Chereads / Reinkarnasi-Takdir / Chapter 9 - Bab 9

Chapter 9 - Bab 9

Sambil menggandeng lengan Citra berjalan keluar dari pasar, Raja bercerita lengkap bagaimana tadi dia menangkap pembicaraan yang menunjukkan tentang keberadaan Kedasih.

"Aku tahu Padepokan Sekar Halimun. Padepokan misterius yang tidak pernah menyumbang tenaga seorangpun untuk memperkuat pasukan kerajaan. Padahal mereka diasuh oleh tokoh sakti yang jarang ada tandingannya, Nyai Halimun. Anak muridnya hanya sedikit dan perempuan semua."

Raja melengak kaget.

"Jadi kau tahu di mana letak padepokan itu? Wah! Bagus!" Raja tersenyum senang.

Citra menggeleng.

"Jarang sekali orang yang mengetahui di mana markas mereka Raja. Bahkan telik sandi kerajaan yang sangat ahli memata-matai pun tidak pernah berhasil menemukannya. Padahal mereka mengintainya selama bertahun-tahun."

Raja menghela nafas.

"Kalau begitu kita ke petunjuk terakhir yang kita dapat. Padepokan Lembah Ciremai."

Citra mengiyakan. Itulah satu-satunya petunjuk yang mereka punya.

Setelah bertanya sana sini, akhirnya Raja memperoleh petunjuk arah Padepokan Lembah Ciremai. Cukup lumayan. Mereka harus mendaki Gunung Ciremai. Tidak sampai puncak. Padepokan kecil itu berada di kaki gunung.

Raja menoleh ke kanan kiri begitu mereka sampai di jalan setapak yang sepi. Diraihnya lengan dan pinggang Citra. Gadis itu kaget bukan main tapi tidak berontak. Raja menggerakkan kakinya. Tubuh Raja melesat seperti bayangan ke depan. Berlari kencang dengan langkah ringan meskipun sambil menggendong Citra.

Aahh! Citra merasakan sensasi yang sama seperti saat menunggangi punggung Harimau Raja. Hanya kali ini lebih nyaman karena dia berada di dekapan pemuda itu. Tidak di atas punggung harimau yang kekar.

Perjalanan mendaki menjadi singkat setelah Raja yang tidak mau membuang waktu, berlari menggunakan tenaga saktinya. Mereka tiba di lereng Gunung Ciremai saat hari menjelang siang. Sepanjang jalan yang dilalui mereka sama sekali tidak bertemu dengan orang lain. Di masa itu, Gunung Ciremai dianggap sebagai gunung yang angker dan menakutkan sehingga tidak banyak orang yang mau mendakinya.

Raja celingukan kesana kemari. Menurut petunjuk, padepokan itu berada di kaki Gunung Ciremai persis sebelum hutan Pinus mulai menggantikan tegakan kayu rimba. Mereka sudah berada di jajaran kayu Pinus pertama. Tidak ada apapun yang nampak. Bangunan atau orang-orang.

Citra menepuk pipi Raja. Gadis itu mengusap wajah Raja di bagian mata secara perlahan.

"Kau lupa melihat dengan penglihatan gaib Raja."

Raja membuka matanya. Di hadapan mereka terlihat sebuah gerbang dari kayu yang sudah lapuk dengan papan nama tidak terlalu besar. Padepokan Lembah Ciremai.

"Apakah mereka sebangsa jin atau lelembut Citra?"

Citra tertawa kecil.

"Bukan! Hanya saja padepokan ini dilindungi oleh pagar gaib yang kuat. Ayo kita masuk!"

Raja dan Citra berjalan memasuki gerbang. Di halaman bangunan tua yang juga dari kayu, sekelompok lelaki gagah menghadang dengan pandangan curiga.

"Mohon maaf kisanak. Jika diperkenankan mohon kami bisa bertemu dengan ketua Padepokan Lembah Ciremai." Raja berkata dengan nada sopan dan hormat.

