyai Halimun yang langsung pergi setelah memberi hormat.
"Kita tidak jadi menjemput Kedasih?" Raja penasaran dengan isyarat Citra.
"Tidak Raja. Kedasih akan menemui kita di saat yang tepat nanti. Kita lanjutkan perjalanan mencari Sin Liong. Kedasih baik-baik saja."
-