Salah seorang maju. Seorang lelaki setengah baya berperawakan sedang. Berjanggut putih dan memegang tongkat kayu yang nampak seperti kayu biasa.

"Namaku Ki Kamandara. Aku ketua Padepokan Lembah Ciremai. Ada keperluan apa mencariku anak muda?" Orang tua gagah itu tidak memandang aneh ke arah Raja. Sebelum mulai perjalanan beberapa hari yang lalu, Raja memang sudah berganti pakaian yang umum dipakai oleh penduduk Tlatah Pasundan.

"Mohon maaf telah mengganggu waktu istirahat Ki Kamandara. Namaku Raka dan ini istriku Cinta. Kami sedang mencari teman kami yang menghilang sejak minggu lalu. Namanya Kedasih. Ada petunjuk bahwa dia menghilang di wilayah Gunung Ciremai. Tepatnya di sekitar Padepokan Sekar Halimun. Apakah Ki Kamandara tahu di mana persisnya Padepokan Sekar Halimun berada?" Raja langsung pada pertanyaan pokok.

Ki Kamandara mengelus jenggotnya.

"Kalau aku menjawab tidak tahu, apa yang hendak kau lakukan Rajasa? Dan jika aku menjawab tahu, apakah kau mau menceritakan alasanmu mencari Kedasih tadi?"

Raja mengerutkan alisnya sedikit. Mereka sengaja mengulur waktu. Dilihatnya gerak mencurigakan seseorang di halaman belakang padepokan. Orang itu berjalan tergesa-gesa ke arah puncak gunung.

"Aku hanya mencari temanku yang tersesat itu, Ki. Kami tidak punya urusan apa-apa dengan Sekar Halimun. Setelah Kedasih kami temukan, tentu saja kami akan pergi dan menyampaikan permohonan maaf karena telah mengganggu."

Ki Kamandara yang ganti mengerutkan kening. Pemuda dan gadis ini terlihat mencurigakan. Mereka tidak nampak sebagai diri mereka yang sesungguhnya. Apalagi gadis bermuka coreng moreng itu. Dia sepertinya mengenali wajahnya. Tapi di mana ya? Wajah itu seperti wajah orang penting. Mereka pasti bukan orang sembarangan. Terbukti bisa membuka pagar gaib yang dibuat oleh Nyai Halimun.

Raja tidak mau bertele-tele lagi. Gerakan orang yang lari menuju puncak itu lumayan cepat. Dia masih bisa menyusulnya dengan mudah. Tapi urusan di sini harus diselesaikan terlebih dahulu.

"Ki Kamandara, sekali lagi kami mohon maaf jika mengganggu. Baiklah Ki, jika memang tidak bisa membantu, kami mohon pamit undur diri."

Ki Kamandara memberi isyarat. Sembilan orang langsung membentuk lingkaran menghadang jalan keluar padepokan.

Raja nyaris saja bergerak menyerang jika saja Citra tidak menyentuh lengannya sambil berkata.

"Ki Kamandara, kami tidak bermaksud buruk. Kami hanya bertanya arah dan kami sudah pula menyampaikan alasan kami. Mohon tidak bertindak berlebihan terhadap kami. Saya dan harimau saya ini." Citra mencubit kecil lengan Raja. Sebuah isyarat.

Raja mengerti apa yang dimaksudkan Citra. Pemuda ini menggeram rendah. Tubuhnya lenyap digantikan oleh sosok harimau besar berwarna hitam legam.

Kesembilan pasang mata itu memandang dengan mata terbelalak. Seakan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat di hadapan mereka. Ki Kamandara yang telah banyak makan asam garam, membungkuk dalam dan menangkupkan kedua tangannya di dada laku berkata dengan penuh hormat.

"Mohon ampun Tuan Putri. Hamba tidak tahu kalau Tuan Putri yang mengunjungi kami."

*********